Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Sebuah Foto di Kanekes

Oleh: Ali Gufron

Bila melihat foto di atas, benak sebagian dari kita mungkin akan menganggapnya sebagai hal wajar. Seorang anak laki-laki berusia 3 atau 4 tahun sedang tiduran di balai sebuah rumah panggung. Jari-jemari anak itu sibuk memencet tombol-tombol pada telepon genggam milik orang tuanya. Dia memanfaatkan aplikasi permainan telepon genggam untuk bermain. Padahal sejatinya belum dapat membaca, hanya menggunakan simbol-simbol dalam permainan tersebut sebagai pedomannya. Namun, akan berbeda ceritanya jika foto tersebut diambil di sebuah kampung adat yang notabene masih mempertahankan budaya karuhun yang menganggap tabu bila bersinggungan dengan “benda-benda asing” dari dunia luar. Foto di atas diambil di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada pertengahan bulan Maret 2016. Warga masyarakat di desa ini menyebut diri mereka sebagai orang Kanekes, namun masyarakat umum sering menyebutnya sebagai orang Baduy.

Sebutan "Baduy" ada yang menyamakan dengan suku bangsa Badawi di Jazirah Arab dan ada pula yang berpendapat berkaitan dengan wilayah yang mereka diami, yaitu di sekitar Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara. Selain penamaan, asal usul Orang Baduy pun memiliki banyak versi. Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak (2004), menyatakan bahwa bila merujuk pada naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, orang Baduy berasal dari pendeta (wiku) yang mengamalkan Jatisunda. Sisa dari Kabuyutan Jatisunda Sasaka Domas yang berada di wilayah Baduy dalam dan menjadi pusat "dunia"-nya orang Baduy. Sementara bila merujuk pada ungkapan tradisional orang Baduy "Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguh nu di teang, mending keneh lara jeung wirang tibatan kudu ngayonan perang jeung paduluran atawa jeung baraya nu masih keneh sawarga tua", maka orang Baduy diperkirakan berasal dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke Gunung Kendeng akibat diserang oleh kerajaan Islam dari Banten dan Cirebon.

Pendapat tentang orang Baduy yang merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran juga dikemukakan oleh Adimihardja (2000) yang menyatakan bahwa demi mengamankan urat nadi bagi pengangkutan hasil bumi, Pangeran Pucuk Ulum menempatkan sejumlah pasukan di Sungai Ciujung yang nantinya menjadi cikal bakal orang Baduy. Pendapat ini sebelumnya pernah disangkal oleh Garna (1993) dengan menyatakan bahwa ada seorang dokter berkebangsaan Belanda bernama van Tricht pernah melalukan riset kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada tahun 1928. Dalam risetnya van Tricht menyimpulkan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar.

Jauh sebelum Garna, ada pula Danasasmita dan Djatisunda (1986) yang menyatakan hal serupa. Menurut keduanya, apabila berbicara mengenai asal usul masyarakat Kanekes hendaklah bertitik tolak dari kedudukan mereka dalam konteks masyarakat Sunda lama. Masyarakat Kanekes mempunyai tugas khusus dalam hubungan dengan masyarakat Sunda secara keseluruhan. Mereka berkedudukan sebagai mandala yang mengemban tugas melakukan tapa di mandala. Adapun masyarakat Sunda lainnya - di luar mandala - berkedudukan sebagai nagara dan mengemban tugas melakukan tapa di nagara. Mandala adalah satu konsep dalam kerajaan Sunda lama yang berarti tempat suci sebagai pusat keagamaan. Orang-orang yang berada di dalamnya terdiri atas pendeta, murid-murid atau bahkan pengikut yang membaktikan diri bagi kepentingan kehidupan agama.

Pendapat Garna, Danasasmita, dan Djatisunda juga diamini oleh Ekajati (1995) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengakuan masyarakat Kanekes sendiri, sejak semula leluhur mereka hidup di daerah yang mereka diami sekarang, yaitu Desa Kanekes. Leluhur mereka bukan berasal dari mana-mana dan bukan pula sebagai pelarian. Bila dihubungkan dengan asal usul mereka dengan kaum pelarian dari Pakuan Pajajaran, bahkan mereka bersikukuh bahwa sejak zaman Nabi Adam AS pun leluhur mereka telah bermukim di daerah Kanekes.

Lepas dari berbagai versi mengenai asal usul tersebut, yang jelas orang Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun. Mereka membagi diri atas tiga kelompok, yaitu Tangtu Tilu, Panamping, dan Dangka (Moeis, 2010). TangtuTilu adalah kelompok paling ketat mengikuti adat. Mereka disebut sebagai Baduy dalam dan tinggal di tiga kampung di Desa Kanekes, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kelompok Panamping adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy dalam, seperti Cikadu, Kadukolot, dan Cisagu. Adapun Dangka adalah orang-orang Baduy yang tinggal di dua kampung di luar wilayah Kanekes, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Kampung Sirahdayeuh (Cihandam). Dengan kata lain, Dangka adalah areal yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Kanekes namun penduduknya masih memiliki keterikatan kekerabatan dan kosmik dengan warga serta tata aturan dan sistem yang berlaku di Tatar Kanekes (Pasal 1 ayat 9 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Menurut Fathurokhman (2010), pembedaan kelompok tersebut didasarkan pada ketaatan dalam menjalankan aturan-aturan dan norma adat. Kelompok Baduy dalam sangat memegang teguh aturan-aturan adat yang telah ditetapkan oleh para karuhun, sementara kelompok Baduy luar lebih longgar dalam menjalankannya. Pembedaan juga disebabkan karena warga Baduy dalam memiliki kewajiban bertapa dalam pengertian meneguhkan atau melestarikan adat Baduy dan agama Sunda Wiwitan. Sementara itu, warga Baduy luar bertugas sebagai panamping untuk menjaga masyarakat Baduy dalam yang sedang bertapa, sehingga turut juga membantu meneguhkan adat.

Adapun aturan-aturan adat yang ada dalam masyarakat Baduy di antaranya adalah: (1) dilarang membuat kolam, membendung aliran air sungai atau membuat sumur dengan Sanksi Adat Berupa denda atau diasingkan hingga keadaan kembali seperti semula; (2) dilarang menggunakan bahan kimia sebagai pupuk dengan sanksi berupa penyitaan; (3) dilarang memelihara hewan berkaki empat dengan sanksi adat berupa penyitaan atau penghancuran; (4) dilarang berburu dengan senapan dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan peralatan pertanian modern (cangkul, traktor) dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; (5) dilarang menggunakan gergaji besi untuk menebang pohon dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; (6) dilarang menggunakan minyak bumi (minyak tanah, bensin, solar) dengan sanksi adat berupa penyitaan; (7) dilarang memasuki kawasan Sasaka Domas dengan sanksi adat berupa denda dan atau pengasingan; (8) dilarang merusak kawasan leuweung kolot atau leuweung larangan; (9) dilarang meracun ikan; (10) dilarang mandi menggunakan sabun dan pasta gigi; (11) dilarang menggunakan alas kaki; (12) kaum perempuan dilarang menggunakan perhiasan emas; (13) dilarang bersekolah; (14) dilarang menggunakan kendaraan bila bepergian; dilarang menggunakan peralatan elektronik; (15) dilarang membuka warung atau berdagang; (16) dilarang menggunakan perabot rumah tangga mewah; dan (17) dilarang berpoligami.

Segala aturan yang cenderung menolak perubahan tadi menurut Moeis (2010) terkait dengan konsep ruang yang merupakan fenomena penting dalam kepercayaan dan falsafah hidup mereka. Hal ini terwujud dalam dimensi makro dan mikro kosmos mereka yang membagi dunia menjadi tiga bagian. Bagian atas disebut sebagai Buana Nyungcung yang merupakan tempat persemayaman Sang Hiyang Keresa. Bagian tengah disebut Buana Panca Tengah, tempat berdiamnya mahluk hidup. Sedangkan bagian bawah disebut sebagai Buana Larang atau neraka.

Kembali ke masalah foto di atas, apabila dikaitkan dengan aturan adat yang tidak menghendaki adanya perubahan, tentu akan mengungkap sebuah makna baru di dalamnya. Istilah hegemoni mungkin dapat menggambarkan kondisi ini. Menurut Gramsci yang dikutip Barker (2009), hegemoni adalah proses penciptaan, peneguhan, dan reproduksi makna dalam sebuah ideologi. Ideologi sendiri dianggap sebagai sebuah ide, makna, dan praktik yang pada hakikatnya merupakan peta makna penopang kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Sebagai sebuah kesatuan sosial, orang Baduy memiliki ideologinya sendiri yang berasal dari sistem kepercayaan mereka. Pranata keagamaan inilah yang menjadi “perangkat kerja ke dua” guna mengekalkan aturan-aturan adat dari “perangkat kerja pertama”, yaitu kelas penguasa atau para puun (Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana) yang memiliki tugas sebagai pengambil keputusan, menetapkan hukum adat sekaligus menjaga titipan karuhun. Walaupun berbeda fungsi, kadang keduanya menjalankan pengaruhnya secara bersamaan. Para puun sebagai sebuah pranata tidak hanya menerapkan ideologi dalam cara kerjanya, tetapi juga kadang menggunakan pendekatan represif bagi orang-orang yang melanggar. Jaro Tangtu merupakan orang yang diberi mandat khusus oleh para puun dalam melaksanakan sosialisasi, penataan keamanan dan ketertiban, hingga penerapan hukum. Namun, apabila melihat foto tadi, ada salah satu aturan yang mulai mengendur, yaitu pelarangan penggunaan peralatan elektronik dengan sanksi berupa penyitaan. Hal ini mengindikasikan ada sebuah hegemoni baru datang dari kelas penguasa lain di luar Baduy. Sebuah hegemoni yang mampu “membujuk” orang Baduy agar mau melanggar aturan adatnya tanpa adanya suatu paksaan.

Hegemoni yang berasal dari kaum kapitalis dengan menggunakan pendekatan konsensus dapat menciptakan tindakan dan mempengaruhi perubahan sosial masyarakat Baduy secara halus dan tanpa disadari. Melalui idelogi kultural yang diterapkan, perlahan mereka menggiring dan mempengaruhi pola pikir orang Baduy untuk lepas dari kungkungan tradisi yang telah turun-temurun mereka anut. Ideologi yang mereka bawa menjalankan fungsinya pada wilayah privat dengan melakukan manipulasi terhadap kesadaran masyarakat serta berada di luar lingkup kekuasaan pemerintahan adat Baduy.

Pembangunan Base Transceiver Station (BTS) penyedia jasa layanan seluler dan pengaruh wisatawan (sengaja atau tidak), pengguna gawai merupakan alat penggeraknya. Daya tarik budaya populer berupa gawai (telepon seluler) beserta segala aplikasinya begitu “menggoda” bagi orang-orang yang baru bersentuhan dengannya. Supremasi dari kelompok kapitalis rupanya dapat mengendurkan hegemoni dari kelompok penguasa Baduy. Kontrol sosial yang dilakukan penguasa Baduy tidak dapat berbuat banyak menghadapi kelompok sosial lain di luar wilayahnya.

Hasilnya, walau perangkat pemerintahan adat telah menggunakan pendekatan represif dengan secara berkala melakukan razia ke tiap rumah dan menyita barang-barang elektronik bagi yang kedapatan menyimpan, tetapi sifatnya hanya sementara. Penduduk yang umumnya telah mengetahui jadwal razia akan terlebih dahulu menyelamatkan barang-barang mereka ke tempat aman, yaitu ke sanak kerabat di luar kawasan Kanekes. Selesai razia, mereka akan mengambilnya kembali dan tetap tidak mengindahkan aturan adat yang telah berlaku secara turun-temurun.

Kondisi ketidakmampuan elit Baduy mempertahankan kontrol sosial politik pada gilirannya akan menimbulkan beberapa pertanyaan. Akankah perangkat kekuasaan adat mampu membendung masuknya ideologi baru dari kaum kapitalis yang ingin merentangkan sayapnya ke segala penjuru? Mampukah mereka mempertahankan aturan adat yang telah mengakar dalam mengatasi nalar awam orang Baduy yang tidak lagi rigid atau kaku melainkan terus-menerus mentransformasi diri, memperkaya diri dengan gagasan-gagasan dan opini filosofis dalam kehidupan keseharian? Akankah kontrol sosial elit politik Baduy melalui kekuatan fisik dan ideologi dapat membuat foto di atas hilang dari pandangan kita ketika berkunjung ke Baduy? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Diterbitkan dalam Majalah Maneka Vol 2 No 1 November 2020


This post first appeared on Budaya, please read the originial post: here

Share the post

Sebuah Foto di Kanekes

×

Subscribe to Budaya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×