Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kang Badrun, Pembaca Berita, dan Bandar Narkoba

Bola mata Kang Badrun membelalak di depan layar kaca. Berkali-kali kepalanya menggeleng. Mulutnya menceracau. Di balik layar kaca, si pembaca berita yang (nyaris) tanpa ekspresi itu terus membombardir mata dan telinga pendengar dengan info-info terkini. Karena merasa jenuh dengan pembacaan berita yang datar-datar saja, Kang Badrun ngeloyor ke warung kopi; tempat yang seringkali berubah menjadi “pasar ngrumpi”. Sepanjang perjalanan, pikiran Kang Badrun belum juga bisa memahami karakter pembaca berita yang monoton itu.

“Biarkan pendengar yang menyimpulkan sendiri! Tugas Sampeyan hanyalah membaca, membaca, dan membaca. Titik! Tidak perlu pakai ekspresi! Sampeyan digaji bukan untuk bermain drama di ruang berita!” begitu konon kata sang majikan yang pernah disampaikan teman Kang Badrun saat masih mengadu nasib di kota megapolitan.

Dalam situasi demikian, sangat beralasan kalau pembaca berita selalu tampil datar dan tanpa ekspresi dari balik layar kaca. Meskipun demikian, Kang Badrun merasa tidak nyaman juga apabila saban hari bola matanya mesti selalu jatuh ke wajah para pembaca berita yang (nyaris) tanpa ekspresi itu. Tanpa terasa, langkah kaki Kang Badrun sudah menyentuh bibir warung. Di sana sudah kumpul kolega-kolega ngrumpi dengan kepulan asap khas kopi yang menusuk hidung. Tanpa basa-basi, Kang Badrun bergegas ambil tempat duduk, lantas bergabung dalam sebuah obrolan sore yang dingin.

“Huh, benar-benar pembaca berita yang ndak paham teknik pembacaan berita yang baik! Datar dan monoton!” kata Kang Badrun bersungut-sungut. Para “jamaah” warung ngrumpi saling bertatapan.

“Loh! Sampeyan itu kenapa toh, Kang? Datang-datang kok menggerutu kayak gitu?” tanya Lik Markum.

“Habis gimana Lik, lha wong membacakan berita yang sangat penting kok wajah dan ekspresinya datar-datar saja! Mana ada penonton yang tertarik menyaksikannya?”

“Walah, itu, toh, gitu aja kok sewot! Kalau seneng ditonton, kalau ndak ya ganti saluran atau kabur!”

“Tapi sakitnya tuh di sini, Lik!” sahut Kang Badrun sambil menunjuk dadanya. Para “jamaah” warung ngrumpi tertawa.

“Wew … Sampeyan boleh saja berharap agar pembaca berita tampil ekspresif seperti yang Sampeyan inginkan Kang Badrun. Tapi pembaca berita kan tidak boleh menyalahi ‘pakem’. Pembaca berita itu bukan pembawa acara kuis atau presenter dunia kaum selebritis, Kang. Mereka berada dalam suasana resmi. Justru terkesan kurang etis kalau pembaca berita tampil neka-neka seperti para presenter yang lebay itu!” sahut Lik Markum suatu ketika.

“Walah, Lik, tapi kalau berita yang dibacakan itu sangat penting, bahkan mahapenting, apa tidak boleh seorang pembaca berita sedikit berekspresi untuk menunjukkan keberpihakan terhadap nilai-nilai kebenaran,” sahut Kang Badrun.

“Pakemnya memang harus begitu, kok. Beritanya penting atau biasa-biasa saja, seorang pembaca berita mesti ndak boleh berpihak! Taruhlah kalau ada bandar Narkoba yang akan dihukum mati, apa mesti seorang pembaca berita mesti teriak-teriak histeris untuk menyatakan sikap setuju terhadap isi berita yang dibacakan?”

“Itu bahan ngrumpi yang ndak penting, Kang Badrun! Coba Sampeyan sebutkan tadi berita yang sangat penting itu apa? Itu justru yang penting jadi topik ngrumpi sore ini!” sela Mas Kajang.

“Okelah kalau gitu! Ini berita penting tentang nasib para cukong Narkoba! Mereka bakalan ndak bisa berkutik! Pemerintah akan mengeksekusi mereka di tiang gantungan! Bukankah ini berita yang amat penting setelah kita tahu bahwa negeri kita ini justru telah menjadi salah satu pasar narkoba terbesar di dunia!”

“Wow … benar sekali! Ini baru topik berita yang jos!” sahut “jamaah” yang lainnya.

“Terus gimana?” sergah seorang anggota “jamaah” yang sedari tadi klepas-klepus membuang asap rokok dari lubang hidung dan mulutnya.

“Terus terang, aku setuju banget dengan sikap pemerintah yang tak kenal ampun terhadap para bandar dan cukung narkoba,” sahut Kang Badrun. “Mereka ini musuh negara dan rakyat! Entah sudah berapa juta jiwa yang melayang akibat ulah mereka. BNN mencatat ada 40 orang meninggal dunia secara sia-sia setiap hari. Setiap hari, Bro! Itu artinya, dalam sebulan ada 1.200 nyawa menjadi tumbal! Aduh, ini musibah nasional yang mesti dicegah! Kejahatannya jauh lebih mengerikan ketimbang perampok atau maling!” lanjutnya.

“Tapi, Kang, belum tentu juga eksekusi mati terhadap bandar narkoba itu akan berjalan mulus. Para aktivitas HAM pasti juga akan berteriak. Menurut mereka, hukuman mati tidak akan bisa mencegah merajalelanya Narkoba!” sahut Lik Markum.

“Tapi kalau dipikir, para cukung dan bandar narkoba itu justru nyata-nyata yang telah menjadi pelanggar HAM paling berat karena telah membunuh banyak generasi muda! Lebih melanggar yang mana antara membunuh mereka yang telah menjadi jagal nyawa manusia dengan pemerintah yang mengeksekusi para jagal itu. Kalau ada cukung narkoba yang tereksekusi mati, itu artinya ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa generasi muda yang terselamatkan!” sela Mas Kajang.

“Betul, betul, saya sepakat itu! Para bandar nakoba ndak perlu dikasih ampun!” sahut yang lainnya ditingkah deting gelas.

“Benar sekali, Bro! Bukan itu saja, saya sebenarnya juga ndak setuju kalau BNN mau mendirikan rumah-rumah rehabilitasi bagi para korban Narkoba!” sela Kang Badrun.

“Loh, kenapa, Kang? Bukannya itu upaya mulia untuk menyelamatkan para generasi muda yang telah menjadi korban kebiadaban para bandar Narkoba?” tanya Mas Kajang.

“Hem … menurut saya, narkoba tidak cukup ditindak melalui hukum, tapi pencegahan juga sangat penting dilakukan. Saya khawatir, dengan banyaknya rumah rehabilitasi bagi korban narkoba, pencegahannya menjadi semakin tidak efektif. Makin banyak generasi muda yang tergoda untuk mengonsumsi narkoba. Toh, nanti kalau menjadi pencandu akan dirawat di rumah rehabilitasi!” tegas Kang Badrun. “Jamaah” yang lain mengangguk-angguk tanda setuju.

“Terus bagaimana dengan nasib generasi muda yang telanjur menjadi pencandu? Apa mereka dibiarkan terlunta-lunta tanpa proses rehabilitasi?” tanya Lik Markum.

“Serahkan saja nasib mereka pada keluarganya agar menjadi pelajaran berharga sekaligus menimbulkan efek jera. Orang tua mesti ikut bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jangan suka memanjakan anak dengan materi berlimpah, tapi miskin perhatian dan kasih sayang. Makin banyak ruang rehabilitasi korban narkoba, makin banyak juga anak-anak dari kalangan berduwit yang tergoda untuk mengonsumsi narkoba.  Pencegahan itu juga butuh sikap tegas! Kalau tidak, musibah yang dahsyat akan melanda negeri kita tercinta ini!” lanjut Kang Badrun berapi-api.

Para “jamaah” warung ngrumpi terus terlibat dalam obrolan sore yang dingin. Mereka sering berdebat, tetapi tak sampai menimbulkan konflik. Melalui diskusi dan debat di warung kopi, sejatinya mereka juga belajar melalui kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. Ketajaman otak mereka terus diasah agar mampu meluncurkan argumentasi yang masuk akal dan bermutu ketika terlibat dalam warung ngrumpi. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

Kang Badrun, Pembaca Berita, dan Bandar Narkoba

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×