Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Nok Ir: Padamu Jie Kusemat Puisi

Tags: bapak lagi hingga
By Nok Ir


PADAMU JIE, KUSEMAT PUISI


Memulangimu setelah sekian waktu
Menggulirkan sejengkal demi sejengkal haru
Memicingkan kembali sipit mata kalbu
Memekarkan lagi dipingini hidung mengendusmu
Menegakkan bidang telinga ini mendengar dengungmu

Sambangiku selepas jeda mendera angin utara
Geleparkan sejumlah pijar sekuntum putik yang terjerat
Layangkan berpasang-pasang hasrat yang pernah terlipat
Melipirkan segudang kerjap kenang yang dulu terbuang
Halau sekian depa reksa yang didera rentetan masa

Hingga,
Embun menyembul santun mengirim kesiur semilir
Rinaikan rintik ingatan di sela-sela usikan khayalan
Untaian kata-kata meluncur tanpa terbata
Berderet-deret kalimat tak terpatah-patah dilumat
Rangkaian bait-bait terlahir demikian rumit

Dari arah tenggara bisikan itu suar menyuara
Ulurkan rangkulan bentangkan rengkuhan
Walau jalan yang terhampar tak luput aral melintang
Hasrat godaan kerap kali menyerang
Mengirim candu dendangkan dentang merayu
Aku yang terpana, bimbang di tengah gelombang hasutan

Pada bidang telagamu, Jie
Kueja berlembar-lembar kajian aksara
Tentang era yang menjelma fatamorgana
Menjura setangkup dada yang mengikrarkan satya
Senantiasa tandang pada tembuni puisi
Sekalipun raga tak lagi bernutrisi
Jiwa tetap menggamit nyali

Jie dan puisi
Laksana sekeping koin bermuka ganda
Gambar dan angka saling memberi harga
Antara dia dan kata-kata tetap menyimpul makna
Mana bisa ku memisahkannya

Sumenep, 26 Juli 2022



TEMBUNI PUISI


Telah sekian masa kau kelana
singgahi khatulistiwa hingga lesat ke utara
sentuh aurora, lalu sekejap sirna

Seberapa jauh kau arungi kelam kesepian
gumuli aneka pesona yang terjaja di sepanjang pikatan
tawarkan

candu melimpah di segumpal rayu
Beragam drama terputar saban senja
menjatuhkan saga senja di tanah garam Madura
membilur di antara kayuhan jukung berdayung

Pada hamparan terumbu ternukil sayatan sembilu
di sela-sela karamba terlayang senampan kenang
di bentangan wewarna jala teronce selaksa asa
di liukan batang nyiur terukir nyali tak terukur
di denyar gelepar cakalang tersimpan nyala bintang

Hingga kurun tandang beruntun
mengabar suka semesta sejagat raya
mengulik segala rupa beraroma deduka

: tembuni puisi
demikian, rentetan kalimat tlah mengutip hikmat
rangkaian kekata menjelma binar jiwa
bait-bait teruntai tembus lelangit
kelak kan kau tuai pula
sejumlah makna menguntai di jiwa
hingga terlahir bayi-bayi puisi

Sumenep, 28 Juli 2022


SOLITER


Kembali kau peringatkan aku untuk tak kehilangan ingatan
cumbui berpasang batu-batu berkalbu
dalam langkah ziarah berkepanjangan
yang memutikkan kembali serangkai ingatan

Saat tubuh subuh luruh
meminang nyali-nyali merekah lagi
gempita belia yang ditimpal rerasa anyar
seriuh denyar semeriah kerjap binary

Sekali tempo kupulangi bilik memori
memilah ingatan, memungut gambar kenang
demi menebalkan garis tegas rerinduan
memboyongnya di rumah berjuluk sejarah

Sesekali sapalah aku demi sebuah tembuni puisi
layaknya dulu selalu kau ramaikan perhelatan
menyembul di antara pembatas halaman
sedemikian terjaga kebersahajaannya

Terkadang kurindu mencumbu kelinglungan
terpelanting dari belahan rasa yang tak penting
nikmat kesendirian
lindap terendap, kelam terdalam
oleh sekian perseteruan

Sumenep, 28 Juli 2022


PENGANTIN NEGERI AWAN


Romansa yang meluap
Gegap gempita di segugus gumpalan awan
Mengawang ringan hingga ke tampilan impian
Entah dengan getar seperti apa ia terarakkan
Untaian jumanji sebagaimana dapat tersaji
Seberdaya apa hingga bisa terada
Melampaui batasku, membersit di raut wajah tanah harapan

Tak lagi kuingat
Seperti apa rupa pelaminan ajakannya
Sejurus pikat mengurai di situ
Tersusun bersama sederet puja raya
Membenihkan sukma remaja, mengembang riang
Gelak panjang bertabur, derap langkah tersungkur
Serasa memutik kembali beragan sulur-sulur hati
Benih jelita yang pernah tertimpa luka
Saat kau serukan suatu malam :
Kemarilah merapat , pengantinku...

Mungkin telah kau lupa
Semasa kita meremaja bersama
Menyimpan rasa sendiri-sendiri di dasar hati
Saling melempar tanya mengusikkan dada
Riuh bertalu-talu hasrat bisa bertemu

Tiada daya tuk memepatkannya
Mengalir dalam , sewajar perlintasan
Menyambang sejenak lalu hilang
Ketika tanpa tanda sapa kau berlalu mewariska haru

Inikah singgasanamu ?
Terbentang nanar pada selembar awan berwujud masa lalu
Tak ada apapun dikandungnya
Tak mengungkap perjanjian sakral
Tak bisa kutemu pematik rindu yang terisyaratkan dulu

Tinggal gumpalan lara pembentuk kekal rasa

Pengantin negeri awan
Mengambang di awang-awang
Kembaranya di bentang kenangan
Dengan skenario yang tak lagi kukenali
Sejoli itu, tak sampai merebak lama

Sumenep, 28 Mei 2016


PEREMPUAN YANG KAU UMPAMAKAN TUNGKU



Perempuan yang ka umpamakan tungku
menjilat buncahan kerjap
menelan bilah kayu
diurainya sebagai sumbu fajar
tanpa kesah ataupun decak lelah
hanya menggumulkan bola niatan
menanakbenih demi bekal kepulangan

Perempuan yang kau umpamakan tungku
pengumpul himpunan daya
sedari awal musim hingga berubahnya cuaca
semakin gigih menyumbat pori-pori yang mengangakan celah
lebih giat lagi menimbun lubang jeda
menepikan pongah semata ingin menyingkirkan jengah
tetap mendahulukan langkah sebelum akhir benar-benar tiba

Perempaun yang kau umpamakan tungku
sejatinya adalah matahari
bergolak segar, sulutkan energi
meniupkan hidup, puja terberkati

Sumenep, Oktober 2016


INI NOVEMBER


Ini November
hatiku berkerak menguning
atmaku menggelinjang
kurasakan segalanya gigil
sekerat cinta lumer di dalam dada
tak lagi utuh
bilakah ia mengulang
ada kembali, permainkan jiwa

Di antara November dan musim ini
tanpa gemintang riang pada binarmu
tak beranting apapun di dahanmu
dedaun membisu,enggan mengantarkan rayu
hanya terlihat semesta berupa masam
ketika itu, tak ada aku berdiam di kamarmu

Di tengah-tengahnya November dan hujan pagi
selintas helaanmu menari-nari
menghembus nafas pudar
membunyikan genderang perang
nyata menyulut kematian
saat itu, tak ada lagi kau membuaiku

Sumenep, November 2016


DI KELAM RINDU


Kita pernah jumpa dan ingin selamanya
mengekal dalam sejati
laiknya oase dan padang Kalahari
saling mendayakan, mengaliri sejuk di setiap ufuk
bergantian menorehkan lukisan kenangan
bagi sepenggal kisah tersemoga terabadi

Di kelam kita telah hidup
merebak ranting-ranting berkeliaran
menembus belatantara halang ruang
menyulurkan hidup karena saling menumbuhkan
yang sewaktu-waktu tenggelam, lalu sebentar ada kemudian
namun, tetap mampu bertahan

Di jumpa kelam ini
kita telah terguncang berkali-kali
terjungkal berulang-ulang
terbanting terpelanting sering
menuai sejumlah dera, membilurkan jutaan luka
meninggalkan bekas jeda
entah hingga bila kita bisa melepas
segala rupa yang berbau rindu

Sumenep, April 2016


DIALOG AYAH - ANAK


Kubelajar dari sepenggalan prakata
Dialognya
Tak banyak, namun lekat makna
Melecut seolah penuh cambuk
Ayah : gigih benar menggoda
kuat amat meminta
serahkan saja jika memang terpuja
atau...
tolak dengan senyuman menawan
pastikan bisa
menurutku
itulah sebaik-baik memaknai kepemilikan
agar tak disalahkan gelora pikiran
biar dituntut gejolak hati
Anak : benar
kuakui ku tergoda
kumaklumi ku terpuja
senyum menawan tak yakin membuatnya tertolakkan
namun
berserah juga mestahil kuwujudkan
sebab tak pandai kumaknai arti kepemilikan
kiranya
gejolak pikirkulah yang salah

Petuah yang melecut jiwa

Sumenep , 24 April 2016



YUK NUR, LELAKI AGUNG


1// Rumah Geladak Bapak

Di pinggir Kali Tuntang dengan teritisan kenang, bersembilan sesaudaran yang terada hingga dewasa berbincang hingar, menyusun partitur doa di lingkup tetabuh gending bergamelan tua, berharap nasi pagi kan mengepul kembali esok hari, lauk pepes iwak lundu terbungkus daun mengkudu penuh taburan senyum haru, parutan kelapa gading berbumbu garing, sempurnai tugas masing-masing, tiga pasang pintu bertingkap ganda sambut para petandang tanyakan tanda-tanda yang diinginkannya, jendela kaca patri warna-warni serupa lapisan es mambo, himpunan kenang menggenang saling melengkapi, tetap kuingat sepasang tombak kekar berdiri tegak di kanan kiri menghadap serambi, senjata perang para leluhur mempertahankan tanah warisan, peringatkan anak generasi, kukuh teguh genapi silsilah sanubari, bunyi langkah bapak berpacak di lantai rumah geladag, memanggil-manggil kami pulang seiring adzan kumandang, menggeriyap bertalu-talu gemuruhkan rindu, lengkingnya melesat hingga genangan larat

2// Belia dan Lansia

Bocahku dulu bersama bapak, belia bersanding lansia, bergandeng bertuntunan, bersilang tangan, terkadang kupilin ujung bajumu sebagai pegangan, kucincing erat sambil kutanyakan. “Hendak kau bawa ke mana aku, Pak?”, lelaki sepuh bersarung itu tak menjawab, hanya mengirim sedikit senyuman. Bocahku dulu bersama bapak, berjalan beriringan, tanpa suruhan. sering kutergopoh mengimbangi langkah, kusingsingkan rok lebar agar tak ketinggalan. “Mau ke mana lagikita ini, Pak?”, lelaki sepuh bersarung itu tanpa gemingan, hanya menoleh sekilasan. Bocahku dulu bersama bapak, duduk menyanding saling tepekur diam, melahap pelataran nan menghampar, menghitung dalam diam nisan demi nisan tanpa ukir tanda tulisan, berjajar utara-selatan, “lalu apa yang harus kubuat, Pak?”, lelaki sepuh bersarung itulekat memandang lalu berucap: “Kelak kau akan memetik paham, ketika kau sudah tunaikan separuh kehidupan, sekarang aku tanpa bapak, telah hampir paham.

3// Bintoro Demak

Bentang kali Tuntang membelah pasar dan pusat keramaian kota wali yang mewakili harum saji kampung Setinggil, Pangeran Wijil dan hutan leluhur Glagah Wangi. Lintas panjang Pecinan mengarah utara-selatan wilayah Sultan Fatah, mengundang tandang pada pelancong kesenangan gapai rentengan hio berharum puspa nirwana atau kudapi kue moci serta manisan mangga terhidang dalam wadah-wadah kaca gemilang. Kini, selain tinggal ramai kaki lima yang kian membelukar di kiri-kanannya, menjaja serutan kelapa muda dan aneka penganan, tak terdengar lagi bunyi gemeletak pacak di rumah geladak bapak yang setiap pagi, yang dulu selalu bertalu-talu menggugah bangun kesembilan sesaudaraan beranjak riuh larung gegas menuju Masjid Agung, menyerudukkan rindu di ulu jantungku, kesohoran Bintoro terangkum genang di dada terbawa hingga tanah rantauan nun di sebrang keinginan. Bersahutan antara arak-arakan Prajurit Patangpuluhan Grebeg Besar dengan gununganTumpeng Songo menuju petilasan Sunan Kalijogo.

4// Tamu Masa Lalu

Hari-hari purba mentari makin tua, condong ke barat di ambang remang malam, helai rambut-rambut bapak pun beruban keperakan luruh berguguran, kulit kuning langsat serupa para leluhurnya, berubah menggelap berlipat-lipat, langkah yang kian lungkrah, punggungnya tak lagi tegak sempurna, melengkapi kesenjaannya, mendekati akhir hitungan. Masa yang berambat lesat, waktu yang memakan sisa sisa detak ulu, mengabarkan tanda kefanaan dunia. Bapak menua sempurna dengan kezuhudan yang tertata. Tamu masa lalu, saat raga gagah bapak terwakaf tuk juang bela negara, demi merdekanya, memohon kesediaan bapak membubuhkan tanda tangan sebagai bukti sang tamu prajurit sejati, dengan bapak sebagai pimpinan memenuhi keinginan tamu sepenuh hati. Bagaimana dengannya,bapak tak bergeming dengan gaji kehormatan veteran sebagai iming-iming, sebab berjuangnya dulu semata Lillahi Ta’ala bukan sebab pesona dan janji dunia. Duhai, sang lelaki agung...

5// Ketika Bapak mangkat

Sembilan belas delapan pulud dua, tahun berlamur duka lara, langit keperakan di Asta Giri Binangun memayung rembuyung , lingkupi gundukan tanah basah sewarna resah bertabur keranjangan luka, sepasang nisan bertuliskan asma agungnya. Dada dada diam, tanpa helaan, puluhan netra melayangkan pandangan iba, pada si belia tanpa paham makna, setelah hari ini apa yang kan terjadi, apa tetap ada pijar matahari, semua masih terngiang sebagai misteri. Di antara adzan dan talqin, kami sematkan hujan puja dan pinta, terberkatilah sesamudera bakti lakunya, menjadi pembentang jalan lapang, semasa piara hingga membuka gerbang dewasa, bagi ketigabelas anak-anaknya

Sumenep, 9 Januari 2021


MUTIARA GANTUNGAN KALBU IBU

: Dev dan Dan Nairda

Menguntai kasih
Tanpa timbang selisih
Dalam kurun masa
Tiada cecinta biasa
Di belia hingga tingkap dewasa
Mengayam asa
Jalin temali janji
Saling menggenapi hari
Bertaut dua pasang jemari
Tundukkan badan sejajar alam
Hunjukkan sujud sambil berlutut
Hingga batas antara adzan dan iqomah

Duhai,
Mutiara gantungan kalbu ibu
Merimbunlah di sajak sajak doa
Torehi gempita peradapan
Genapi gemilang langit jaman
Sepenuh santun, runduk pada Sang Penuntun

Sumenep, 8 Januari 2021


DEV NAIRDA, PUALAM BUNDA


Dev Nairda berparas matahari jingga
Dev menata diri sedari dini lintasi bianglala
Disandangnya sebidang kanvas lengkap pewarna
Lengkung cakrawala bermega radang menjelaga digambarnya
Warna garang tergoreskan pada sesayat luka
Berupa keinginan yang terabai lama
Duhai Bunda, bolehkah kupelihara sepasang anak kucing?
Akan kuajak bermain berlagu berdenting-denting
Akan kuajarkan memanjatkan doa dan keinginan
Memati-matik bumi seperti kembang api

Dev Nairda, bermata gerimis
Sesaat ia terpana dalam dendang sayatan semesta
Gemuruh angin barat menerpa larat
Reranting gugur secara beriring teratur
Masa berkejaran begitu lesatnya
Di depan sana terpampang rekaman masa depan
Saat tuntutan berkeranjang-keranjang
Sketsa jaman seperti mengganyang impian
Lebih jalang dari yang terumpamakan

Lalu, sang masa mengulurkan rengkuhan
Merangkul Dev dengan curahan teladan

Agar ia dapati sejati

Sumenep, 20 Maret 2021


KEPADA DAN NAIRDA


Sepertinya tak tertoreh cerita kita di sini
Nama nama tak tersemat, tempat tempat lupa diingat
Percuma saja melumat per kalimat
Menyusur kata pada tiap baitnya
Sebab kita hanyalah setitik nohtah
Membercaki kisah dengan sekilas
Layari segara semesta bergambar aksara
Berulangkali menatap lengkung langit utara
Hanya terjawab kilat aurora
Berpelangikan aneka asa

Dermaga Nyamplong yang menyimpan kidung kidung anak kolong
Berpayung awan jelaga, mengajarkan beragam tumpahan berita dunia
Terumbu karang meratapi kejayaan silam
Jala dan para para memanggil siulan ruwatan
Baronang ingin renangi lagi muara kenang
Nganga tong cakalang undang musim panen kerap bertandang
Di antaranyalah tubuh mungilmu terlahir berbarengan jingga senja
Sosok perkasa menyembul bersama tangis digdaya

Sepertinya tak bakal kembali ke sini
Jejak kaki kita tergambar di anyaman temali
Kibar layar hanya berupa pajangan , tak memberi jawaban
Dan Nairda lelaki gantungan hati,
Menjawab rentetan doa doa yang terngiang di Hijir Ismail
Dalam balut iba, kami meratapkan pinta
Hadirkan sesosok penerus nasab keluarga
Pembawa hikmah setiap rautan peristiwa
Menjadi wali pengganti bagi saudara perempuannya

Dan Nairda, masih teringatkah polah katamu semasa itu
Saat merona paras binarmu, menggenggam anak burung temuanmu
Di siang sunyi, biarkan ia lepas nak, induknya pasti kehilangan
“ Ingin kurawat dan kutimang, bunda. Akan kucarikan kekasih hatinya, agar bisa tertawa dan beranak bahagia”

Dan Nairda merawatnya sepenuh jiwa, sekian masa berbilang
Hingga kelak ia terbang, mencari tambatan hidupnya
Dan Nairda, lakumu menyiratkan tanda
Jika kelak mendewasa, meninggalkan bunda demi darma

Sumenep, 16 April 2021



MENGUTIP MOZAIK


1/ Perca- perca mozaik kisah kita, terpahat lekat di langit-langit jiwa, menjantungi semesta, memukau bumi, meliuki seputaran hati, patahannya menjadi penatah langkah, mengukir guratan nadi nadi mengalir, semaikan bijih kebajikan terbulir, mengikat, bersamai sanubari selaik matahari

2/ Berlembar- lembar sketsa, terpampang nyata di bentangan alir Kali Tuntang, gambang keroncong Pecinan, tetabuh bedug Grebeg Besar, rumah geladak bapak, tuju buliran gemunung garam, mengamis di bibir pantai rantauan, mencengangkan wajah belia, menari di seputaran rangkak usia, hingga menghantar ke gerbang lain jaman

3/ Seputik puspa tersemat anggun di lekuk sanggul, rekah meraya hanyutkan mayapada anak-anaknya, di belahan selatan aurora meyala-nyala soraki tetingkahnya, sambut bilah beda peradapan, yang menggerenyapkan takdir anyar

4/ Gambar kita, ramai berkalang cerita, merona saga lalu tetiba mengelir jingga, selorohkan aneka kisah berkeluh kesah cericit pagi penuh cekikik tawa sembilan bayi, berebut bubur burgur tanpa irisan telur, minuman bergizi endapan air tajin nasi, seplastik remahan roti bertabur guguran gulali, penuh gelak bahagia tanpa setitik pun reksa paksa, hilang laksaan lara

5/ Rerindu kita sepertinya tak bakal tuntas hanya di kata, tiada mampu kutuang meski sekedar sepahnya, membincangkan aroma kebaya koyakmu, mempuisikan harum keluk tungkumu, menguliti wangi botok terasi, merangkum sedap kue mento berbungkus daun, memadahkan tumpahan nestapa pada belanga duka, genang linang airmata yang segera tersusut oleh tawa, senantiasa ingin tampak perkasa di muka dunia, kelu ini tetap bersemu pilu

6/ Restu yang kian utuh menyentuh, telah memintaku menjadi inang berlabuh, menjamur lamur berakar gelegar tegar, tempat menyemat lintasan kenangan yang berlalu lalang, tawa beliamu di karnaval perayaan di Watu Gong, kilat petasan di sekujur kuda Sam Poo Kong, mengudap harum manis bertabur kismis, jajanan mewah di lidah kami yang tak lumrah, membuatku mengulum cemburu

7/ Hujan rindu di rembulan kesekian tahun ke sebelas, mengirim lirih petrikor bernada sumbang, saat bapak berpulang dalam genang, wewangi tubuhmu seketika suar, senyummu mendadak tak lagi hingar, burai legam rambutmu terberai muram, kesunyian menjelma kemelaratan. Sepedih itukah sunyi dada yang tak lagi nyala?

8/ Di bentang dada menelagamu, lembayung Idul Fitri kita gemericik rindu, membuka luap palang lawang maaf, mengudap manisan-manisan harap, esok menjadi awal syawal, seputih kertas, tanpa bekas, nyawiji membayi lagi, saat penyembuh kalbu datang meminang, dentang riang kembali terngiang, dengan lincah kau belitkan kisah, dada ini membuncah, senyum di ayumu bersemi merekah, menggenderangkan derap melecut pacuan harap

9/ Suatu masa, prasetya terkulum rindu, ku menjelma mempelam jiwa, berpengantin bersama kucur dedoa, lelaki sempurna bermata sesegara, teduh membiru, yang pagi itu merangkum kedua tapak jemari menciummu, buat menggali aneka restu

10/Takkan terjeda taut jejiwa kita, selamanya menggemuruh aruh, membumbungkan puja dupa di tiap hela nyawa, nadi melingkupi derap nyali, seberdaya kita merawat tresna, membentanglebarkan angkasa, tetakdir anak pinaknya.




Nok Ir, nama yang disematkan Hj. Khoiroh, S.Pd. SD pada semua karyanya. Lahir Demak, Jawa Tengah, tinggal di Sumenep bertugas sebagai pendidik. Menulis sejak remaja, karyanya terhimpun di puluhan antologi bersama. Jie, buku solonya lahir di tahun 2020 berkesempatan mengikuti Launching Bersama di Festival Sastra Internasional Gunung Bintan, Tanjungpinang – Kepri.


This post first appeared on Kata Bintang, please read the originial post: here

Share the post

Nok Ir: Padamu Jie Kusemat Puisi

×

Subscribe to Kata Bintang

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×