Dalam berbagai forum, tak ayal kita temukan pertanyaan, Buku fiksi Indonesia mana yang perlu dibaca?
Seringkali jawaban atas pertanyaan itu terbatas pada apa yang beredar di toko buku besar.
Sebagian buku tidak disebut lagi karena sulit untuk dicari dan tidak menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
1. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
New York kerap digambarkan cantik, dingin, tetapi juga keji. Sebaliknya, Indonesia dari kejauhan terkadang menjadi kelewat romantik, seperti Tokoh Marno yang tinggal bersama perempuan Manhattan, namun dihantui oleh suara jangkrik dan ratusan kunang-kunang di desanya.
Dalam karya Umar Kayam, kita melihat tatapan takjub, heran, sekaligus berjarak atas yang liyan.
2. Student Hijo
Hidjo dikirim oleh ayahnya untuk menjadi mahasiswa Fakultas Teknik di Delft supaya tak kalah gengsi dengan rekan-rekan sesama pejabat di Jawa.
Dalam Student Hidjo, kita akan melihat gagasan nasionalisme hadir bersama-sama dengan kosmopolitanisme lewat tokoh-tokoh yang lebih mementingkan fashion.
3. Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki
Calon Arang tetap mengerikan, namun telaah kritis atas patriarki yang dilakukan Toeti Heraty yang menghadirkan kompleksitas posisi Sang Rangda dari Dirah.
Buku ini menggambarkan adanya kelindan antara gender, seksualitas, dan politik. Calon Arang, perempuan berilmu dan berkuasa, harus musnah sebab ia mengancam otoritas raja dan pemuka Agama.
4. Babi Ngepet
Tokoh utana dalam Babi Ngepet adalah seorang lelaki yang terperangkap dalam kelas sosialnya dan tak bisa keluar.
Horor Abdullah Harahap adalah potret Indonesia yang buram, ketika negara, lembaga hukum, dan tatanan sosial tak bisa menjanjikan keadilan, orang tak punya cara lain selain bersekutu dengan setan.
5. Pada Sebuah Kapal
Melalui sudut pandang tokoh perempuan yang hidup di luar negeri sebagai kekasih atau istri seseorang, pada sebuah kapal dan buku-buku Nh.
Dini lainnya mengajak kita berpikir ulang tentang konsep bangsa dan nasionalisme. Salah satu tokoh Nh.
Dini secara tegas mengklaim dirinya sebagai “Citizen of the world” dan menghadapkan kita pada pertanyaan tentang posisi etis dan politik sebagai warga negara sekaligus warga dunia.