Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Imbas Banjir Rob, Ekonomi Warga Muara Gembong Terguncang

Fenomena Banjir Rob yang terjadi berulang kali berdampak serius pada roda ekonomi warga Desa Pantai Sederhana, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Warga yang sebagian besar nelayan dan pengolah ikan harus berjuang keras mengais rupiah untuk mempertahankan ekonominya yang semakin rentan menyusut. 

Jakarta (Greeners) – Penderitaan warga Desa Pantai Sederhana akibat banjir rob kini merambat ke pergerakan ekonomi mereka yang tidak lagi seimbang. Cerita itu datang dari sepasang suami istri di Kampung Muara Kuntul, Sairoh (44) bersama suaminya, Sopiyan (51). Kini, mereka sedang bertarung menyeimbangkan ekonominya di tengah ancaman fenomena alam yang semakin genting. 

“Antisipasinya, ya, meninggikan rumah saja terus, itu juga kalau punya modal. Pasirnya saja, kan, beli Rp400 ribu satu perahu. Namun, kadang kalau meninggikan rumah lebih dari satu perahu pasirnya. Sampai sekarang kami sudah meninggikan rumah ini sebanyak dua kali.”

Pasangan suami istri yang memiliki tiga orang anak ini terus mengupayakan kediamannya–yang saat ini semakin rusak akibat banjir rob–menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman. 

Demi melindungi keluarganya dari banjir rob, tidak ada antisipasi lain dari mereka selain melakukan pengurugan tanah berulang kali. 

Sopiyan dan Sairoh di kediamannya bersama perabotan rumah yang telah rusak. Foto: Dini Jembar Wardani

Pengurugan Tanah Butuh Biaya Besar

Bagi mereka, pengurugan tanah membutuhkan biaya yang besar. Namun, di sisi lain, Sopiyan sebagai nelayan kecil  juga tidak melulu mendapatkan penghasilan yang mulus. 

Banyak kerugian yang Sopiyan dapatkan ketika ia gagal mendapatkan ikan di laut akibat kondisi alam yang telah berubah. Selain itu, kini banyak ikan yang mati akibat limbah. Hanya sampah yang menyangkut di jaring milik Sopiyan. 

Berjuang mencari rupiah untuk menyambung hidup di tengah kondisi alam yang semakin berantakan menjadi tantangan baru bagi warga Desa Pantai Sederhana. Sebab, mata pencaharian mereka sangat bergantung pada situasi alam. Perekonomian nelayan dan pengolah ikan pun makin terkuras akibat pengeluaran yang lebih banyak untuk memperbaiki rumah.

BACA JUGA: Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob

Kampung Muara Jaya dan Muara Kuntul posisinya berdekatan dengan laut. Sebagian besar warga di kedua kampung itu menggantungkan hidupnya dengan mengolah ikan. Hanya tangkapan ikan dari laut yang menjadi harapan mereka untuk menyambung hidupnya dari hari ke hari. 

Sehari-hari, laki-laki atau suami menjadi tokoh utama yang mengais rupiah di tengah laut. Sementara, sang istri juga ikut membantu suaminya mengolah ikan menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual tinggi. Dengan demikian, produk tersebut bisa meningkatkan penghasilan keluarga. 

Bank Emok. Foto: Dini Jembar Wardani

Terjerat Utang Demi Hidup Nyaman

Demi melanjutkan hidup keluarganya, Sairoh dan Sopiyan berpasrah diri dan memilih jalan untuk meminjam uang ke bank emok (lembaga pembiayaan yang menawarkan pinjaman uang dengan bunga sangat tinggi). Uang itu mereka gunakan untuk modal memperbaiki rumahnya yang telah rusak.

Tak hanya keluarga Sopiyan, sebagian besar warga Kampung Muara Kuntul memilih meminjam uang kepada bank emok. 

“Rumah yang di ambang kehancuran butuh perbaikan dengan biaya lebih besar demi hidup selamat dan nyaman. Ekonomi pun kian terguncang akibat mengatasi dampak bencana banjir rob. Kapasitas untuk mengembalikan rumah yang nyaman pun sulit terpenuhi. Lalu, disela-sela masa kesulitan itu tawaran pinjaman uang dengan bunga yang tinggi hadir dengan dalih menolong perekonomian warga. Namun, hal itu justru menjadi sebuah masalah baru.” 

Sekretaris Desa Pantai Sederhana, Umar menyatakan tantangan ibu-ibu saat ini adalah berhadapan dengan bank emok. Mereka seringkali tergiur akan tawaran pinjaman dengan bunga yang tinggi. 

“Emok itu yang jadi masalah. Kenapa? Suami juga pusing, penghasilan kurang sekarang. Harus setor setiap minggunya. Kalau dulu enak, nyaman mereka enggak ada itu,” ungkap Umar. 

Kenyataannya, saat ini kelangsungan hidup warga masih tergantung pada bank keliling atau emok. Tanpa sadar, hal itu justru menyengsarakan hidup mereka.

Saat hasil tangkapan ikan sedang tak menguntungkan, mau tak mau warga meminjam uang kepada bank emok untuk mencukupi hidupnya. Menurut Sairoh, gali lobang tutup lobang sudah biasa agar keluarga tetap bisa makan.

“Iya, kan, buat modal usaha. Kalau enggak ditolong sama itu (bank emok), enggak tahu harus bagaimana, deh. Kan kalau lagi ombak gede, bapaknya enggak ke laut, makanya minjem duit itu. Ada yang bikin perahu, ada yang beli mesin, ada yang beli jaring, bubu. Ini kan saya meninggikan ini (rumah), ngambil uang di bank emok,” imbuh Sairoh.

Tampak rumah Sairoh yang dipenuhi oleh barang-barang rumah tangga yang sudah rusak akibat banjir rob. Foto: Dini Jembar Wardani

Rumah Rusak, Utang Membengkak 

Saat rumahnya semakin rusak akibat banjir rob, dan suami butuh modal untuk melaut, Sairoh bersama Sopiyan harus menanggung beban utang kian membengkak. Nominal pinjaman oleh bank emok ini beraneka ragam. Namun, bunga pinjamannya mencapai 25% dari setiap kali meminjam uang.

Untuk melunasinya, Sairoh membayarnya dengan cara menyicil dengan waktu sesuai kesepakatan. Sebagai perempuan sekaligus istri, Sairoh yang selalu pasang badan menghadapi sang penagih utang setiap minggunya. 

“Saya pinjam ke bank emok itu ada dua. Senin sama Rabu, Senin seminggu sekali, kalau Rabu dua minggu sekali. Itu buat modal usaha,” tambah Sairoh. 

Tak hanya diam, Sairoh juga ikut membantu suaminya untuk mencari nafkah dengan mengolah ikan hasil tangkapan suaminya menjadi ikan kering. Kala Sopiyan pulang dari laut, Sairoh mengolah ikan-ikan itu. Menurut Sairoh, ikan kering bisa memiliki harga jual lebih tinggi daripada ikan basah. Harga ikan kering berkisar Rp25 ribu per kilogram.

Hanisah sedang memegang nampan yang berisikan potongan kerupuk untuk dikeringkan. Foto: Dini Jembar Wardani

Usaha Kerupuk Terhambat Akibat Banjir Rob 

Menurunnya pendapatan juga dirasakan Hanisah (41), perempuan yang berprofesi sebagai pengolah ikan belo. Ia menuturkan kisahnya kala banjir rob datang saat ia sedang membuat kerupuk. Bagi Hanisah, bencana ini tak hanya menimbulkan ancaman keselamatan bagi dirinya, melainkan juga usahanya. 

Sejak tahun 2019, Hanisah memulai usahanya di bidang pengolahan ikan belo. Selain menjadi ibu rumah tangga, sehari-harinya perempuan berusia 41 tahun ini menghabiskan waktunya di dapur untuk memproduksi kerupuk. Namun, kini ia merasakan hambatan yang begitu berdampak bagi usahanya. 

“Hambatannya ketika ibu sedang mengolah ikan atau mengolah tepung, tiba-tiba banjir. Kan, ibu sibuk tuh benah-benahin kayak ikan mesti taruh di mana, kan air kalinya juga naik. Ibu kan kalau ngolah ikan di jeramba. Jadinya, kalau banjir ibu keganggu gitu. Jadi pada basah kan,” ungkap Hanisah kepada Greeners.

Urug Lantai Rumah Demi Anak Bisa Tidur

Sambil duduk di bale yang sekaligus tempat pembuatan kerupuk, Hanisah menghela napas dengan pasrah. Ia bercerita bahwa pergerakan ekonomi keluarganya semakin terguncang.

“Saya sudah dua kali ngurug tanah (meninggikan lantai rumah). Soalnya kasihan anak-anak ibu nanti tidurnya bagaimana kalau enggak diurug. Per perahu pasir seharga Rp450 ribu, sedangkan pengurugan pasir untuk satu rumah itu sebanyak empat perahu,” imbuh Hanisah.  

Sejak banjir rob sering menggenangi rumahnya, ia bersama suaminya semakin bekerja keras untuk mencari biaya pengurugan rumah. Hal ini untuk mencegah air banjir rob masuk ke dalam rumahnya.

“Upaya yang dilakukan untuk mengatasi banjir rob, ya, cuma pengurugan lantai supaya lebih tinggi. Otomatis, kan, banjir tidak masuk ke dalam rumah. Pengin kalau seandainya punya modal, pindah gitu ke luar daerah gitu,  yang enak, yang enggak kebanjiran terus. Tapi, kan, balik lagi ke modal.” 

Pengeluaran Hanisah bersama suaminya Subarma (46) pun semakin meningkat. Sebab, tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk mengantisipasi banjir rob. Mereka harus menyisihkan uangnya untuk mengurug tanah demi menciptakan hidup yang aman dan nyaman. 

Tak Dapatkan Penghasilan saat Banjir Rob

Sebagai perempuan, bukan sekadar tenaga ekstra yang Hanisah rasakan. Hanisah juga harus berjuang menyeimbangkan usahanya di tengah ancaman banjir rob, agar tetap bisa mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya. 

Biasanya, dalam satu bulan, Hanisah memproduksi kerupuk sebanyak 25 kilogram. Kerupuk yang diproduksi dari ikan belo ini, Hanisah buat menjadi dua jenis, yaitu kerupuk panjang dan pipih. Satu bungkus (seperempat) kerupuk dibanderol dengan harga Rp10 ribu rupiah.

BACA JUGA: Bekasi Berkebun dan Save Mugo Tanam Bakau di Muara Gembong

Setiap kali memproduksi kerupuk, Hanisah mampu mengolah kerupuk sebanyak 5 kilogram. Modal yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Ia perlu mengeluarkan uang sebesar Rp300 ribu setiap kali produksi. 

“Kalau yang ibu sekitar Rp300 ribu modalnya untuk 5 kilogram kerupuk. Misalnya, ibu modalnya itu Rp300 ribu, ketika dijemur kan pasti berkurang. Ibu kalkulasi, jadi kemungkinan modal Rp300 ribu keuntungan bersihnya Rp30 ribu,” ucap Hanisah. 

Penjualan kerupuk ini Hanisah distribusikan ke sejumlah warung di Kampung Muara Jaya. Selebihnya, kebanyakan pembeli berasal dari para pengunjung yang menanam mangrove di sini. Untung yang ia dapatkan dalam satu bulan hanya mencapai Rp150 ribu.

Saat banjir rob menggenangi rumah Hanisah, ia terpaksa tidak bisa memporoduksi kerupuk. Hal inilah yang menghambat perekonomian Hanisah. Sebab, tak ada pemasukan dari penjualan kerupuknya. 

Hanisah sedang mengolah kerupuk ikan belo Foto: Dini Jembar Wardani

Nelayan Terancam Perubahan Iklim

Mata pencaharian sang suami, Subarma, kian terancam akibat perubahan iklim, limbah pabrik, dan sampah. Ketiga faktor tersebut sangat berdampak pada hasil tangkapan ikan yang ia dapatkan dari laut.

“Lima tahun ke belakang kondisi alam juga sudah beda. Jadi nelayan kecil, ibaratnya banting setir. Awalnya pakai alat tangkap sero jadi ke bubu naga, walaupun itu tidak ramah lingkungan. Jadi mau enggak mau pakai itu, karena mereka harus bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pikiran mereka yang terpenting anak dan istri, ya, harus makan. Jadi memang lagi faktor alam, ditambah buangan limbah, sangat berdampak pada nelayan di sini. Yang biasanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sekarang untuk perbekalan pun nggak kebayar.”

Dahulu, Subarma merupakan pengepul udang-udang tambak. Sayangnya, bencana abrasi mengakibatkan tambak terendam. Petambak pun semakin merugi hingga Subarma tidak bisa lagi menjual ikan tangkapannya kepada petambak. 

“Tadinya bapak punya 10 orang pelanggan petambak, sekarang tinggal satu. Terus, yang misalnya hasil tangkap dari sero, dari laut, itu sudah enggak ada sama sekali. Terutama udang, ya. Jadi pas abrasi, banyak limbah yang dibuang,  jadi sekarang ngaruh banget ke hasil ikannya jadi nol,  sama sekali nggak dapet.  Ya, jadi tidak ada penghasilan,” tambah Hanisah. 

Sopiyan sedang di tengah laut, tempat dirinya mencari ikan sehari-hari bersama perahu kecilnya. Foto: Dini Jembar Wardani

Hasil Tangkapan Nelayan Menurun

Memiliki tanggung jawab menafkahi anak istri, Sopiyan tidak berhenti berjuang untuk mencari nafkah di laut. Bersama nampan kecilnya, ia berlayar pada pukul empat sore untuk menebar jaring. 

Namun, nasib yang memilukan kini menerpa dirinya. Penghasilan nelayan tidak sejahtera seperti dahulu. Kini, banyak ancaman bagi nelayan kecil saat berlayar ke laut mencari ikan. 

“Sekarang banyak pailinya (gagal mendapatkan ikan) dibandingkan sama hasilnya. Enggak ada ikan sama sekali, istilahnya. Kena sampah juga saat menjaring. Bukan main itu sampahnya banyak banget. Paling minimal sekarng penghasilan Rp100 ribu per hari. Kalau dulu biasanya bisa dapat Rp500 ribu, lumayan. Perbekalan juga sekarang makin mahal, cuaca makin panas, tidak bisa diprediksi, ditambah limbah dan sampah. Terus alat tangkapnya juga masih belum memadai. Ibarat kata, dulu kalau nyebar jaring tenang aja. Kalau sekarang juga banyak orang tidak bertanggung jawab mencuri ikan di jaring saya.” 

Saat ini, ia merasakan banyak hambatan saat melakukan pekerjaannya sebagai nelayan. Senada dengan Subarma, ancaman perubahan iklim juga menjadi mimpi buruk bagi Sopiyan. 

Sopiyan sedang di atas perahunya menuju ke laut. Foto Stanly Pondaag

“Dari segi tangkapan terus sekarang sulit prediksi alam. Beda sama yang dulu. Kalau sekarang agak sulit. Susah gitu diprediksi. Belum lagi limbah, ikan juga agak kurang-kurang gitu kalau dibandingkan yang dulu,” imbuh Sopiyan. 

Sebagai laki-laki yang menghidupi istri dan ketiga anaknya, Sopiyan seringkali mendapatkan kerugian. Permodalan setiap berangkat Sopiyan membutuhkan uang Rp100 ribu untuk perbekalan makan, minum, dan gas sebagai bahan bakar perahunya. 

Belum lagi biaya pembuatan jaring sebesar Rp100 ribu untuk dipakai selama 10 hari. Sairoh juga ikut membantunya membuat jaring tersebut. Mereka berdua saling bahu membahu demi melanjutkan kehidupannya yang kini kondisinya semakin krusial. 

Sesama nelayan, Subarma juga merasakan hal yang sama. Kini ada sejumlah faktor yang mengancam pekerjaannya. Sang istri, Hanisah pun menjelaskan bahwa suaminya dahulu bisa menghasilkan uang Rp200 ribu sampai Rp300 ribu dalam setiap kali pergi ke laut. Sayangnya, kini penghasilannya sangat berbeda jauh dan menurun drastis. 

“Sekarang penghasilan Rp100 ribu itu terbilang besar. Namun, terkadang untuk bahan bakar atau perbekalan melaut pun tidak terbayar. Tergantung perahu dan alat tangkapnya juga, kalau perahu besar dan alat tangkapnya jaring laut tengah perbekalannya sekitar Rp300 ribu. Kalau bapak perahunya, kan, kecil. Jadi, perbekalan melaut ongkosnya Rp100 ribu sampai Rp150 ribu,” ujar Hanisah. 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Tulisan ini merupakan seri kedua dari rangkaian tulisan terkait perubahan iklim di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Nantikan tulisan selanjutnya yang akan kami rilis melalui laman Editorial Greeners.Co.



This post first appeared on Greeners.co, please read the originial post: here

Share the post

Imbas Banjir Rob, Ekonomi Warga Muara Gembong Terguncang

×

Subscribe to Greeners.co

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×