Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob

Bencana Banjir Rob yang semakin parah akibat perubahan iklim terus melanda masyarakat pesisir di Desa Pantai Sederhana, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Perempuan menjadi kelompok paling rentan akibat bencana ini. Diri yang selalu diselimuti ketakutan, hak hidupnya semakin terampas, namun mereka tetap harus menjadi garda terdepan untuk berjuang menyelamatkan keluarganya. 

Jakarta (Greeners) – Dampak perubahan iklim sudah tampak nyata terjadi di wilayah pesisir Desa Pantai Sederhana, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim menyebabkan bencana Banjir rob semakin parah menghantam kawasan pemukiman utara Bekasi ini.

Sekelompok perempuan menjadi salah satu yang paling terdampak. Tantangan berat dan rasa khawatir telah mereka rasakan bertahun-tahun dalam menghadapi fenomena ini. Namun, di balik itu, perempuan sebagai sosok utama yang dekat dengan aktivitas rumah tangga justru menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan keluarganya. 

“Dari rahim perempuan lahir keluarga kecil, kelompok-kelompok masyarakat kecil, yang kemudian ada anak-anak dan keluarga yang juga dihidupi di situ.”

(Fasilitator Ketahanan Keluarga Kabupaten Bekasi, Ira Pelitawati)

Hanisah sedang memotong ikan di pinggir aliran sungai Citarum. Foto: Dini Jembar Wardani

Warga di Kampung Muara Jaya, Hanisah (41), sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan fenomena banjir rob. Kediaman Hanisah jaraknya sangat berdekatan dengan laut, hanya satu kilometer dari rumahnya. 

Rasa takut dan khawatir bukan hal yang baru bagi Hanisah. Ketika gelombang laut sedang tinggi hingga air laut meluap, terjadilah banjir rob yang menggenangi rumahnya. 

“Hal yang paling saya takutkan adalah ketika air pasangnya besar sekali sampai ke dalam rumah. Bahkan, banjir rob pernah satu lutut orang dewasa, dan anginnya kencang.  Jadi, itu yang membuat takut. Kan ombak, tuh, jadi terdengar ‘Beerggg…’jadi takut,” ungkap Hanisah.  

Bangunan rumah Hanisah berdiri kokoh di atas tanah yang menyatu dengan kawasan hutan mangrove. Letaknya juga berhadapan dengan Sungai Citarum. Di bawah panasnya matahari, Greeners pun harus melewati jembatan miring dari sisaan kayu yang dirangkai untuk bisa sampai ke rumah milik Hanisah. 

Rumah di Kampung Muara Jaya tergenang oleh air laut dan sampah. Foto: Dini Jembar Wardani

Perubahan Iklim Perparah Banjir Rob

Panasnya terik matahari begitu terasa saat Greeners menuju salah satu kawasan pemukiman di ujung utara Bekasi. Desa Pantai Sederhana terletak di sebelah barat laut jawa dengan luas 12,44,351 meter persegi. Lokasinya cukup jauh dari titik pusat Kota Bekasi ke Kantor Desa Pantai Sederhana. Jarak yang ditempuh sekitar 26 kilometer dan memakan waktu selama 120 menit. 

Desa kecil di wilayah Kecamatan Muara Gembong ini masih dilalui oleh aliran sungai Citarum yang kini sudah tak lagi indah. Greeners pun melanjutkan perjalanan ke Kampung Muara Jaya dan Muara Kuntul. Kedua kampung itu dekat dengan bibir pantai dan paling terdampak bencana banjir rob. 

Rumah yang luluh lantak jelas terlihat begitu nyata. Bangunan yang tidak lagi layak huni masih banyak disinggahi masyarakat di sana. Sebagian besar rumah mereka telah di ambang kehancuran akibat sering terendam air laut.

Genangan banjir rob bukan hal yang baru bagi masyarakat di sana. Fenomena ini sudah terjadi sejak tahun 1990. Namun, saat ini banjir rob menggenangi Desa Pantai Sederhana jauh lebih sering, yakni satu bulan tiga kali. Warga pun telah merasakan perubahan banjir rob yang kian parah sejak lima tahun yang lalu. 

Berdasarkan keterangan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca ekstrem di pantai akan memperparah bencana banjir rob.

“Banjir rob di pantai utara diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu cuaca buruk di pantai, efek gravitasi bulan atau saat bulan baru atau purnama, yang diperkuat oleh jarak bulan terdekat dengan bumi (perigee) dan diperkuat juga oleh posisi matahari (sekitar Juni dan Desember). Makin sering terjadi rob bisa juga karena penurunan permukaan tanah (land subsidence).”

Menurut Thomas, faktor astronomis masih bersifat tetap. Namun, ada faktor cuaca ekstrem yang cenderung meningkat karena perubahan iklim. Kemudian, faktor penurunan tanah pun semakin bertambah.

Anak-anak di Desa Pantai Sederhana sedang bermain di genangan banjir rob. Foto: Hanisah

Siap Siaga Selamatkan Keluarga

Kedatangan banjir rob merupakan sebuah fenomena yang kini tidak bisa lagi ditentukan kapan datangnya. Hanisah, perempuan kelahiran 1982 ini telah menjadi garda terdepan untuk siap siaga menyelamatkan keluarganya saat genangan air datang dan tingginya semakin naik. 

Bagi Hanisah, kedua anaknya menjadi hal utama yang ia lindungi. Sang suami, Subarma (46) yang berprofesi sebagai nelayan tidak melulu di samping Hanisah untuk siap siaga menolong. Sebab, Subarma harus tetap pergi melaut untuk mengais rupiah. 

Ketika sang suami pergi melaut, daya juang Hanisah sebagai perempuan pun mau tidak mau semakin meningkat. Ia harus menyelamatkan kedua anak serta segala perabotan rumah yang mudah tersapu banjir. 

Sepasang suami istri ini telah berdiam diri di Kampung Muara Jaya sejak tahun 2001. Menurutnya, sejak lima tahun ke belakang, banjir rob yang kini ia rasakan semakin parah. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. 

“Jelas beda, banjir rob sekarang ini jauh lebih parah. Mungkin ini kondisi alamnya sudah berubah. Sekarang, dalam sebulan bisa tiga kali (banjir rob),” ujar Hanisah. 

Potret ibu rumah tangga yang terdampak banjir rob di Desa Pantai Sederhana, kiri Sairoh, kanan Hanisah. Foto: Stanly Pondaag

Tantangan Perempuan Sangat Ekstra

Sambil duduk di tempat pengolahan ikan miliknya atau yang disebut kursi bale, Hanisah kembali mengingat kejadian banjir rob yang perlahan menggenangi rumahnya.

“Kalau misalnya air pasang laut hari ini, itu sudah kelihatan arusnya deras. Lalu, tiba-tiba kencang, lama-lama naik-naik, berarti ini air sudah pasang. Besoknya pasti lebih besar,” ucap Hanisah. 

Genangan air payau yang lengket dan bau telah merendam rumah milik Hanisah selama lima hari. Sayangnya, air tersebut membutuhkan waktu lama untuk surut. Melihat kondisi genangan air di dalam rumah, Hanisah hanya berpasrah diri dan menjalani hidupnya dengan keadaan rumah yang terendam. Hanisah bergumam, tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa kepada sang kuasa. 

Menurutnya, bencana ini bukan lagi kendalinya. Sebab, dia tidak pernah tahu kapan air tersebut akan kembali surut. Hanya kesabaran yang Hanisah miliki demi menyemangati keluarganya.  

“Tantangannya, menjadi ibu-ibu itu harus punya tenaga super ekstra. Apalagi, misalnya, yang masih punya anak balita, tentu anak utama, baru yang lain-lainnya. Kekuatan fisik juga terus diperas, rasa takut khawatir juga harus dihadapi, kita kan perlu kuat, karena harus semangat buat nolongin anak-anak juga.”

Lingkungan kotor dan bau selama berhari-hari sudah biasa Hanisah rasakan. Bahkan, sekumpulan sampah kemasan plastik telah melilit rumahnya. Begitu pula dindingnya perlahan-lahan keropos dan hancur akibat tingginya kadar air asin.  

Raut wajah Hanisah hanya pasrah saat dirinya membayangkan banjir rob menggenangi rumahnya. Bagi ibu dua anak ini, tidak ada hal lain selain menerima bencana ini dengan ikhlas. Terutama, bagi perempuan yang punya peran untuk mengurus keluarga, banjir rob sangat berdampak besar bagi kehidupan Hanisah. 

“Kalau masak mungkin bisa, mungkin kami pindahkan ke atas meja. Jadi, saya sebagai perempuan itu kalau banjir rob ya sambil masak,  ngasuh anak,  sambil oyor-oyoran itu kaki, kerendam-rendam. Terus, membenahi perabotan-perabotan yang sekiranya bisa kami amakan.  Misalnya, lemari,  pakaian-pakaian,  buku-buku sekolah,  jadi itu yang terutama. Jangan sampai basah,” kata Hanisah. 

Tidur Digenangi Air 

Cerita yang sama datang dari salah seorang ibu rumah tangga di Muara Kuntul, Sairoh (44). Selama bertahun-tahun hidupnya harus beradaptasi dengan banjir rob.

Bagi Sairoh, banjir rob telah menjadi sebuah fenomena biasa untuk hidupnya. Bahkan, bukan hal yang aneh bagi Sairoh ketika dikejutkan oleh air saat ia sedang tertidur lelap. 

“Waktu itu, pagi-pagi sudah masuk ke dalam rumah. Saya sedang di kali, terus tiba-tiba air sudah gede, jadi enggak bisa masak. Kompor dan gas sudah pada ngambang. Saya lagi tidur juga kemarin kasurnya ngambang, enggak ketahuan. Pas bangun baju basah semua,” ucap Sairoh sambil membuat jaring ikan.  

Rumah Sairoh dengan cat berwarna merah ini terletak di ujung Kampung Muara Kuntul dan berdekatan dengan empang yang cukup luas. Sehari-hari, Sairoh beraktivitas sebagai ibu rumah tangga dan membantu mengolah ikan hasil tangkapan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan. 

Segala kesulitan dan ketakutan Sairoh rasakan selama bertahun-tahun. Ia harus menjadi wanita pemberani dan kuat untuk menghadapi ancaman banjir rob yang menggerus kelayakan hidupnya. 

“Takut, ya, takut. Habis, bagaimana? Orang sudah nasibnya di sini. Kalau malam-malam ombak gede takut kayak (tsunami) di Aceh. Namun, ya, gimana, nasibnya di sini. Jadi, ya, sudah. Pasrah saja sudah,” kata Sairoh.

Potret kumpulan sampah dari laut di belakang rumah Sairoh akibat bencana banjir rob. Foto: Dini Jembar Wardani

Tidak Ada Lagi Kenyamanan

Dengan wajah yang berurai air mata, Sairoh bercerita, pada saat banjir rob sudah tidak ada lagi kenyamanan bagi hidupnya. Tidur pulas dengan penuh kenyamanan menjadi momen langka bagi Sairoh. Kini, dirinya hanya diselimuti rasa cemas akan banjir rob yang merenggut kenyamanannya. 

“Kalau banjir rob sampai seminggu, ya, enggak tidur nungguin air turun. Kalau air sudah turun, baru turun-turunin barang terus kami bersihkan, baru deh tidur. Ya, gimana, tidur susah karena nungguin air turun. Ini bikin ini (kursi kayu) belum lama sih baru bulan kemarin biar bisa tidur di sini,” tambah Sairoh.

Seramnya, hewan seperti ular pun berkeliaran saat banjir terjadi. Lalu, sekumpulan sampah plastik mengambang dan menyangkut di sela-sela rumah milik Sairoh. Semua jalanan telah menjadi satu dengan empang di depan rumahnya. Hanya air yang terlihat. 

“Pokoknya kalau airnya gede enggak ada jalanan, udah enggak kelihatan. Kalau jalan juga takut nyebur doang, semuanya enggak kelihatan, rata semuanya. Jadi, kalau jalan malam tuh takut ada ular gitu,” imbuh Sairoh. 

Bangku bambu berwarna cokelat yang lebar terletak di depan rumahnya menjadi penyelamat utama bagi Sairoh dan keluarganya. Ketika banjir datang, Sairoh bersama keluarganya menyelamatkan diri di bangku tersebut yang tingginya melebihi genangan banjir rob. 

Sang suami, Sopiyan (51) pun tidak selalu berada di samping Sairoh saat banjir rob. Dirinya pun harus tetap berangkat melaut demi meraup rupiah sebagai penggerak ekonomi di dalam keluarganya. 

Hanisah dan Sairoh sedang mengolah ikan di kediamannya. Foto: Dini Jembar Wardani

Pergerakan Perempuan Terbatas

Dua sisi perempuan di Desa Pantai Sederhana menceritakan dampak dan tantangan dari banjir rob terhadap kehidupannya. Greeners pun telah membuktikan bahwa perempuan menjadi paling terdampak dari bencana banjir rob ini. 

Fasilitator Ketahanan Keluarga Kabupaten Bekasi, Ira Pelitawati menyimpulkan fenomena ini berpengaruh besar terhadap pergerakan perempuan yang akan terbatas. 

“Perempuan itu jangkanya tidak selebar laki-laki. Walaupun perempuan multitasking, keterbatasan perempuan itu dari sisi cara berpikir pasti terbatasi oleh yang namanya banjir rob tadi. Pada dasarnya, waktu mereka jadi lebih banyak di sana untuk mengurus (keluarga) agar waktunya lebih maksimal, menyeimbangkan kehidupan yang sudah timpang.”

Menurut Ira, dampak dari perubahan iklim sudah terlihat jelas dan nyata bagi kehidupan perempuan di wilayah pesisir. Dari segi fisik dan psikis, mereka terus terancam dengan datangnya bencana ini berulang kali. 

“Perubahan dari sisi mentalnya itu sudah pasti ada dengan adanya sikap pasrah. Namun, mereka levelnya sudah agak tinggi. Cuma, untuk daya juang itu pasti harus lebih bisa dicapai lah,” tambah Ira. 

Peran perempuan di dalam keluarga telah menjadi penerang bagi kehidupan. Dengan daya juangnya yang begitu besar, perempuan bisa memberikan seutas semangat dan harapan kepada keluarga, khususnya kepada anak-anaknya.

Oleh sebab itu, menurut Ira, perlu pendampingan dan program pemberdayaan agar perempuan bisa menjadi lebih baik serta kuat menghadapi segala peristiwa yang akan terjadi. 

“Dengan semangatnya yang tak pernah padam, tidak ada kata menyerah bagi perempuan yang akan terus memberikan secercah harapan bagi keluarganya di tengah ancaman krisis iklim saat ini,” ungkapnya.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Tulisan ini merupakan seri perdana dari rangkaian tulisan terkait perubahan iklim di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Nantikan tulisan selanjutnya yang akan kami rilis melalui laman Editorial Greeners.Co.



This post first appeared on Greeners.co, please read the originial post: here

Share the post

Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob

×

Subscribe to Greeners.co

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×