Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Jeng Jeng ke Pulau Tidung

Sungguh mengasyikkan pengalaman pertama mengunjungi gugusan Kepulauan Seribu, di tengah cuaca kurang bersahabat, awal juni bertepatan tanggal merah perjalanan chapter 2 dari blogpacker "jeng jeng ke Pulau Tidung dimulai". Bersama dua teman, saya menjelajahi sebuah pulau di Kepulauan Seribu, yang sempat dijuluki Maladewa-nya Indonesia. Namanya Pulau Tidung. Ia terdiri atas dua pulau, yaitu Pulau Tidung Kecil dan Pulau Tidung Besar. Sampai saat ini Pulau Tidung Kecil tak berpenghuni. Adapun Pulau Tidung Besar dihuni sekitar 4.000 jiwa penduduk, dan salah satu pulau yang penduduknya terbanyak di antara pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu.

Pulau Tidung bisa dicapai dengan menumpang “Feri”–julukan warga setempat untuk sebuah Kapal kayu berbahan bakar solar yang panjangnya 55 meter dan lebar 3 meter. Jadwal pemberangkatan kapal dengan daya angkut sekitar 100 orang itu pada pukul 07.15 dari dermaga Muara Angke, Jakarta Utara, dengan ongkos Rp 34 ribu per orang. Karena itu, agar tak ketinggalan kapal, Kami berangkat ke muara angke sepulang kuliah jam 5 sore menuju muara angke. Berangkat dari kos fahri dengan naik busway dari halte plumpang kami menuju pluit. Turun di pemberhentian akhir tepatnya di mega mall pluit kami melanjutkan dengan naik mikrolet u11 menuju muara angke. Tepat pukul 22.00 kami tiba di pelabuhan muara angke. Setibanya di sana kami langsung mencari kapal ferry agar besok paginya kita tidak kebingungan mencari kapal tersebut. Cuma, kami sempat muter-muter mencari jalan masuk ke pelabuhan karena tak ada petunjuk yang jelas. Setelah kapal ferry yang akan membawa kita ke pulau tidung diketahui keberadaannya akhirnya kita memutuskan untuk tidur (badan sudah pegal2) dan asyiknya kami dibolehin menginap di kapal ferry tersebut. Sebelum kita tidur, kita sempet ngobrol2 sama kapten kapal dan ternyata untuk liburan ke tidung disarankan agar ikut paket wisata (EO) jangan bepergian sendiri dengan niat modal kecil karena ujung-ujungnya bakal ngluarin duit banyak. Kamipun sedikit menciut nyali kami untuk berbagpackeran ke tidung tapi karena niat udah tak terbendung lagi kami tetap melanjutkan perjalanan.

Hari masih begitu pagi, tapi matahari sudah sedikit demi sedikit merangkak naik. Namun kami bersyukur bisa menyaksikan sunrise pertama meskipun dari pelabuhan muara angke yang sangat begitu sangatlah. Kami melangkahkan kaki menuju kerumunan para penumpang yang akan menuju pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Kulihat mereka berpencar mencari kapal yang akan membawa ke pulau tujuan. Beberapa penumpang menuju kapal yang akan bertolak ke Pulau Pramuka, Pulau Untung Jawa, dan ada pula yang setujuan dengan kami, Pulau Tidung.

Kondisi di kapal, para penumpang mengambil posisi masing-masing. Kami sengaja mengambil tempat di geladak kapal, tanpa pengaman apa pun, agar leluasa melihat pemandangan. Sang kapten kapal berkali-kali meminta beberapa penumpang supaya berada di dalam dengan alasan keselamatan.

“Kalau cuaca baik, bisa ditempuh dua jam, kok,” kata kapten sebelum kapal berangkat. Beberapa menit kemudian, kapal mulai merangkak perlahan menjauh dari dermaga Muara Angke. Awalnya perjalanan masih menyenangkan. Namun, ketika sudah hampir seperempat perjalanan kapal tiba-tiba mati dan ternyata baling-baling kapal tersangkut dengan kotoran/sampah (memang sangat miris kondisi laut jakarta udah kotor warnanya hitam banyak sampah pula). Namun berkat kesigapan awak kapal, akhirnya masalah dapat teratasi.

Demi mengikuti peringatan si kapten, yang berkali-kali memberikan warning, kami meninggalkan geladak untuk bergabung dengan penumpang lain di dalam kapal. Belum sampai 30 menit, lagi-lagi kapal diterjang ombak, dan itu terus terjadi hingga kapal mendarat di dermaga Pulau Tidung empat setengah jam kemudian. Saya pun mabuk–kejadian pertama selama melakukan perjalanan dengan moda transportasi darat, laut, dan udara. Sungguh perjalanan yang rasanya tidak ingin saya ulang lagi.

Sesampainya di dermaga Pulau Tidung, abang-abang tukang becak menawarkan jasa mengantarkan ke penginapan. Tapi kami memilih berjalan kaki karena kami memang berniat tidak mencari penginapan (seperti biasa penginapan kami adalah mushola). Seraya melangkahkan kaki, saya memperhatikan sekeliling: rumah-rumah sederhana para penduduk, pohon pisang di kanan-kiri jalan, cemara hijau, jalanan setapak dengan paving block yang nyaman, senyum ramah para penduduk. Sesekali saya harus berhenti dan sedikit menyingkir guna memberikan ruang bagi pengendara sepeda yang tengah menyusuri pulau ini. Kami jadi kepingin juga bersepeda ria berkeliling pulau.

Setelah berjalan cukup jauh, kami tidak menemukan persewaan sepeda, semua sepeda habis disewa. Awalnya kami putus asa dan kami juga heran sepeda begitu banyaknya gak ada yang bisa kami sewa. Disaat kami putus asa tiba-tiba ada sebuah jasa persewaan sepeda yang masih ada stock, kalo gak salah namanya hasby tidung rent. Asal tau aja sewa penginapan disana cukup mahal jadi kalo budget mept silahkan ikuti cara kami

Untuk sewa sepeda, kita cukup mengeluarkan kocek Rp 10 ribu. Setelah memilih-milih sepeda, qt langsung gowes menyusuri pulau tidung.

Tibalah saatnya untuk mengeksplorasi pulau yang sempat disebut-sebut sebagai Maladewa-nya Indonesia ini. Pulau Tidung memang mirip Maladewa, pulau di Lautan Hindia, 435 mil barat daya Sri Lanka. Sampai kedalaman 50 meter, lautnya masih dangkal. Laut hijau kebiruan, air jernih, beratapkan langit biru cerah.

Kring… kring… kring…. gowes… gowes. Saya sempat menertawakan diri sendiri yang berkali-kali terpeleset. Untung akhirnya bisa juga. Saya jadi teringat kenangan masa kecil ketika bersepeda.

Bersepeda di Pulau Tidung, kita harus berhati-hati karena sepeda-sepeda yang ditawarkan tergolong tua. Bahkan ada yang tidak memiliki rem sama sekali. Sadel beberapa sepeda pun sudah tidak nyaman untuk diduduki.

Walau demikian, saya benar-benar menikmati bersepeda keliling pulau melewati rumah-rumah penduduk, sesekali bertukar senyum dengan mereka, menikmati semilir angin dan deru ombak. Dari kejauhan, saya menatap keindahan ciptaan Tuhan: hamparan laut biru kehijauan yang luas, berpadu padan dengan langit biru cerah dan pepohonan rindang di kiri-kanan jalan.

Saya terus mengayuh sepeda menuju sebuah pulau tanpa penghuni nan eksotik, yaitu Pulau Tidung Kecil. Nah, Pulau Tidung Kecil terkenal dengan pasir putihnya. Di sini juga merupakan spot menarik untuk melakukan snorkeling.

Untuk mencapai Tidung Kecil, dari Pulau Tidung Besar, kita harus melewati jembatan yang panjangnya lebih-kurang 2 kilometer. Adakalanya sepeda pun mesti kita jinjing. Bersepeda di atas jembatan yang lebarnya mungkin hanya 1,5 meter ini bisa menjadi sebuah pengalaman tak terlupakan. Ada dua pilihan: tetap mengayuh sepeda dengan perasaan deg-degan karena ada beberapa bagian dari jembatan yang bolong tanpa pengaman atau berjalan berjejer sambil mendorong sepeda. Kalau bersama pasangan, pasti sangat romantis. Sambil berjalan atau mengayuh sepeda, kita tidak akan pernah luput dari pemandangan bawah laut yang terdapat di kanan-kiri jembatan. Laut luas dengan guratan biru transparan, terumbu karang yang indah, sesekali kita bisa melihat ikan-ikan berenang, sungguh terpesona ketika menatap jauh kedalaman laut nan biru.


Sesampai di Pulau Tidung Kecil, kami sempat menikmati pemandangan bawah laut, kamipun sempat berenang. Berkali-kali kami mencoba untuk tidak menyentuh terumbu karang nan indah, apa daya terkadang tak mampu menahan gejolak tangan yang gatal.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah menikmati matahari senja di Pulau Tidung. Cuaca memang agak sedikit tidak bersahabat. Angin bertiup, namun tidak memupuskan sang surya berganti warna menuju kuning keemasan dan perlahan digantikan gelap yang menyelimuti langit Tidung Kecil dan Tidung Besar. Kami pun harus kembali ke penginapan dengan mengayuh sepeda.

Malam semakin larut. Kesunyian menyelimuti Pulau Tidung Besar. Berbaur dengan penduduk, saya sempat mendengar perbincangan mereka yang resah akan hasil tangkapan ikan. Sementara itu, di sudut lain, saya menyaksikan penduduk yang masih terus bekerja membuat sebuah kapal walaupun hari sudah larut. Sebuah gambaran perjuangan hidup di sebuah pulau cantik yang penuh potensi namun belum banyak terekspos. Malam semakin larut dan kamipun mulai membaringkan badan di tempat penginapan kami, mushola. Kami sadar kalo tempat yang menjadi penginapan kami itu mushola jadi kami sangat sopan dan menjaga kondisi seperti halnya menghargai tempat ibadah.

Keesokan harinya, kami melanjutkan snorkling. Melalui hasbi group, kami menyewa alat snorkling lengkap plus kapal yang akan membawa kami snorkling (kapalnya kita nebeng sama orang) dengan biaya 50rb per orang. Cukup murah, jadi tips buat kalian yg ingin melakukan snorkling dengan menyewa kapal alangkah baiknya join dengan orang lain sehingga biaya menjadi agak ringan. Pengalaman snorklingpun kami rasakan dengan begitu luar biasa, Keindahan bawah laut di pulai payung, pulai air, pulau rambut serta pulau-pulau disekitar pulau tidung begitu luar biasa. Perjalanan dengan kapal melengkapi pengalaman kami untuk pertama kalinya melakukan snorkling.

Karena waktu yang terbatas, kamipun harus segera kembali ke Jakarta. Kekhawatiran akan cuaca buruk pupus tatkala melihat matahari pagi yang sangat indah di ufuk timur dengan warna merah keemasan yang dipantulkan seolah berkata bahwa esok hari cuaca akan sangat bersahabat. Dan dengan kapal ferry yang sama, kitapun sampai juga di jakarta, tepatnya muara angke.




Itu secuil cerita dari blogpacker saya, jeng jeng pulau tidung setelah pengalaman "amazing ujung genteng", dan next! Ekspedisi Green Canyon!




This post first appeared on Prasetyo Ilham | Tentang Kehidupan, please read the originial post: here

Share the post

Jeng Jeng ke Pulau Tidung

×

Subscribe to Prasetyo Ilham | Tentang Kehidupan

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×