Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perempuan di Depan Bingkai Foto

Tags: lania tito saat

LANIA tentu tak akan menyangka. Delapan tahun memendam rasa, ternyata tak sia-sia. Ia akhirnya dapat menikah dengan lelaki pujaan semenjak SMA. Tito, Lelaki yang kini duduk di sampingnya. Namun, Lania lebih tak menyangka. Karena mereka duduk bersama, berdampingan, untuk berpisah. Hari itu, keduanya resmi bercerai.  Meski hakim bingung, karena keduanya mengaku saling mencintai. Sampai kapan pun. Tetapi bersikeras bercerai.

Lania kembali ke rumah orang tuanya. Sambil membawa foto pernikahan kemudian memasangnya di kamar. Kedua orang tuanya merasa khawatir. Tetapi mereka tahu, pertanyaan “mengapaa” dan “bagaimana” akan membuat putri semata wayangnya sedih. 

“Takdir hebat sekali. Sengaja membuat kita mencetak dua foto pernikahan seukuran bingkai besar ini. Seolah memang dipersiapkan untuk hari ini. Untuk kita simpan masing-masing satu,” ucapnya kepada Tito. Yang diam mematung menatap foto berukuran 100 x 50 sentimeter.

Sebagai seorang tentara angkatan darat, Tito nampak gagah. Pendidikan di militer membuat hatinya seteguh karang. Ia sama sekali tak terlihat sedih Saat bercerai. Ah, bahkan, saat ibunya meninggal pun ia tak menangis. Tito yang tangguh. Setidaknya itulah yang dipikirkan Lania. Salah satu hal yang ia sukai dari mantan suaminya.

Tak sepenuhnya salah, memang. Sebagai prajurit, pria berusia 26 tahun itu telah banyak melihat rekan-rekannya berguguran. Hatinya harus sekuat baja agar dapat melanjutkan tugasnya menjaga pertahanan negara. Jika wajah terlihat kecut, rekan yang lain akan terpengaruh. Menjadi kuat dan tegar atau terlihat kuat dan tegar menjadi semangat tak terucap bagi prajurit lainnya.

Sebelum bercerai, untuk pertama kalinya Tito bercerita kepada Lania tentang dukanya menjadi seorang prajurit. Iya, biasanya pria berkulit sawo matang ini hanya akan bercerita betapa bangganya dirinya menjadi tentara. Bagaimana rasanya saat berhasil menjalankan misi. Perasaannya saat jauh dari keluarga namun menemukan keluarga kedua.

Bukan, hal yang ia ceritakan itu tentu bukan duka yang pertama kali ia rasakan. Karena biasanya ia lebih memilih menyembunyikan dukanya. Karena melihat Lania khawatir akan membuatnya tak tenang saat bertugas. Sebelum pulang ke rumah, ia akan memikirkan seribu jawaban jika istrinya bertanya mengapa badannya mendapat beberapa luka, bekas jahitan, atau memar. Apa pun asal tak membuat istrinya khawatir.

Tapi saat itu, ia tak dapat menahannya. Ia harus bercerita agar bebannya sedikit lebih ringan. Sebagai tentara, ia tak mungkin curhat kepada rekan-rekannya. Tidak pula dengan kedua orang tuanya. Karena yatim piatu, ia hanya memiliki Lania.

“Brian meninggal. Lehernya digorok dengan clurit,” ia membuka suara. Suatu malam, saat tengah melihat bintang di teras rumah. Hanya satu yang nampak. Suasana hening sejenak. Suara motor sesekali terdengar. Lania hanya terdiam. Lama menunggu tanggapan istrinya, ia tak sabar juga.

“Di perbatasan waktu itu lagi rusuh. Ini sudah dua minggu kepergiannya,” sambungnya.

Lania masih terdiam. Ia mengumpulkan memori tentang Brian, lelaki seusia suaminya. Rekan yang telah dianggap sebagai saudara oleh Tito. Dulu Tito bercerita padanya kalau Brian lah yang merawatnya saat sakit. Orang yang selalu berbagi makanannya saat bertugas di tengah hutan. 

“Brian bahkan berjanji ngasih kita buah yang katanya bisa cepat bikin hamil,” lanjutnya. Memecah lamunan perempuan berambut hitam legam itu. Sudah dua tahun menikah, mereka memang belum dikaruniai anak.

“Pasti berita yang harus beredar di masyarakat dia meninggal karena sakit, kan?” sahutnya pada akhirnya. Suaminya terdiam. Bukan ini jawaban yang diinginkan dari istrinya.

Suasana kembali hening. Lania ingin sekali berteriak sambil menangis. Ia ingin bilang betapa khawatirnya dirinya.  Ia ingin berkata betapa ia berusaha keras menahan air matanya tak tumpah saat melihat bekas luka, jahitan, atau lebam di tubuh suaminya. Dan yang paling penting, betapa ia kesepian saat ditinggal suaminya bertugas. 

Air matanya mulai menitik. Ia bahkan tak mampu mengucap kata rindu. Apalagi merengek seperti anak kecil agar tak ditinggal melulu. Padahal ingin sekali hal itu ia lakukan. Tapi ia tak mau membuat suaminya khawatir.

Melihat istrinya menangis, Tito merasa bersalah. Ia jelas tahu betapa Lania gampang panik. Perempuan yang hampir selalu mengkhawatirkan segala hal. Terlebih badannya yang lemah dan gampang sekali sakit. Mendadak ia menyesal. Namun nasi telah menjadi bubur.

“Maafkan aku,” katanya lirih sambil memeluk istrinya.

Keesokan harinya, seperti biasanya, istrinya bangun lebih pagi. Nasi hangat, tempe goreng, pecel terong, dan kerupuk, menu kesukaannya terhidang di meja. Tetapi tumben, seragamnya belum disetrika. Ia berpikir barangkali istrinya sedang lelah.

Selama sarapan, keduanya banyak diam. Berbeda dengan biasanya. Apalagi jika Tito akan kembali bertugas seperti ini. “Mas, kamu memangnya enggak mau cepat punya anak?” tanya Lania tiba-tiba.

Tito terdiam. Mencerna apa maksud istrinya. Pertanyaan itu, jelas Lania sudah tahu jawabannya.

“Kalau misalnya kamu mundur dari militer demi aku, apa bisa?” tanyanya lagi dengan gugup.

Tito menghela napas panjang. Walaupun Lania tahu kalau pekerjaan suaminya yang sekarang adalah separuh hidupnya, ia bertekad mengungkapkan permintaan yang lama tersimpan. Yang bahkan ia pikir selamanya hanya akan terpendam.

“Kita bisa memulai usaha, Mas. Walaupun tabungan kita enggak banyak, kurasa itu cukup. Atau, aku akan tetap bekerja setahun dua tahun untuk menambah modal kita. Yang penting kamu di rumah, enggak jauh dari aku lagi,” sambungnya. 

Mendengar ucapan Lania, rahang Tito mengeras. Bagaimana bisa dia menjadikan istrinya sebagai tulang punggung? Walaupun memang gaji istrinya lebih tinggi. “Enggak bisa, Lania.  Bagaimana pun aku kepala keluarga. Aku ingin tetap bekerja.”

“Ta…tapi kan enggak harus jadi tentara, Mas,” ucapnya ragu-ragu, “Aku punya teman, dia minta suaminya mundur dari militer. Suaminya mau, terus mereka buka usaha catering.”

“Lania, menjadi tentara adalah salah satu kebahagiaanku, kebanggaanku. Negara membutuhkanku. Aku mohon kamu mengerti,” ujarnya lirih sambil menggenggam erat tangan istrinya.

“Negara butuh kamu, tapi aku enggak, begitu maksud kamu, Mas? Lagi pula kalau kamu mundur, masih banyak prajurit lainnya.”

“Lania!” bentak Tito. Untuk pertama kalinya. Lania tentu kaget. Hatinya tersayat. Perih. 

“Kalau kamu enggak mau mundur, ceraikan aku! Kamu harus milih antara aku atau pekerjaanmu!” tegasnya sambil terisak.

Lania duduk di depan ruang tamu. Di luar hujan rintik-rintik. Kedua orang tuanya mengamatinya. Tapi tak berkomentar apapun. Hanya saling memandang. Mereka tahu anaknya menunggu mantan suaminya. 

Tiga bulan berlalu. Lania kembali menjalani kehidupannya. Ia masih bekerja menjadi seorang akuntan.

“Bapak, Ibuk, Mas Tito besok jemput Lania,” katanya suatu malam. Besok, berarti akhir pekan. Orang tuanya hanya mengangguk dan tersenyum bahagia.

Keesokannya, cahaya terang benderang muncul di rumah Lania. Anehnya, hanya dia yang melihatnya. “Oh, sudah saatnya kita bertemu, Mas,” katanya dengan berbinar.

Beberapa saat kemudian, bendera kuning terpasang di depan rumahnya. Muazin menyiarkan nama perempuan itu melalui pengeras suara. Rumahnya pun dipenuhi orang-orang. 

“Sebelumnya dia hanya menatap bingkai foto pernikahannya,” jawab orang tuanya saat diberondong pertanyaan yang sama.



This post first appeared on KuasaKata.com, please read the originial post: here

Share the post

Perempuan di Depan Bingkai Foto

×

Subscribe to Kuasakata.com

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×