Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Pertarungan Karakter dalam Ujian Nasional


Isu bocornya soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) menambah panjang daftar masalah sistem pendidikan kita yang menuntut segera dibenahi. Tidak hanya kali ini, setiap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada tahun-tahun sebelumnya juga tak pernah sepi dari berita kecurangan dalam pelaksanaannya.

Sekolah tak bisa cuci tangan dalam kasus ini. Sekolah dituding punya andil terhadap skandal kecurangan ujian, baik bocornya soal ataupun jawaban. Realita di lapangan menunjukkan bahwa sebagian sekolah tidak siap menerima hasil UN. Pihak sekolah tidak rela bila sekolahnya dianggap tidak berkualitas dengan banyaknya siswa yang tidak lulus. Oleh karena itu mereka menggadaikan integritasnya dengan “membantu” siswa agar memperoleh nilai baik dengan cara hitam.

Terlibatnya sekolah dalam praktik hitam USBN/UN meruntuhkan sendi-sendi Karakter bangsa yang dibangun selama ini salah satunya kejujuran. Nilai karakter kejujuran yang ditanamkan kepada siswa selama bertahun-tahun dimatikan oleh sekolah sendiri. Padahal sekolah merupakan institusi utama yang dipercaya bisa menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan memelihara karakter bangsa.

Karakter bangsa merupakan kondisi watak yang merupakan identitas bangsa (Simon Philis, 2008). Identitas ini menjadi ciri khas suatu bangsa, yang membedakan dengan bangsa lainnya.

Saat ini, bangsa Indonesia mengalami krisis identitas sebagai akibat krisis multidimensi yang menerpa sejak ruh reformasi dihembuskan pada tahun 1998. Akibatnya, berbagai tindak kriminal dengan beragam modus terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi peningkatan tindak kejahatan dari 325.357 kasus pada tahun 2014 menjadi 352.936 kasus pada tahun 2015. Eskalasi tertinggi terjadi pada kejahatan narkotika yang mencapai 90%. Pada tahun 2014 tercatat 19.280 kasus, sedangkan pada tahun 2015 meningkat menjadi 36.874 kasus dengan pengguna mencapai 5,9 juta orang.

Perilaku curang dalam kegiatan UN serta meningkatnya tindak kriminal terlebih kasus narkotika, merupakan indikator pudarnya jati diri bangsa Indonesia. Situasi ini menjadi sinyal buruk bagi masa depan bangsa, terlebih dalam menghadapi tantangan global.

Radar pemerintah telah menangkap sinyal buruk ini. Untuk menangkalnya pemerintah sejak tahun 2010 secara intensif melaksanakan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa. Pada tahun 2016 Menteri Pendidikan Nasional menyempurnakannya dengan mencanangkan Program PenguatanKarakter (PPK). Dalam program ini, nilai-nilai karakter bangsa terkristalisasi menjadi lima nilai utama; religius, integritas, nasionalis, gotong royong, dan mandiri.




PPK mendesak untuk dilaksanakan, dimonitor serta dievaluasi agar benar-benar terlaksana. Bila tidak, maka Bonus Demografi yang akan kita dapatkan pada tahun 2020-2040 bukan menjadi kekuatan melaikan beban. Melimpahnya angkatan kerja yang tidak didukung dengan karakter positif hanya melahirkan masalah sosial.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia memandang ada tiga pusat pendidikan yang berperan besar dalam Membentuk Karakter Anak yaitu; keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ketiga lembaga pendidikan ini disebut dengan “Tri Pusat Pendidikan”.

Sekolah merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga. Namun sekolah dibangun hanya bertujuan untuk memberikan pendidikan, sehingga andil sekolah tidak lebih kecil daripada keluarga dalam membentuk karakter anak. Terlebih lagi jika kebijakan Fullday school  (sekolah sehari penuh) diterapkan.

Penerapan fullday schoolmenjadikan anak berada di sekolah selama delapan jam. Hal ini menunjukkan bahwa waktu aktif anak lebih banyak berada dilingkungan yang dirancang untuk memberi pesan pedidikan. Selebihnya lima jam bersama keluarga, tujuh jam istirahat, dan dua jam dalam perjalanan.

Dengan demikian, maka sekolah punya kans lebih besar untuk membentuk karakter anak. Upaya pembentukan karakter anak di sekolah bisa dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran ataupun melalui budaya sekolah.

Pendidikan karakter yang baik bukan saja melibatkan aspek moral knowing (pengetahuan yang baik), tetapi juga moral feeling (merasakan dengan baik), dan juga moral action (perilaku baik) (Lickona, 1992).

Karenanya, pendidikan karakter erat kaitannya dengan pembiasaan yang terus menerus dilakukan dan dipraktekkan. Sekolah bisa memilih salah satu nilai karakter yang akan dijadikan budaya sekolah,  sehingga menjadi branding sekolah. Nilai karakter yang dipilih menjadi perilaku seluruh warga sekolah sehari-hari.

Keteladanan perilaku seorang guru mutlak diperlukan. Tanpa keteladanan sia-sialah segala anjuran kebaikan. Lisanul hal afsahu min lisanil maqol (bahasa perilaku lebih fasih daripada bahasa lisan). Guru yang menasihati siswanya agar berperilaku jujur, namun kemudian tindakan guru justru menggambarkan kecurangan maka siswa akan berpersepsi bahwa berlaku curang itu boleh.

Momen UN merupakan pertarungan karakter bagi warga sekolah. Apakah nilai kejujuran menjadi karakter dari seluruh warga atau justru sekolah melabeli halal pada praktek kecurangan? Semoga guru bisa menjadi panutan dalam pembentukan karakter kejujuran.


Taufiqurrahman, Guru SDN Kapedi II Sumenep dan Penulis buku “Terima Kasih Guru”. Pengurus Kata Bintang. (Artikel ini telah terbit di Radar Madura)

 



This post first appeared on Kata Bintang, please read the originial post: here

Share the post

Pertarungan Karakter dalam Ujian Nasional

×

Subscribe to Kata Bintang

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×