Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Berhenti Berharap




Aku  tak  berpikir  akan  mengirim surat  ini  sebelumnya.  Aku  merasa  lelah  dengan  keberadaanku.  Seperti  saat  aku  bersikap acuh  dihadapan   seseorang . menjauh   untuk tak memulai sebuah  pembicaraan  . Dia tentu tahu,  itu  bukan  cara  yang  tepat  untuk  menjalin   sebuah  pertemanan. Entah, kenapa  aku  suka  memilih   bersikap  seperti  itu?

Ada saat  dimana  aku  harus  memahami seseorang.  Ada saat  dimana  aku  merasa tak  berhak  mengenal  seseorang. Aku memang  bukan  orang  yang penting  untuk  dipandang. Aku  hanya ingin  seseorang  tahu  persoalan kecil ini yang kerap membuatku  bimbang. Apa  yang  sebenarnya dirasa  sakit dari  sebuah  pertemuan ? Boleh  jadi, ini  sekedar  prasangka saja. Iya, prasangka yang membuatku bingung. Aku masih ingat, saat  ada  perasaan  yang belum  aku  mengerti . Seakan  aku  hidup  menjadi  orang  lain. Mengasingkan  diri atau  tampil  penuh  percaya diri. Seolah aku  akan  menjadi  pusat  perhatian. Apa  yang  pantas  untuk aku  sebut  perasaan  semacam  ini? Egokah aku? Sombongkah aku? atau justru ini  sikap bijakku?

Aku berusaha untuk  menjadi seseorang tak  terlalu memaksakan diri. Ternyata, itu sulit. sesulit aku memisahkan  rindu dari  kebincian terhadap  seseorang. Bukankah selaras, antara kebencian  dengan  melupakan  sesuatu? jika benar  rasa  rindu  itu adalah cinta  yang  sederhana. Ya Tuhan, bagaiman mungkin kebencianku  sebagai sebab rasa rindu ini?. Aku benci  seseorang  itu. Rasa benci  yang  tak  seharusny  ada. Bahkan, rasa  rindu  dan  cinta  yang  memang tak semestinya ada. Aku  hanya ingin  titik  tengah  diantara  cinta  dan  kebencian. Tiada perasaan  merindu, tiada  pula membenci.

Aku akui, aku  orang yang  tak  pandai  bergaul  dengan  lingkungan  yang  aku anggap  berbeda  dengan  watak  dan  karakterku.  Memang, adanya  perbedaan  alasan  seseorang untuk  memilih. Lantas, apa  arti  menuntut persamaan? satu  sama  lain  manusia  tak  ada  yang  sama. Mereka  punya cara  hidup  dan  jalannya  masing-masing.

Meraka yang  kaya,  jahat, penindas, penyela, dan  butuh  Tuhan.
Meraka yang kaya,  baik,  penolong,  penyantun,  dan  butuh  Tuhan.
Meraka yang  miskin, gengsi,  apatis,  dan  butuh  Tuhan.
Meraka yang  miskin, legowo, akur, dan butuh  Tuhan.
Dan meraka yang sama sekali tidak  butuh  Tuhan.

Setiap  orang  butuh  kebaikan  tanpa  berpikir  adanya Tuhan.  setiap  orang butuh  dihargai. Setiap  orang  butuh  dimengerti.  Teruskan  apa  yang  menjadi  kehendaknya. Teruskan  apa  yang dia anggap  baik. terasa  menyenangkan  melihat  seseornag  yang  mampu menjadi  dirinya  sendiri. Apa  peduliku  dengan  kehidupannya?  perilakunya? ketaatannya pada sang  pencipta? dia  yang  sepenuhnya bertanggung jawab.  Sesaat, cinta  terasa  halus  pada  pandangan  pertama. Namun,  kenyataan bukan  terletak pada sebuah  pandangan. Melainkan  pada  sikap  bijak seseorang  untuk  setiap  kejadian.  Aku bahkan  tak  mengerti, ketika  keadaan yang  berbeda  dijadikan  pemisah.  Sebenarnya, itu  tak membuat  aku  tersenyum  saat  mengingatnya.  Hanya  saja, batin  ini  mendorongku  begitu  kuat. batinku bilang, “Kau bukan  laki-laki lemah. tiada  pekerjaan  yang  sulit,  hanya  orang  yang  mudah  menyerahlah  yang  membuatnya  ada.”

Terkadang, aku mengikuti  cara  hidup  seseorang  untuk  menemukan  keakraban.  Meski pun aku  merasa  seperti  terpenjara.  Tapi aku coba  ‘tuk  pahami, karena  segala  sesuatu  ada pada masanya. Dia perempuan baik, tentu  yang  baik  pula yang akan  menjadi  miliknya.

Dia  lebih  tua  dariku. Walau pun tak berbeda  jauh.  Aku  pantas  menghormatinya. Aku  bukan tak  bisa  mengikuti  cara  bersikap  atau  bergaulnya. Ini  hanya  terlihat  asing. aku  terima  jika  dia  yang  melakukannya.  Aku  tak  bilang  bahwa  aku  tak  menyukainya.  Aku  hanya  tak  ingin  melakukannya.  Melakukan  yang  bukan  jadi  kehendakku.  Jika  menurutnya  aku berbeda  dari  yang  lain.  iya  betul. Aku  senang  bisa  saling  membaur.  Tapi  aku  tak bisa  memaksa  diri  untuk  menyesuaikan  sepenuhnya.  Dia  bebas  melakukan  apa  yang  menjadi  keinginannya.  Tawanya  yang  melupakan  senyum. Asapnya  yang  menutup  wajah  perempuannya.  Waktu  senggangnya  yang  terkadang  aku   curi  untuk  bersujud. Dia  boleh-boleh  saja menilaiku  sebagai  manusia  bodoh, angkuh  atau  apa pun itu. Aku minta  maaf  jika  itu  membuatnya terganggu. Maaf  jika  sikapku  terkesan  kampungan.  Maaf  jika  tabiatku  tak  sesuai dengan  keinginannya. Dan maaf  jika  terkadang  aku  memikirkannya. Aku ucapkan terima  kasih,  karena dia  izinkan  aku  menjadi  bagian  hidupnya.

Meski sebenarnya Aku  benci  untuk  mengatakan  semua  ini .  tapi  aku juga lelah  jika  hanya diam  menahan  rasa.  Bersembunyi  dibalik  jerit   hati.  Entah,   aku  merasa  seperti  ada  hal  yang  tak  seharusnya  ada. Yaitu  saat  ketidaktarikannku kepadanya  justru  membuat  hadir  perasaan lain. Benci, benci, rindu dan  rindu. Aku  benci  kenapa bisa  membencinya. Aku benci  kenapa  terkadang  memikirkannya. Aku tak  pernah  menyesal  bertemu  dengannya. Aku hanya  berharap,  ini  adalah  jalanku  untuk  memaknai  sebuah  pertemuan  sebelum  datang  perpisahan.  Meunghargai  sesuatu  yang  berada  diluar   dan   didalam  hidupku. Ketidaksempurnaan  mengajari  kita  untuk  melakukan  sesuatu  dengan  cara  yang  sempurna. Entah,  apa  yang  mendorongku  untuk  mengatakan semua  ini.  tak juga  tepat  jika  aku  bicara  lewat  surat  ini  diluar  kesadaranku. Aku  hanya  bicara dari  apa  yang  aku  rasa. Terdengar  menyiksa  batin,   saat  ingin  menggapai   sesutau  yang  jauh  dari  jangkauanku.  Mungkin  ada  jalan  penghubung  untuk  mencapainya. Aku hanya  perlu  menunggu  Tuhan memberi  jalan  atau  Tuhan  mendekatkan  dia  untukku. Ya Tuhan, aku hanya  ingin  tahu, haruskah  aku  bicara  seperti  ini dan mengadu kepada-Mu hanya  karena  terlanjur  kangen  kepada  perempuan  ciptaan-Mu? perempuan  yang  aku  rasa ‘membencinya’.

Apakah  cinta  itu   sebuah  kekhilafan, sehingga  patut  bagiku  meminta   maaf  ketika  mencintainya? haruskah  aku meminta  izin  kepada  Tuhan  hanya  untuk  jatuh  cinta  kepadanya?. Amat sukar  untuk  mengerti  jalan  pikirannku.  Setidaknya, aku  bisa  berhenti  berharap  untuk  memilikinya  yang  sudah jadi  milik orang  lain. bahkan  berhenti  memikirkannya.  Aku bukan  siapa-siapa.  Aku hanya  manusia  biasa  yang  penuh  salah. Juga sombong. Kali ini, mungkin  kesombonganku yang  sekian  kali.  Seperti  keharusanku  jujur  mengenai  perasaanku  terhadapnya. Maaf  bila  aku terlanjur  menyayanginya. Meski sebatas cinta  yang aku tahan  dalam senyuman  kecil  dibalik  tatapannya. Karana  tatapan itu ada pada  dirinya dan dirinuya itu, kamu.


Sumber Gambar : www.gbis-online.org





















This post first appeared on Penalesia, please read the originial post: here

Share the post

Berhenti Berharap

×

Subscribe to Penalesia

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×