Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Bina Desa: Impor Beras 2023 Bukti Kegagalan Sistem Pangan

Jakarta (Greeners) – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Desa menilai bahwa impor Beras 2023 merupakan bukti nyata kegagalan sistem Pangan di Indonesia. Cadangan beras pemerintah (CBP) melalui jalur importasi dengan volume penugasan impor mencapai 3,5 juta ton.

Potensi kerawanan pangan, khususnya pangan pokok beras yang harganya melonjak beberapa bulan terakhir, menjadi alasan pemerintah melakukan pengadaan beras.

Acuan harga saat penugasan impor di akhir Desember 2022 sebesar Rp8.800 per kilogram. Oleh sebab itu, nilai impor 3,5 juta ton akan membutuhkan total biaya sebesar Rp30,800 triliun.

“Tentu anggaran belanja demikian terbilang sangat besar. Tingginya volume impor beras tersebut dilakukan dengan dalih anomali cuaca dan kekeringan dampak El Nino. Sehingga, situasi geopolitik global berdampak pada sektor pertanian dan pangan berupa penurunan produksi dalam negeri,” ungkap Kepala Bidang Advokasi Bina Desa, Lodji Nurhadi melalui keterangan rilisnya.

BACA JUGA: Diversifikasi Pangan untuk Menekan Ketergantungan Beras

Sementara itu, sejak periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi berulangkali menegaskan keinginannya untuk memutus ketergantungan pangan dari negara-negara lain. Bahkan, bertekad mencanangkan swasembada setidaknya untuk tiga komoditas utama.

“Di antaranya padi, jagung dan kedelai yang memiliki tingkat ketergantungan yang akut,” lanjut Lodji.

Dia melanjutkan, program Upsus (Upaya Khusus) Pajale memiliki target pencapaian dalam rentang tiga tahun di periode awal kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun, dalam kurun waktu 2014-2019 terbukti tidak meninggalkan jejak.

“Impor ketiga komoditas tersebut masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat hingga sekarang,” ungkapnya.

Proyek Food Estate Gagal Kelola Pertanian

Upaya di level hulu ragam kebijakan infrastruktur, yang disediakan untuk sektor pertanian serta proyek strategis nasional seperti food estate, terbukti tidak mampu mengelola pertanian secara lebih baik.

“Sebaliknya, berbagai program tersebut justru tak jarang memicu persoalan baru. Seperti ancaman hilangnya sumber-sumber penghidupan rakyat kecil pedesaan serta meningkatnya konflik agraria di sejumlah wilayah di Indonesia. Termasuk apa yang tampak terjadi dalam polemik kasus Rempang yang mencuat belakangan,” tambah Lodji.

Seperti halnya Rempang serta kasus-kasus serupa lainnya, lompatan volume impor beras yang tinggi di tahun 2023. Hal di atas hanyalah manifestasi dari buruknya tata kelola beras (dan pangan pada umumnya) serta tidak jelasnya sistem pangan nasional.

Lodji menambahkan, satu fakta ironis lainnya adalah soal data. Misalnya, belum tersedia data tunggal yang dapat jadi rujukan utama oleh negara tentang jumlah produksi dan konsumsi beras. Lalu, data soal pangan lain yang bersifat baru untuk seluruh wilayah di Indonesia.

“Meski telah berulang kali melakukan impor, sebagian besar angka impor tersebut cenderung berdasarkan data perkiraan, yang acap kali berbeda dan tumpang tindih,” imbuh Lodji.

Bina Desa menilai bahwa impor beras 2023 merupakan bukti nyata Kegagalan Sistem Pangan di Indonesia. Foto: Freepik

Sawah Makin Menyusut

Kondisi penyusutan lahan sawah, khususnya untuk tanaman pangan saat ini terus berlanjut dengan rata-rata 100 ribu hektare per tahun. Jika hal ini tidak dihentikan, kondisi pangan di Indonesia akan mengalami ancaman yang makin serius. Selain itu, ada faktor alam berupa perubahan hingga ancaman krisis iklim dan kerusakan lingkungan telah nyata di depan mata.

“Kondisi yang buruk di sektor pertanian pangan juga akan sulit tertolong. Kondisi itu akan terjadi jika proses regenerasi petani hanya berhenti pada seremoni programatik atas permukaan tanpa secara sungguh-sungguh menyelesaikan akar masalah terpuruknya sektor pertanian dan pangan,” kata Lodji.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Libatkan Seluruh Elemen untuk Kendalikan Harga Beras

Masalah tersebut akan menjadikan pertanian tidak cukup menjanjikan sebagai mata pencaharian yang layak dan menyejahterakan. Kemudian, tidak bisa mengangkat harkat dan martabat petani kecil, perempuan petani, dan masyarakat pedesaan pada umumnya.

“Padahal, semestinya sektor pertanian menjadi sandaran utama bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat desa,” ujarnya.

Menurut Lodji,  apabila sektor pertanian terus merosot, desa sebagai episentrum ketahanan pangan tidak akan terwujud dan arus urbanisasi akan terus berlanjut. Sementara, kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi masyarakat Indonesia.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia



This post first appeared on Greeners.co, please read the originial post: here

Share the post

Bina Desa: Impor Beras 2023 Bukti Kegagalan Sistem Pangan

×

Subscribe to Greeners.co

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×