Ramadhan Gemilang
Bulan berduabelas bertandan-tandan
Ranum mentimun emas di kemuliaan
Setiap bulirnya riang riuh berguliran
Yang sebulan menimpali bulan kelanjutan
Bulan dalam buaian kerlap insan
Dinanti sunyi sekira bisa meminang
Raup binar wajah bersemu hingar
Nantian panjang lampaui inginan
Ramadhan dalam kejayaan
Mulia sendiri bersunyi-sunyi
Seperti Yusuf muda di antara saudara bersebelas
Mencurah kemegahan di peradaban
Sumenep, 6 Mei 2019
Ramadhan Kalbu
Aku ke Ramadhan
Tepis guliran alpa yang lekat di bidang dada
Kuliti satu persatu meski masih berona malu
Entah bilakah bisa termafhumkan
Aku di Ramadhan
Tertatih pijarkan malam demi malam
Mentadaburi kitab suci sekadar sekenanya hati
Tanpa getaran jiwa, hanya lisan terbata-bata
Aku yang berramadhan
Sibuk gelarkan kudapan menghampar di pelataran
Lupa luangkan sesaat menjelang adzan
Hingga mustajabah doa, terlewat dilangitkan
Aku pada Ramadhan
Saling menangkupkan rindu beradu
Luapkan biru pada masing-masing kalbu
Limpah ruah memberkahi, singkapkan haru
Sumenep, 07 Mei 2019
Kembali
Jembatan lapang yang kita pulangi
Melintang kokoh tak terperi
Bumi ungu kita tetap kaku
Langit berawan perak mengarak-arak
Lintasan sungai membujur sepenuh alur
Mengiringi jengkalan kaki-kaki sibuk menandai
Sesampainya kita, ibu bernetra sekilau kaca
Sambutan poranya hanya selirih sapa
Kita erat menjabat lengan beriringan
Sambil menata jiwa ramai bertanya-tanya
Terbentanglapangkah daun pintu ibu
Memeluki dosa-dosa dengan kucuran rela
Telikung mahoni acapkali menimpali
Di kelok membiru menuju rimbunan sembilu
Membayangkan hamparan huma jagung dan sepasang lesung
Tempatnya meratapkan doa kesah sarat mengisah
Tak lelah pijarkan dian
Bagi sunyi bayi-bayinya di rantauan
Sumenep, 08 Mei 2019
Ramadhan Di Gaza
Rangkaian serangan meluncur deras
Desing mesiu melengking mencabik-cabik ulu
Dentum senjata lantak membombardir tanpa rasa khawatir
Deru gulungan debu memenuhi kota-kota tak beribu
Kepul asap tebal sambut para syuhada riuh terjungkal
Fajar menyingsing ringkih
Tanpa sinar surya laiknya pagi biasa
Gencatan senjata tlah terkabar nyata
Di sisi kantong pesisir, warga miskin sibuk memilih daging anyir
Daging tubuh potongan mayat saudara semuslim
Tak ada dekorasi beraroma dan lentera di jalan-jalan Gaza
Bunga sukaria penghias masjid tlah sirna
Berganti foto-foto martir dari serpih mimpi warga
Pasar lengang, pemukiman suram, reruntuhan rumahsakit bertumpuk muram
Kesedihan menguar kentara di antero Palestina
Di jeda antara lantunan adzan dan imsak
Tak ada hidangan takjil ataupun iftar menghampar
Cuilan roti hanya berupa serpih-serpih sepi
Seteguk susu hangat bercampur linangan airmata dan keringat
Menghantar maghrib lirih, pembuka shaum berlauk pedih
Sumenep, 9 Mei 2019
Rahim Ramadhan
Seusai lerai sya'ban
Kuambil wudhu di kubangan buluh rerindu
Sarat luka dan timbunan daki
Sebab gumulan alpa yang bernanah nganga
Orang hingar bertanya di tengah bulan itu
Di rahim mana bisa terlahir kedua
Berharap memanggul suci seputi ari-ari
Dengan mengulik ampunan di helaan nyawa
Tangis memecah selepas lelah
Rona bulan menyinar binar
Lanjuti tadarussunyi hingga fajar dini
Berlapang-lapang di tahajud malam
Pungkasan ramadhan
Hadir ke bumi bayi-bayi arogansi
Berkelamin ngeri saling menuding jeri
Dengan jumawa lantang berkata-kata
Telah terlahir raga fitri, tanpa azali
Sumenep, 10 Mei 2019
Ramadhan Di Rantauan
Telah tiba pula ramadhan di lubukku
Berpayung serpih mendung keemasan
Di antara linangan kenang yang berkubang rintik hujan
Dalam derai rinai tanah harapan nan acap membadai
Sekelebatan bayang wajah ibu terbungkuk menuntun alu
Lesung yang membujur, seolah siap beradu mujur
Siangi doa-doa mengiring sepak juang anak-anaknya
"Di Bintoro ini kita bermula, julangkan langkah kalian di antero bumi berbekal kepatutan budi. Akan kukirimkan aroma Kauman dan ricik Kali Tuntang menemani. Kuali tanak kita tetap berlauk sepat, dengan didihan sayur batang lumbu yang mengaduk rerindu, agar kalian tak lekang aruh lain peradapan dan sorainya jaman." ucapnya
Ini tahun ke dupuluhenamku di rantauan
Ramadhan keenam tanpa bertakjil kudapan ibu
Harum mento berbungkus daun pisang sigap terhidang
Semangkuk kolak ketan hitam tak luput dari ingatan
Secawan seduhan kopi murni ramai menimpali
Namun, lawatan nasihat dan tauladan sering terabaikan
Kini wajah itu pergi bertudung sunyi
Tak kutemu aroma ibu bertalu-talu
Berganti debur ombak dan bentangan panggang ikan bersinar
Ditingkah butiran jagung terhuyung di batu gilasan
Ramai teriakan orang pelabuhan menjadi gambaran
Pijar kisah berkepanjangan di rantauan
Telah tiba pula ramadhan di lubukku
Berpayung serpih mendung keemasan
Di antara linangan kenang yang mengubang rintik hujan
Beriring-iring melibas hingar masa silam
Terganti lain lukisan di langit rantauan
Masih bisakah tetap kudekap lekat dalam ingat
Sumenep, 11 Mei 2019
Lelaki Penyunggi Hari
Kukemas haru beraroma dupa rindu
Selepas fajar dini membulirkan sunyi
Bentangkan angan bertandang impian
Kiriman doa buat sekuntum jiwa, tak lekang asa
Kita adalah bintangbintang di langit hingar rantauan
Berharap sinaran surya sigap tampiaskan
Menjadi terang, kerlipi bumi sepenuh hakiki
Duhai,
Lelaki penyunggi hari
Tak inginkah kau merajuk barang seteguk
Semati samudra bernama kita
Sumenep, 12 Mei 2019
Yang Merajai
Rabbi,
Lamakan tandantandan ramadhan yang hanya sebuliran
Agar dapat kusematkan hati sepenuh hari
Meninggikanmu tanpa jeda hakiki
Rabbi,
Begitu lelah jiwa lungkrangku menyandang langkah
Dalam balutan kasut dosa, yang tiap kali bertambah ada
Tatihan ikhtiar tak jemu kudayakan
Rabbi,
Limpahi tanpa jumawa
Jika hendak Kau tumpahkan cobaan sebagai sulur ujian
Yang memutikkan sukma kemaghfirahan
Rabbi,
Sematkan selamat pada dien diri
Bila kehebdakMu memanjangkan tali usia
Agar tetap mengenyam arah kekalnya nohtah sejarah
Sumenep, 13 Mei 2019
Kenang Kana
Di lintas lorong Trunojoyo hingga Klenteng Pao Sian Lin Kong, deru arus ricik Kali Marengan Pabian akrab menimpali kaki pada sebuah hari, seperti belia ceria, rusuh berkerumun tanggalkan masa-masa ranum, riang berkejaran menjolok angan, berbaku bahu saling sematkan rindu tersamar sipu, genggaman erat jemari ini menaut, tanpa halang maut, kelilingi pikuk sekitar komedi putar, sambil sesapi gulali bermata warna warni, tak ingin lekang hingga bedah bumi membentang, semua tersemat di label kenangan.
Sumenep, 15 Mei 2019
Lelaki Berdada Jelaga Dan Bumi Mimpi
Sisik-sisik kerapu lesat ke angkasa membentuk barisan angkara. Bergumpal-gumpal penuh keramaian. Segumpalannya tepat melingkupi deretan jukung bersayap ganda, lengkap santroni mayapada.
Raungan puja terngiang riuh pada sepasang lisan tanpa jeda. Menyirat harap terkucur limpahan perolehan dari selangit asa. Inginan itu tak jua usai, mengerat erat pancaroba menjadi maharaksasa, iklim yang terporanda sebab pongah jumawa.
Jukung-jukung tersungkur sungsang. Hendak ke tenggara ataukah arah lainnya, para lelaki berdada jelaga terpana, hampir tak terbaca lagi asupan jejampi dan suar wangi dedupa yang enggan menolongnya. Musim tetap berkerling paling. Soraki rupa bumi yang sekarat mati, lelah menopang sumpah yang meliar basi muntahan mimpi.
Sumenep, 15 Mei 2019
Lampau
Di surau lampau kutuai musim anai-anai
tiang yang menjulang tlah enggan berkumandang
tapak tangga menuju menara runtuh
kolam pembasuh berlumut kumuh
kentongan panjang menolak tertabuh lantang
pelepah nipah kering menyampah
sepotong sandal tak berpasangan, diam berjauhan
mengandai jika saja pengunjung ramai
semaraki malam bertabur tadarusan
jelangi dini hari dengan tadabur diri
semua beradu malu
lipati ingatan tentang undangan adzan
bertalu-talu menabuh bilur rindu
: di katup bibirmu, masih kukenal pipihnya kenang
Sumenep, 16 Mei 2019
Nisan
Kemarin, baru kujerang risalah
perihal ziarah arwah ke pekuburan ayah
penghuluku
di utara Asta Sentono Ratu
Kukais pematang ilalang
tetumbuh rimbun penghalang ingatan
gundukan tanah siapa bersanding dengan siapa
nisan-nisan bertuliskan nama tak terbaca
Seperti raga lungkrah tak bersukma
kupulangi tanah muasal tak henti-henti
seluruh gundukan tanah nyaring mengundangku
seluruh nisan-nisan kayu teriakkan namaku
Sumenep, 17 Mei 2019
Jejiwa Lara
Tuhanku menyematkan nyawa madura di wajah bumi saat menyunting senyum berseri-seri, hingga para pelancong kalang kabut berbondong-bondong ingin berekspansi pada tanah paling seksi, menjulangkan tinggi dinding breksi, menyulap pekarangan sebagai tambak udang, mencukur gundul kebun nyiur menjadi istana kaum makmur, membabat tandas tanah pekuburan menjadi arena peraduan.
Hingga kita saksikan, tubuh- tubuh bergelimpangan didera murka rayap jumawa, kerumunan saling timbun menimbun, pongah melahap tradisi
Sumenep, 18 Mei 2019
Mengundang Pulang
Kusalut remang di kejora riang
Pada lintasan lintang yang degub berkumandang
Pijarannya mencabik rintik hingga perih
Seluruh senja hingga dini tiba
Sebilik jantungku menderik
Sambaran aurora datang tetiba
Pada derai badai nun memuja andai
Di belakang, kampung ayah melambai-lambai
Sebab tua semakin terabai
Seperti raihan jemari kian menari
Mengais kenang, mengajakku pulang
Sumenep, 19 Mei 2019
Tungku Nyali
Serpih bulan terpanggang di perapian
Malam laun tersibak pada duapertiganya
Doa-doa selesai tergerai
Tirai subuh sigap melerai
Dalam khusuk tafakur, kupujai daun-daun gugur bersyukur
Tutup bebijian semenanya bertebaran
Embun fajar yang kan melembabkan
Memberinya waktu tetumbuh buluh
Hingga terbentang peradapan anyar
Kukayuh runtuh ribuan depa
Melarung hingga sebrang samudra
Bekal tauladan ibu kudekap di ulu
Warisan ayah kutaut sebagai risalah
Melecutiku dari belakang, agar asa tak ricuh terkekang
Nohtahi bumi dengan pekikkan imaji
Sumenep, 20 Mei 2019
Pelabuhan Mimpi
Kularung sampan lapuk jauh ke sebrang
Layar yang terkembang samar terkobar
Lampaui belasan dermaga tanpa transaksi
Amukan topan sibuk menghalang
Kibasan sirip-sirip pari cemoohi
Lintasan Tolale tak lagi menali
Enggan menautkan teluk dengan teluk
Karang berbatu menonjol pilu
Pelepah nipah justru menabur sampah
Seolah bentang bumi tolak berkongsi
Sandar di tanjung tujuan, ku terkapar nanar
Rimbun hutan bakau tak lagi memukau
Tong-tong perigi kosong tak berisi
Timbunan cakalang minim berlalu lalang
Menobatkan saudagar-saudagar kaya sebagai rajanya
Sumenep, 21 Mei 2019
Mendera Deru
Nyiur merisik ayun berayun dendangkan angin buritan
Riak ombak bermekaran di butiran pepasir anyir
Harum khas samudera menyuar hingga katulistiwa
Ditingkah bebatu Toraja menbujur semesta
Orang-orang laut menyemat risalah indah
Moyang yang gegap laksana diraja dunia
Kisah mambang segara kobarkan gelora
Menantang topan yang sekian detik tiba-tiba menyambang
Anak-anak pantai rajin menepis jalinan sansai
Dianyamnya menjadi tebaran jorang
Puja pujinya lesat ke angkasa
Gunungan kerapu kiranya segera tersapu
Perempuan-perempuan setengah telanjang riuh menuntun keranjang
Baginya terhimpun berkat rapal perolehan
Bibir pantailah penaut jiwa-jiwa yang diperlautkan
Hingga roman kusut sebagai penanda masa kalut
Sumenep, 22 Mei 2019
Rapalan Peladang
Pada hamparan pematang
Nini peladang menabur pandang
Awan keemasan membakar wajah tungkunya
Himpunan jelaga, kubangan nestapa
Beragam titik penat menodai
Ditiupkannya angin muson timur bercampur bakaran jerami
Merapal puja pancaroba segera terakhiri
Musim tanam hanya sempat mencibir
Panen awalan yang luput tergelincir
Tetiba, ladang meradang geram
Hutan ilalang menjelma selukis wajah dewi agni
Melalap petak-petak semai tanpa jeri
Menagih upeti, seperti jumanji
Bahwa akan terkirim dupa beraroma kesturi
Hingga hanya benih dan salah mangsa yang menyatru
Memandikan masa, terlahir sebagai penghujan tiba
Sumenep, 23 Mei 2019
Tanjung Toraja
: Kepada Jie
Telah kita singgahi di senja menggelincir rata
Saganya remang membalur bulir rambut
Batu-batu bongkah yang dirindu banyak penziarah
Sematkan ragam remah
Bebatu tanjung toraja, demikianlah kau
Sebongkahmu menggamit samudraan akal
Bagiku menyandar aruh haluan
Tanjung tempatku pupus, istirah penuh
Bila temali terjulur tak lurus
Tempalah kemudian hingga ke tepian
Pilin jalinlah agar terampai arah
Ke dermaga iman, tempatku kumandangkan dendang
Ingin kurenangi
Hirup harum aroma dadamu
Rasakan buai, lalu terjaga sebagai telaga
Riak jeram mengalir menujuku
Aruh membasuh mozaik masa depan di binar wajah anak-anak kita
Sumenep, 24 Mei 2019
Tetap Memadura
Dada breksi menjulang tinggi
selamanya mengulum saksi
kata-kata aniaya terkubur nyata
Jalan-jalan bukit menyempit
merupa ayu wajah kota
setiap membaca risalah raja-raja
Debur Badur tinggal uzur
dayung kayu tergantung layu
payungi ladang kenangan
Dada madura menyala-nyala
menyemat lekat di tiap nyawa
merdeka sejati
Sumenep, 25 Mei 2019
Panggilan
Telah kusematkan jubah paling panjang
kepantasan berbaur wewangian
bertudung lengkap, sepasang terompah
memenuhi warkat panggilan
Panggilan tak terwakilkan
saat tak boleh lewat
perhelatan yang utama