Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Ibu: Rindu yang Tiada Batas

Hari Jumat pagi, 18 September 2020. Dini hari jam 03.00 suasana dingin mencekam. Seolah – olah tubuh ini terperangkap pada gua gunung es. Angin berbisik sepoi – sepoi menemani dinginnya pagi itu. 

Isak tangis itu masih terngiang di telinga bersamaan hembusan napasnya yang terengah - engah. Hanya sebagian organ tubuhnya yang terlihat bergerak.  Ayat – ayat suci al Quran sayup terdengar dari kamar itu. Tubuhnya sangat lemah terbaring di kasur dikelilingi keluarga dan sanak saudaranya. 


Rumah Ibu


Mataku hanya bisa menatapnya. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali mengucapkan zikir di dekatnya sambil menuntun bibirnya berucap Asma Allah.  Air mata tak hentinya bercucuran. Berlinang membasahi kerudung yang aku kenakan saat itu.

Ibu, panggilku lirih, tapi bibirnya Sudah tidak bisa menjawab panggilanku. Aku sungguh tidak percaya. Masak? Ya Allah, begitu cepatkah? Kenapa? Pertanyaan – pertanyaan itu terus saja berputar dalam pikiranku. Tak sedetik pun tubuh lemahnya lepas dari pandanganku. Berharap akan ada keajaiban dari Allah.

Setengah hari sudah aku duduk dekat tubuhnya yang lemah. Namun tidak sedikit pun aku melihat ada perkembangan yang membaik. Aku dan semua keluargaku memang sengaja tidak membawa ibu ke rumah sakit karena pada waktu itu virus Corona lagi dahsyat – dahsyatnya menyerang manusia di bumi.  Yang konon katanya ketika pasien masuk rumah sakit harus menggunakan prosedur perawatan Covid. Harus ditempatkan di ruang isolasi sendirian. 

Jangankan keluarga yang bisa masuk, tim medisnya pun harus menggunakan pakaian khusus.  Jadi kami berpikir kalau ibu masuk rumah sakit dalam keadaan seperti itu, tidak akan ada yang akan mendampinginya dengan lantunan – lantunan zikir dan ayat – ayat Allah.

Adzan dhuhur berkumandang. Para kaum laki – laki sudah di masjid untuk salat Jumat. Aku masih tetap di sampingnya sesekali merapikan selimut yang menutupi tubuhnya. Napasnya kian menit tambah berhembus kencang. Bibir ini tak henti – hentinya berzikir mengharap ridhaNya untuk menyembuhkan ibu. 

Sekitrar jam 13.55, nafasnya tiba – tiba melirih dan akhirnya pertanyaan – pertanyaan tidak percaya itu sudah terjawab. Seorang perempuan yang mulia dijemput oleh yang Maha Mempunyai kehidupan. 

Air mata ini sudah habis. Mau menangis pun  sudah tidak bisa. Yang kurasakan hanya tubuh yang terasa berat untuk bergerak. Seolah – olah bumi sudah menghimpitku. Perempuan penyemangat hidupku sudah tiada. Allah lebih sayang padamu, ibu. Gumamku dalam hati.

Mulut terasa sangat pahit. Seteguk air pun tidak bisa masuk. Kulihat Sanak Saudara Dan tetangga yang peduli lalu-lalang di depan tempat aku duduk. Mereka sibuk menyiapkan acara pemakaman ibu. Tepat jam 16.30 di hari itu juga keranda jenazah ibu dibawa ke pemakaman. Hanya tubuh lunglai dan lambaian tangan yang mengiringi langkah para pelayat yang membawa keranda jenazahnya.

Hari berganti hari. Malam ini sudah sampai malam ketujuh tahlilan setelah beliau tiada. Di rumah masih banyak sanak saudara dan para tetangga yang datang untuk membacakan doa tahlil padanya. Perasaanku masih tetap sangat merasakan kehilangan yang sangat dalam. 

Sudah tidak ada lagi yang akan minta antar ke mana – mana dan membantuku merawat anak – anakku ketika aku harus mengajar. Ibu, kini aku hanya bisa membuka lemarimu. Aku lihat di situ yang ada hanya baju – bajumu yang masih digantung rapi. 

Di lemari itu juga ada beberapa tas yang sudah kotor penuh debu karena tak terjamah tangan dan sandalmu yang masih berada di rak sepatu. Sekali waktu untuk mengobati rasa rindu sesaat aku mencoba membuka album – album fotonya.

Rindu, rasa ini selalu menggugah hati untuk bisa bertemu dengannya. Tetapi, itu hal yang tak mungkin terjadi. Rindu kehangatan kasih ibu. Nasehat dan ucapanmu adalah doa bagi kami. Rindu yang tiada batas akan selalu menemani hari – hariku saat ini. Rindu yang tidak akan berbalas. Oh, ibu, wajahmu selalu ada di sudut ruang rumah ini.

Kini yang kulihat hanyalah nisanmu yang berdiri tegak di seberang jalan sana ditemani rerumputan hijau di sekelilingnya. Maafkan aku yang masih belum sepenuhnya membahagiakanmu, ibu. Semoga Allah selalu mengampuni dosa – dosa ibu dan memberikan  ketenangan di alam sana. Aamiin.



Ismawati, nama saya. Terlahir di Sumenep, 41 tahun silam. Pengajar di SDN Pajagalan 2 Sumenep. Pernah mengajar di Gayam, Kepulauan Sapudi, pada tahun 2003. tepatnya di SDN Gayam V. Setelah 7 tahun di Gayam,  mutasi pertama ke SDN Tambaksari 1, Kecamatan Rubaru. Lima tahun kemudian, tahun 2015, mutasi ke SDN Pajagalan 2 sampai saat ini.

Menulis adalah keinginan saya sejak dulu. Namun, kesibukan menyita seluruh waktu. Saya mulai menulis dan mengikuti pelatihan mulai saat ini. Anggota akitf komunitas Kata Bintang.





This post first appeared on Kata Bintang, please read the originial post: here

Share the post

Ibu: Rindu yang Tiada Batas

×

Subscribe to Kata Bintang

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×