Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Hukum Takziyah

𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗧𝗔𝗞𝗭𝗜𝗬𝗔𝗛

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

Secara bahasa Ta’ziyah (التعزية) artinya menguatkan. Sedangkan secara istilah adalah menganjurkan seseorang untuk bersabar atas beban musibah yang menimpanya, mengingatan dosanya meratap, mendoakan ampunan bagi mayit dan dari Orang yang tertimpa musibah dari pedihnya musibah.[1]

Imam al Khirasyi mengistilahkan Ta’ziyah dengan : “Menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.[2]

𝗣𝗲𝗻𝘀𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗧𝗮'𝘇𝗶𝘆𝗮𝗵

Diantara dalil pensyariatannya adalah sebuah hadits :

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ حُلَل الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaiankemulian kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibn Majah)

𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗧𝗮'𝘇𝗶𝘆𝗮𝗵

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwasanya hukum berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah adalah sunnah.[3]

𝗙𝗮𝗱𝗵𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗧𝗮'𝘇𝗶𝘆𝗮𝗵

1. Mendapat pahala seperti pahala orang yang tertimpa musibah

مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ

“Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut.” (HR. Tirmidzi)

2. Mendapatkan kemuliaan di hari Kiamat

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ حُلَل الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaian kemulian kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibn Majah)

𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗮'𝘇𝗶𝗮𝗵𝗶

Yang dita’ziahi adalah orang yang tertimpa musibah baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Kecuali anak yang belum memiliki akal. Dan wanita muda tidak boleh dita’ziyahi oleh laki-laki yang bukan muhramnya karena dikhawatirkan fitnah.[4] 

Tentu ini apabila sifat takziyahnya sendiri-sendiri, adapun bila bersama-sama tentu kembali ke hukum asalnya (boleh).

𝗪𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮'𝘇𝗶𝗮𝗵

Menurut jumhur ulama, waktu berta’ziyah adalah tiga hari, dan dimakruhkan melebihi Dari Tiga Hari, karena tujuan Ta’ziyah itu untuk menenangkan hati orang yang tertimpa musibah.

Setelah tiga hari, hati biasanya sudah lebih bisa tenang. Justru bila ada Ta’ziyah setelah itu, akan mengingatkan kepada kesedihannya. Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

قال أصحابنا وتكره التعزية بعد الثلاثة لان المقصود منها تسكين قلب المصاب والغالب سكونه بعد الثلاثة فلا يجدد له الحزن هذا هو الصحيح المعروف     

“Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari karena tujuan ta’ziyah adalah menenangkan hati orang yang terkena musibah. Dan biasanya hatinya tenang setelah tiga hari, maka janganlah memperbaharui kesedihannya lagi. Inilah pendapat yang shahih dan ma’ruf." [5]

Pendapat ini didasarkan kepada hadits :

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung kerana (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Jumhur, waktu terbaik untuk berta’ziyah adalah setelah mayit dikafankan.

𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘂𝗰𝗮𝗽𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮'𝘇𝗶𝗮𝗵

Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, boleh disimpulkan bahawa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah melayat seseorang dan mengucapkan :

رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ

“Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala.” (HR. Tirmidzi)[6]

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab al Adzkar berpendapat yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi ﷺ kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi khabar kematian sesorang.

أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

"Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”(HR. Muslim)

Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika bertakziyah orang muslim yang ditinggal wafat oleh keluarganya membaca :

أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَك

"Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayat.”[7]

𝗧𝗮'𝘇𝗶𝘆𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗳𝗶𝗿

Ada perbedaan pendapat dalam masalah takziyah kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan).

Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya. Imam Malik berpendapat tidak boleh berta’ziyah kepada orang kafir. Sedangkan dalam madzhab Hanabilah ada dua riwayat pendapat, sebagian riwayat menyebutkan kebolehannya sedangkan dalam riwayat yang lain memakruhkan.[8]

Dalil kalangan yang membolehkan adalah riwayat berikut ini : Dahulu ada seorang anak Yahudi yang sering membantu Nabi ﷺ. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah ﷺ menjenguknya.

Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”. Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, ”Patuhilah perkataan Abul Qasim ,” maka anak itupun masuk Islam. 

Setelah itu Nabi ﷺ keluar seraya berkata :

 الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari siksa api neraka.” (HR. Bukhari).

📜Wallahu a'lam.

___________

[1] Al Mausu’ah al Fiqhyyah al Kuwaitiyyah (36/5)

[2] Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129)

[3] Al Mughni (3/480), al Ifshah (1/193), al Mausu’ah al Fiqhyyah al Kuwaitiyyah (12/287).

[4] Mughni al Muhtaj (1/354), al Mughni (2/543).

[5] Majmu'Syarh al Muhadzdzab (5/306)

[6]Al Mughni (3/480).

[7] Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).

[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (12/289). 

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq



This post first appeared on Kajian Ulama, please read the originial post: here

Share the post

Hukum Takziyah

×

Subscribe to Kajian Ulama

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×