Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Izinkan Selamanya Namamu di Hati


Apakah Aku perlu izin ke Tuhan untuk jatuh cinta kepadanya?”
Dia perempuan yang membuatku tertarik. Melihatnya seakan aku berdiri membelakangi cermin jernih yang tembus pandang. Tanganku tidak bisa menyentuhnya, bukan karena jarakku yang jauh, tapi karena dekatnya cermin yang menghalangiku. Aku merasa, seperti bermimpi tanpa aku tertidur.  Dia sesuatu yang nyata, tapi aku tidak mampu menyentuhnya. Mataku terus terjaga memandangnya. Aku larut dalam perasaanku untuk menyadari siapa aku sebenarnya. Terlalu sulit bagiku untuk mengenal diriku sendiri dan menemukan siapa diri aku yang sebenarnya. Dia memang perumpuan yang baru saja aku temui. Tapi apalah daya, hatiku tidak ingin melepaskannya. Menutupi perasaanku untuk mengenalnya. Mungkin ini yang dikatakan cinta pada pandangan pertama. Lalu, apa masih ada sisa cinta pada pandangan kedua? Apa bedanya melihat dengan memandang? Bagaimana jika aku terlahir sebagai seseorang yang buta? Apakah aku harus menunggu dapat melihat seisi dunia, dan melihat sosok manusia yang aku kenal sebagai perempuan, yang pada akhirnya aku jatuh cinta?”
Oh, apakah cinta membutakan yang melihat? Atau melihatkan yang buta? Sesungguhnya aku tidak menginginkan mencintainya, kecuali cinta itu datang dengan sendiri. Apakah cinta itu sebuah kekhilafan, sehingga patut bagiku untuk meminta maaf, lantaran aku mencintainya?”
Ya Tuhan, apakah aku perlu meminta izin untuk jatuh cinta kepada hamba-Mu? Padahal cinta itu datang lebih dulu menemuiku, terlalu berkhayal, jika laki-laki yang pemalu dan bukan dari orang berada semacam aku. Berharap memiliki wanita yang jauh berbeda dengan keadaanku.
“Maaf, kalau boleh tahu, engkau sedang cari buku tentang apa?”, tanyaku pada perempuan disebelahku. Tapi dia diam tak menanggapi pertanyaanku. Mata dia sibuk melihat-lihat buku yang berjajar rapi di atas meja kayu. Aku menelan ludahku sesaat. Aku mulai berpikir, “Apa ada aturan untuk menyapa wanita cantik bagi pria konyol seperti aku?”. Aku tak berhenti sampai disitu. Perasaanku amat bergejolak untuk mengenalnya. Hingga pada saat itu, aku tidak lagi bertindak sebagai orang yang pemalu. Bukan karena aku menyembunyikannya, tapi itu diluar kesadaranku. Jatungku berdetak kencang, serasa menepuk-nepuk batok kepalaku. “Hai Anum!, hatiku berteriak, menyautiku untuk berani maju, “Apa ini kau yang sebenarnya?”
“Apa yang kau mau, wahai hati? Aku merasa tak berdaya jika harus berhadapan dengan seorang gadis”, sahutku pada hati.
“Coba kau lihat, dia nyata ada dihadapanmu. Jangan berpikir kau akan gagal untuk mengapai sesuatu yang ada di depanmu. Jika memang kau berani, tunjukanlah bahwa kau pria yang pantas untuk bersahabat dengannya, bahkan lebih dari itu.”
Gadis itu masih berkeliling disekitar tempat bazar buku yang aku kunjungi itu. Acara yang diadakan oleh Komunitas Peduli Anak Bangsa, yang dilatarbelakangi atas keprihatiannya terhadap perilaku anak muda zaman sekarang ,terutama bagi para penerus bangsa yang kurang antusias dalam melakukan praktik membaca. Membaca bahan bacaan yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan kelangsungan hidup bagi setiap individu, yang hubunganya dengan masyarakat. Informasi ini aku dapat dari selembaran brosur yang dibagikan oleh panitia penyelenggara bazar, yang bertajuk cinta tanah air, tiga hari sebelum acara dimulai. Aku pribadi sangat setuju dengan progam ini, karena dalam kegiatanya, acara ini hanya dipungut biaya dua ribu rupiah. Dari total uang yang terkumpul, akan didonasikan untuk korban bencana, maupun dalam rangka kemanusiaan lainya. Buku ini gratis untuk dimiliki. Buku dari berbagi sumber yang diperoleh dari alokasi dana pendapatan daerah. Disitu disediakan lahan luas khusus untuk membaca, aku menyebutnya Perpustakaan Alam. Karena memang lokasinya yang tidak jauh dari pemandangan. Pengunjung dilarang keluar sebelum melewati tempat ini, sungguh ini peraturan yang tegas dan mendidik. Saat itu suasananya masih sepi dari pengunjung, waktu menunjuk pukul 08.00 WIB. Seruan-seruan burung sangat jelas terdengar, melempar kicauannya menyambut pagi hari. Semilir angin yang melewati pepohonan, mengusap-ngusap ragaku yang sejenak untuk bernafas. Sungguh indah ciptaan Tuhan. Aku masih mengikuti gadis itu perlahan-lahan. Aku lihat, dia berjalan ke arah tempat buku khusus bacaan orang dewasa. “Hai...!”, sapaku pada gadis berparas cantik itu. Cantik bagiku, ini hanya persoalan hati dan selera. Aku bisa saja tak punya rasa dengan wanita yang menjadi pujaan para lelaki, hanya jika aku tak bersahabat dengan hati dan berselera dengannya. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan wanita dengan wajah yang menjadikan kaum adam membenci dan menjauhinya? Aku yakin, kecantikan bukan alasan cinta yang sebenarnya. Aku hanya akan yakin, jika pria tetap mau mencintai pasangannya, meskipun alasan-alasan yang pria buat telah luput darinya, begitupun bagi kaum hawa. Karena Tuhan adalah sebaiknya-baiknya alasan. Alasan yang sejati dan kekal bagi kehidupan. Gadis itu memandangiku. Mungkin karena telah memperhatikan penampilanku yang terkesan kuno. Aku bisa lihat mata dia mengarah ke kakiku dan berakhir dengan tatapan sinis.
            Aku tidak ingat, kalau tujuanku pergi di hari minggu itu, sebenarnya adalah untuk menjahit sepatu kiriku yang rusak, setelah aku kehujanan dihari kamis sepulang sekolah. Tukang sol sepatu yang akan aku temui cukup jauh dari tempat bazar buku. Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti sejenak dari perjalananku dengan berkunjung ke Bazar Buku yang Bertajuk Cinta Tanah Air ini. Aku mulai merasa gugup, ketika dia melihat jempol kaki kiriku terlihat keluar dari penutup sepatuku. Ini sungguh tragedi.
“Kenapa kamu mengikutiku?!, bentak si gadis cantik itu.
“Aku tak mengikutimu, aku cuma mau lihat area di sekitar sini, timbalku sambil memegang erat buku dengan kedua tanganku, “Kenapa kau membentakku?”
“Apa tak ada tempat lain yang bisa kamu kunjungi dan kamu injak dengan sepatu rusak seperti yang kamu pakai?”.
“Kau ini...!” aku tak kuat lagi membalas perkataanya, suaraku mengelak ditenggorkan. Kami saling menatap beberapa saat, lalu dia pergi melewatiku. Batinku berkecamuk, menelan getir pahit dari ucapan gadis yang aku kagumi.
            Sebelum aku masuk sebagai pengunjung, aku sempat menemui sesorang yang lebih dulu berkunjung dariku, kata si pengunjung itu, aku tak akan dapat izin keluar dari tempat yang aku menyebutnya Perpustakaan Alam, sebelum benar-benar membaca buku. Mendengar penjelasan ini, aku sangat senang dan berharap bisa bertemu dia di tempat itu. Aku merasakan angin telah berhembus memelukku. Udara yang saat itu tak terlalu terang ataupun teduh, membuat suasana hati berselimut rasa damai. Aku berdiam diri sejenak, berdiri dengan memejam mata dan mengirup udara segar dari alam.
Wahai kaum Hawa, aku mengaggumimu atas kenormalanku sebagai kaum Adam
Aku berharap bisa menemukan cinta dengan jalanku mengenalmu
Wahai kaum Hawa, aku tak mencoba mendekatimu karena engkau makhluk yang sempurna
Tapi, aku berharap engkau mau menerimaku saat kau menemukanku sebagai makhluk yang tak sempurna
Karena kesempuranaan bermula saat melihat ketidaksempurnaan
Apakah kamu akan tetap merasa sempurna, saat mengetahui bahwa Tuhan adalah yang Maha Sempurna?
Karena kesempuranaan bermula saat melihat ketidaksempurnaan, lalu aku, kau, dan mereka mau menerima yang tak sempurna sebagai hal yang indah untuk menemukan arti kesempurnaan yang sebenarnya


Aku tidak perlu menduganya, gadis itu pasti pergi ke perpustakaan alam. Tak banyak berpikir, aku berjalan mengikutinya, sembari tanganku mengambil buku tanpa melihat judul buku itu. Kebutalan dia hanya seorang diri, berbeda dengan yang lain, membaca dengan kelompoknya. Aku duduk sekitar dua meteran tepat didepannya, memandanginya yang tengah serius membaca buku. Tiba-tiba datang angin yang cukup kencang. jantungku kembali berdetak cepat, melihat rambut si gadis cantik itu terurai menutupi mukannya, rambut yang panjang lurus dan hitam pekat itu, ia sibakan dengan penuh perasaan, “wuhft”, aku menghela nafas. Sungguh, cinta telah membuat angin lebat menjadi sekumpulan awan yang menari-nari kegilaan. Bola matanya yang halus dan bulat, terasa tajam hingga seakan menusuk-nusuk relung hati. Maha besar Tuhan yang telah mencipta dengan tiada kesia-siaan. Gadis cantik itu menatap tajam ke arahku, aku hanya bisa berdoa. “Semoga saja dia tidak tahu”, pintaku dalam hati sambil aku memegang buku untuk menutupi wajahku, agar seolah-olah aku terlihat membaca. “Aau!”, kenapa kau menimpukku?”, seruku pada gadis cantik itu. “Bagaimana bisa kau melihat yang lain? Sedangkan kau tengah membaca buku”, bantah si gadis. Aku tahu kalau gadis itu yang melempar koin seribuan di lenganku, karena memang arahnya dari depan. Aku tak menyadari jika koin yang di lemparnya, aku ambil dan aku masukan kesaku celanaku. Aku melihat raut wajah si gadis cantik itu sedang menahan tawa. Bicaranya diapun sambil menyeringai. Mungkin karena melihat sikapku yang terkesan bodoh, bukan , maksudku, aku jadi salah tingkah dibuatnya.
Aku menutup lembaran buku yang aku bawa. “Aku suka dengan buku yang kau baca?”, tanyaku pada si gadis. Dia tak bergeming. Entahlah, dia tak mendengar atau sekedar berpura-pura.
 Aku melihat potongan ranting seukuran jari kelingking berada di sampingku. Aku lemparkan ranting itu, dan tidak sengaja mengenai pipi si gadis yang berkulit putih itu. Aku langsung berlari mendekatinya.
“Aku minta maaf? Aku tidak tahu kalau ranting ini mau mengarah ke pipimu. Kau tidak apa-apa ‘kan?”
“Kenapa tak kamu lempar saja batu yang besar?” jawab si gadis dengan cemberut.
“ Jangan, aku pasti tak kuat mengangkatnya. Aku tak mau memberi sesuatu yang membuat seseorang merasa kesulitan untuk membalasnya, meskipun aku tak menginginkannya”, aku coba menenangkan suasana, “Pernah tidak kau mendengar ungkapan seperti ini, tangan dibalas tangan, kaki dibalas kaki, nyawa dibalas nyawa?”, kenalkan, nama saya Anum, aku tinggal masih dekat dengan daerah ini. maukah kau membalas dengan memberitahu namamu?”
Sinar mentari mulai beranjak, merayapi setiap celah dedauanan. Pengunjungpun mulai terlihat ramai. Dan Aku masih menunggu gadis itu menjawab pertanyaanku. Aku menjadi merasa bersalah melihat ia cukup lama mengusap-usap pipi yang terkena ranting karena ulahku. “ Kau pasti benar-benar marah denganku, apa yang bisa aku perbuat agar kau mau memaafkanku?” Tolong katakan apa yang kau mau, supaya aku bisa memberinya untukmu?”, aku membujuknya lebih dari seorang ibu membujuk anaknya yang susah makan, seorang ibu sebagai raja, yang bertindak seperti pengawal, demi mengasihi anaknya.
“Memangnya apa yang bisa kamu beri untukku? Bagaimana jika aku terluka? Apa kamu mampu membiayaiku?”, jawab si gadis enteng bernada kesal.
Aku menundukan kepalaku, berlutut bak tahahan menunggu algojo memenggal kepalanya. Aku sadari, mungkin kedatanganku hanya membuat ia terusik. Aku berharap, dia tak menahan amarah didalam dadanya. Dan membungkam bibirnya untuk tidak berbicara denganku. “Hai sobat, tahan emosimu. Jangan biarkan pikiran buruk mempengaruhi keinginanmu. Kau tahu, seberapa lembutnya air yang mengalir, seberapa beningnya sisa tetesan air hujan di waktu pagi, sore, dan malam hari? Kau tak perlu memaksa diri untuk menjadi pribadi yang keras seperti baja, untuk bisa memecah semua hal yang kau mau. Kau hanya butuh sabar dan jangan cepat menyerah. Sebagaimana tetesan air mampu membuat lubang pada awak batu yang keras”, kata hatiku.
Aku menarik nafas sebentar, “Iya, mungkin aku takan mampu. Tapi aku kira, aku bisa memberimu sesuatu dari hati?”, Apa kau mau?”.
Dia kembali menatapku. “Apa yang akan aku minta dari hati orang semacam kamu?”.
“Seburuk apa kau melihatku? Apakah dari awal aku menakutimu?”
“Apa aku terlihat takut denganmu?”, sudahlah, jangan ganggu aku lagi!”
“Baik kalau itu yang nona mau?”, kami masih saling bertatap.
“Stop!”, kau bilang aku apa tadi?”, Nona!?”, aku rasa amarah dia mulai meledak-ledak,
“Aku kira kau tak punya nama, jadi aku bebas memanggilmu apa saja, bukan?”, “Aku mengerti, namamu mungkin lebih mahal dari seratus kali harga sepatuku. Kau hanya mau memberinya untuk seseorang yang sepadan denganmu. Kau bisa lihat pasir yang menempel disepatuku, tapi sepatu ini tetap sebagai miliku. Seberapapun kotor dan membuatnya tak pantas lagi untuk dipakai. Ini tetap milikku. Sepatu bukan hal yang kotor, tapi melindungi dari yang kotor. Sepatu bukan sejatinya hal yang kau tindas karena kau menginjaknya, tapi sepatu justru sebagai pijakanmu untuk berdiri dan melangkah. Aku senang jika ada orang yang bertanya tentang namaku ketimbang sekedar bertanya siapa aku? Meski ini pertanyaan yang bagus, tapi seolah aku sebagai orang lain, aku  tak mau saat berbicara denganmu, tapi hatiku berbisik dengan orang lain, aku tak mau saat melihatmu berbicara, tetapi telingaku menguping percakapan orang lain, dan sungguh aku tak mau saat kau memberikan hatimu untukku, namun aku terpaut dengan yang lain, hanya karena aku tak mengenalmu. Karena mengenalmu adalah hal yang penting bagiku, dan akan lebih penting jika aku tahu siapa namamu.” Gadis itu terpaku mendengarkan ucapanku yang cukup panjang, kami masih saling menatap. Gadis cantik itu menggigit bibir atasnya, seakan ada yang ia sesali. Entahlah.
“Kamu benar ingin tahu namaku!?”, Tanya si gadis cantik itu. aku tak lagi mendengar celotehnya yang jutek, suara gadis itu terdengar mendesah dan menyejukan jiwaku.
“Kamu lihat, laki-laki yang berdiri disamping mobil bewarna hitam didepan pintu masuk bazar?”, kamu pasti melihatnya, dia adalah ayahku, kamu bisa bertanya dengannya.”
“Apa kau yakin?”, tanyaku setengah percaya.
“Iya, aku akan berjalan dibelakangmu.”
Gadis itu mengajakku menenemui ayahnya, aku seperti diambang kematian, badanku menjadi kaku dan lemah. Bagaimana ini bisa terjadi?”, Tanyaku pada diriku sendiri.
“Tentu kau bisa”, kau hanya butuh keberanian, bukankah kau pernah bertanya, “Ya Tuhan, apakah aku perlu meminta izin untuk jatuh cinta kepada hamba-Mu?”, iya, mungkin ini cara Tuhan untuk menyampaikan jawaban dari pertanyaanmu, restu orang tua adalah sebagai izin yang Tuhan berikan untukmu. Berjuanglah, kau pasti bisa!”, Bisik hatiku.
“iya, aku pasti bisa”, gumamku.
Sebelum aku mendekat ke laki-laki berkumis tipis itu, dia memanggil gadis dibelakangku, “Hello cantik...!”.
“Selamat pagi, ‘yah...! balas gadis cantik itu.
Tidak banyak cakap, dia mengedipkan matanya kepadaku, pertanda ia menyuruhku.
“Selamat pagi, Pak!”
“Kenalkan Yah, dia temanku”, gadis itu menyelanya.
“Anum!”
“Saya Rudi, ayahnya Afifah. Kamu teman kuliahnya yah?”, kami saling berjabat tangan.
Aku kaget bercampur senang, mendengar gadis itu menyebutku sebagai temannya. Dan ternyata gadis yang aku dekati itu, sudah duduk di bangku kuliah, sementara aku masih duduk di bangku SMA. Karena itu aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Ayahnya. Tapi tak apa, dari kejadian itu aku jadi tahu namanya, Afifah.
“Kami sedang buru-buru, kamu bisa main kerumahku lain waktu.”
“Terima kasih Pak, senang bertemu dengan anda, saya berharap pertemuaan ini bisa bermakna sebelum datang perpisahan.”
Pak Rudi bergegas masuk ke dalam mobilnya.
“Sekarang kamu sudah tahu namaku”, kata Afifah sambil memegang pintu mobil.
“Lalu...?!”
“Kamu bisa bertemu denganku ditempat ini besok pagi.”
Aku bahagia saat itu, mataku berkaca-kaca.
Seperti inilah kehidupan, saat aku bisa berkata, welcome to mylife, aku harus berani menerima ungkapan, I’m sorry good bye.Karena itu, aku berharap bisa memaknai setiap pertemuan sebelum datang perpisahan. Dan selalu bersyukur bahwa Tuhan pasti akan menjawab pertanyaanku, dengan rencana-Nya yang membuat seseorang sukar untuk bersabar menerima prosesnya. Padahal Tuhan pasti akan menjawabnya, ini hanya butuh waktu untuk menyaksikannya. Terima Kasih Tuhan, Tuhanku yang Agung, Allah SWT. Terima kasih Suara Hati, engkau telah membimbingku untuk menemukan jawaban dari pertanyaanku. “Iya, aku perlu izin ke Tuhan untuk jatuh cinta kepada hamba-Nya.” ⃰ End


Sumber Gambar : pixgood.com


This post first appeared on Penalesia, please read the originial post: here

Share the post

Izinkan Selamanya Namamu di Hati

×

Subscribe to Penalesia

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×