Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Agama dalam Masyarakat Demokratis, Mencederai atau Meningkatkan Nilai Demokrasi?

Agama dan demokrasi memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.

Dimulai dengan teori tentang kepribadian otoriter, yang mengungkapkan hubungan psikoanalitik antara kecenderungan terhadap sikap religius dan tidak demokratis, banyak ahli berpendapat bahwa agama memiliki efek menentang nilai-nilai demokrasi dan sosialisasi.

Banyak literatur mengkontraskan agama dan demokrasi.

Agama sebagai sistem kepercayaan dihadapkan pada masalah yang ditimbulkan oleh ekstremisme agama dan loyalitas terhadap lembaga-lembaga demokrasi.

Ini menunjukkan bahwa ada kaitan antara religiusitas dengan intoleransi politik dan norma-norma non-demokrasi lainnya.

Nilai-nilai demokrasi dikatakan menekankan pada universalitas, berjuang untuk implementasi global hak-hak sipil untuk setiap orang.

Sementara itu, masyarakat agama cenderung menganggap dirinya lebih unggul dari kelompok lain, dan merasa memiliki hak lebih dari yang lain.

Akan tetapi, pada saat yang sama, agama ternyata berdampak positif pada norma dan nilai demokrasi.

Bukti menunjukkan bahwa masjid atau gereja memiliki potensi besar untuk demokrasi deliberatif, karena aktivitas keagamaan mengarah pada pengembangan keterampilan sipil dan norma-norma sipil, dan menyediakan basis organisasi dan filosofis untuk berbagai gerakan sosial.

Faktanya, kehadiran umat di rumah ibadah terbukti meningkatkan jumlah pemilih, keanggotaan partai, aktivisme protes, dan dukungan untuk demokrasi.

Dengan demikian, para ilmuwan empiris dan teoritis sama-sama semakin memperhatikan adanya ambivalensi politik agama di mana agama dapat menjadi sumber nilai-nilai yang tidak demokratis atau sebaliknya, agama juga menjadi penyumbang bagi pengembangan keterampilan demokratis.

Namun, temuan-temuan yang kontradiktif ini dapat diterima dengan mempertimbangkan religiusitas penganut agama yang beragam.

Para ilmuwan memandang agama sebagai hal yang melibatkan tiga dimensi, yakni dimensi religiusitas, dimensi perilaku, dan dimensi kepemilikan.

Komponen dimensi religiusitas mencakup pemahaman tentang hubungan ilahi dan dapat merujuk pada kepercayaan pada Tuhan, surga, neraka, kehidupan setelah kematian, atau kecenderungan orang untuk mencirikan diri mereka sebagai sosok yang religius.

Komponen dimensi perilaku terdiri dari (1) praktik sosial keagamaan, partisipasi dalam komunitas keagamaan yang terorganisir dan kehadiran di tempat ibadah, dan (2) peribadatan individual seperti sholat atau berdoa.

Terakhir, komponen dimensi kepemilikan terdiri dari afiliasi denominasi seperti gerakan keagamaan yang terorganisir, dan praktik pribadi, seperti doa atau pembacaan teks suci.

Banyak pendapat menyimpulkan bahwa spiritualitas dan agama, seperti kepercayaan pada Tuhan, surga, kehidupan setelah kematian, dan kegiatan sosial keagamaan, seperti menghadiri tempat ibadah dan partisipasi dalam komunitas keagamaan yang terorganisir, sering memiliki efek yang kontras pada sikap dan norma demokrasi.

Keyakinan agama secara positif terkait dengan nilai-nilai tradisional-konservatif dan secara negatif terkait dengan keterbukaan untuk mengubah nilai-nilai lintas agama dan konteks.

Sementara itu, demokrasi berhubungan positif dengan keterbukaan terhadap perubahan, menekankan pemikiran independen, universalitas, hak-hak kodrati, dan kesetaraan.

Tapi, demokrasi juga berhubungan dengan nilai-nilai seperti konformitas, tradisi, dan keamanan.

Hal ini menimbulkan konflik nilai yang inheren dan sistematis antara sistem nilai agama dan sistem nilai demokrasi.

Pada saat yang sama, keterlibatan sosial di tempat-tempat ibadah mengarah pada pengembangan keterampilan dan norma sipil serta politik, secara positif memengaruhi jumlah pemilih, keanggotaan partai, aktivisme protes, dan keterlibatan dalam organisasi sipil lainnya.

Dengan demikian komunitas peribadatan memiliki potensi besar untuk demokrasi deliberatif.

Selanjutnya, lembaga sosial keagamaan menciptakan kelompok minoritas aktif yang mendapat keuntungan dari kerangka demokrasi, hingga memobilisasi dukungan keseluruhan untuk rezim demokratis.

Efek negatif dari keyakinan agama lebih pada sikap demokratis sebagian besar dimediasi oleh nilai-nilai pribadi, dan efek dari perilaku sosial keagamaan yang dimediasi oleh modal sosial dalam bentuk keterlibatan politik.

Fakta bahwa religiusitas mempengaruhi dukungan demokrasi melalui nilai, keterlibatan, dan kepercayaan pada lembaga demokrasi, menunjukkan bahwa norma dan sikap demokrasi meningkatkan kemungkinan partisipasi politik melalui tempat ibadah.

Dimensi religiusitas yang berbeda memiliki efek kausal yang berbeda melalui beragam mekanisme psikologis pada sikap demokratis.

Walaupun keyakinan agama dikatakan cenderung berpotensi merusak demokrasi dengan mengarah pada nilai-nilai yang lebih konservatif, perilaku sosial keagamaan justru bisa mendorong sikap demokratis dengan menumbuhkan kepercayaan pada institusi dan keterlibatan dalam politik.

Ini menunjukkan bahwa bukan keyakinan agama itu sendiri yang memengaruhi sikap demokratis, tetapi pemahaman penganut agama terhadap nilai agamanya lah yang berpengaruh pada demokrasi.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Agama dalam Masyarakat Demokratis, Mencederai atau Meningkatkan Nilai Demokrasi?

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×