Aku tak berpikir akan mengirim surat ini sebelumnya. Aku merasa lelah dengan keberadaanku. Seperti saat aku bersikap acuh dihadapan seseorang . menjauh untuk tak memulai sebuah pembicaraan . Dia tentu tahu, itu bukan cara yang tepat untuk menjalin sebuah pertemanan. Entah, kenapa aku suka memilih bersikap seperti itu?
Ada saat dimana aku harus memahami seseorang. Ada saat dimana aku merasa tak berhak mengenal seseorang. Aku memang bukan orang yang penting untuk dipandang. Aku hanya ingin seseorang tahu persoalan kecil ini yang kerap membuatku bimbang. Apa yang sebenarnya dirasa sakit dari sebuah pertemuan ? Boleh jadi, ini sekedar prasangka saja. Iya, prasangka yang membuatku bingung. Aku masih ingat, saat ada perasaan yang belum aku mengerti . Seakan aku hidup menjadi orang lain. Mengasingkan diri atau tampil penuh percaya diri. Seolah aku akan menjadi pusat perhatian. Apa yang pantas untuk aku sebut perasaan semacam ini? Egokah aku? Sombongkah aku? atau justru ini sikap bijakku?
Aku berusaha untuk menjadi seseorang tak terlalu memaksakan diri. Ternyata, itu sulit. sesulit aku memisahkan rindu dari kebincian terhadap seseorang. Bukankah selaras, antara kebencian dengan melupakan sesuatu? jika benar rasa rindu itu adalah cinta yang sederhana. Ya Tuhan, bagaiman mungkin kebencianku sebagai sebab rasa rindu ini?. Aku benci seseorang itu. Rasa benci yang tak seharusny ada. Bahkan, rasa rindu dan cinta yang memang tak semestinya ada. Aku hanya ingin titik tengah diantara cinta dan kebencian. Tiada perasaan merindu, tiada pula membenci.
Aku akui, aku orang yang tak pandai bergaul dengan lingkungan yang aku anggap berbeda dengan watak dan karakterku. Memang, adanya perbedaan alasan seseorang untuk memilih. Lantas, apa arti menuntut persamaan? satu sama lain manusia tak ada yang sama. Mereka punya cara hidup dan jalannya masing-masing.
Meraka yang kaya, jahat, penindas, penyela, dan butuh Tuhan.
Meraka yang kaya, baik, penolong, penyantun, dan butuh Tuhan.
Meraka yang miskin, gengsi, apatis, dan butuh Tuhan.
Meraka yang miskin, legowo, akur, dan butuh Tuhan.
Dan meraka yang sama sekali tidak butuh Tuhan.
Setiap orang butuh kebaikan tanpa berpikir adanya Tuhan. setiap orang butuh dihargai. Setiap orang butuh dimengerti. Teruskan apa yang menjadi kehendaknya. Teruskan apa yang dia anggap baik. terasa menyenangkan melihat seseornag yang mampu menjadi dirinya sendiri. Apa peduliku dengan kehidupannya? perilakunya? ketaatannya pada sang pencipta? dia yang sepenuhnya bertanggung jawab. Sesaat, cinta terasa halus pada pandangan pertama. Namun, kenyataan bukan terletak pada sebuah pandangan. Melainkan pada sikap bijak seseorang untuk setiap kejadian. Aku bahkan tak mengerti, ketika keadaan yang berbeda dijadikan pemisah. Sebenarnya, itu tak membuat aku tersenyum saat mengingatnya. Hanya saja, batin ini mendorongku begitu kuat. batinku bilang, “Kau bukan laki-laki lemah. tiada pekerjaan yang sulit, hanya orang yang mudah menyerahlah yang membuatnya ada.”
Terkadang, aku mengikuti cara hidup seseorang untuk menemukan keakraban. Meski pun aku merasa seperti terpenjara. Tapi aku coba ‘tuk pahami, karena segala sesuatu ada pada masanya. Dia perempuan baik, tentu yang baik pula yang akan menjadi miliknya.
Dia lebih tua dariku. Walau pun tak berbeda jauh. Aku pantas menghormatinya. Aku bukan tak bisa mengikuti cara bersikap atau bergaulnya. Ini hanya terlihat asing. aku terima jika dia yang melakukannya. Aku tak bilang bahwa aku tak menyukainya. Aku hanya tak ingin melakukannya. Melakukan yang bukan jadi kehendakku. Jika menurutnya aku berbeda dari yang lain. iya betul. Aku senang bisa saling membaur. Tapi aku tak bisa memaksa diri untuk menyesuaikan sepenuhnya. Dia bebas melakukan apa yang menjadi keinginannya. Tawanya yang melupakan senyum. Asapnya yang menutup wajah perempuannya. Waktu senggangnya yang terkadang aku curi untuk bersujud. Dia boleh-boleh saja menilaiku sebagai manusia bodoh, angkuh atau apa pun itu. Aku minta maaf jika itu membuatnya terganggu. Maaf jika sikapku terkesan kampungan. Maaf jika tabiatku tak sesuai dengan keinginannya. Dan maaf jika terkadang aku memikirkannya. Aku ucapkan terima kasih, karena dia izinkan aku menjadi bagian hidupnya.
Meski sebenarnya Aku benci untuk mengatakan semua ini . tapi aku juga lelah jika hanya diam menahan rasa. Bersembunyi dibalik jerit hati. Entah, aku merasa seperti ada hal yang tak seharusnya ada. Yaitu saat ketidaktarikannku kepadanya justru membuat hadir perasaan lain. Benci, benci, rindu dan rindu. Aku benci kenapa bisa membencinya. Aku benci kenapa terkadang memikirkannya. Aku tak pernah menyesal bertemu dengannya. Aku hanya berharap, ini adalah jalanku untuk memaknai sebuah pertemuan sebelum datang perpisahan. Meunghargai sesuatu yang berada diluar dan didalam hidupku. Ketidaksempurnaan mengajari kita untuk melakukan sesuatu dengan cara yang sempurna. Entah, apa yang mendorongku untuk mengatakan semua ini. tak juga tepat jika aku bicara lewat surat ini diluar kesadaranku. Aku hanya bicara dari apa yang aku rasa. Terdengar menyiksa batin, saat ingin menggapai sesutau yang jauh dari jangkauanku. Mungkin ada jalan penghubung untuk mencapainya. Aku hanya perlu menunggu Tuhan memberi jalan atau Tuhan mendekatkan dia untukku. Ya Tuhan, aku hanya ingin tahu, haruskah aku bicara seperti ini dan mengadu kepada-Mu hanya karena terlanjur kangen kepada perempuan ciptaan-Mu? perempuan yang aku rasa ‘membencinya’.
Apakah cinta itu sebuah kekhilafan, sehingga patut bagiku meminta maaf ketika mencintainya? haruskah aku meminta izin kepada Tuhan hanya untuk jatuh cinta kepadanya?. Amat sukar untuk mengerti jalan pikirannku. Setidaknya, aku bisa berhenti berharap untuk memilikinya yang sudah jadi milik orang lain. bahkan berhenti memikirkannya. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya manusia biasa yang penuh salah. Juga sombong. Kali ini, mungkin kesombonganku yang sekian kali. Seperti keharusanku jujur mengenai perasaanku terhadapnya. Maaf bila aku terlanjur menyayanginya. Meski sebatas cinta yang aku tahan dalam senyuman kecil dibalik tatapannya. Karana tatapan itu ada pada dirinya dan dirinuya itu, kamu.
Sumber Gambar : www.gbis-online.org