Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Pemikiran Pendidikan Yang Menyiksa

Sedari kecil ketika duduk di bangku TK atau SD dan ditanya mengenai cita-cita, kebanyakan jawaban dari kita adalah dokter, presiden, dan berbagai cita-cita tinggi lainnya. Namun, di samping cita-cita lainnya, entah mengapa kata “dokter” menjadi cita-cita yang “dimuliakan” kebanyakan orang tua dan mengundang berbagai stigma-stigma yang mengikuti pemikiran tersebut.

Masyarakat sedari dulu (khususnya orang tua) memiliki anggapan, atau boleh kita sebut sebagai pemikiran yang dipercaya sejak dulu sampai sekarang. Anggapan ini dirasa lekat sekali di dalam pikiran masyarakat turun-temurun. Salah satunya adalah soal cita-cita dokter tadi yang “dimuliakan” dan menjadi dambaan setiap orang tua agar di suatu keluarga harus ada yang lulusan IPA dan menjadi dokter. Hampir dari setiap keluarga pasti akan merasa bangga dan merasa keren ketika anaknya adalah seorang dokter.

Namun kali ini saya tidak akan membeberkan atau menjelaskan alasan, tujuan, dan motif asal-usul dari pemikiran yang mengundang stigma ini. Namun, kita akan melihat bagaimana pemikiran ini berdampak pada pelajar yang sedang memilih jalan hidup mereka.

Beberapa bulan kebelakang ini adalah masa-masa kelulusan para peserta didik dari berbagai jenjang. Ada yang lulus dari SD ke SMP, ada yang lulus dari SMP ke SMA/SMK, ada pula yang sibuk mencari fakultas dan jurusan yang tepat di perguruan tinggi.

Kita akan melihat dari yang mudah saja, ketika seorang siswa SMP kelas sembilan lulus dari sekolahnya, ia akan dihadapkan dengan pilihan SMA atau SMK. Ketika ia memilih SMK, maka saya yakin bahwa mereka seharusnya sudah memiliki keputusan pasti terhadap jalan hidup mereka karena jurusan yang ditawarkan cenderung spesifik.

Namun apa jadinya ketika mereka memilih SMA?Mereka akan dihadapkan dengan pilihan jurusan IPA dan IPS yang menjadi hal dilematis yang tentu saja dialami oleh hampir semua siswa pendaftar SMA (kecuali yang didaftarkan oleh orang tuanya).

Ketika didaftarkan orang tuanya, saya cukup yakin ketika kebanyakan orang tua (tidak semua) sekarang melihat lembar formulir pendaftaran sekolah dan melihat kolom IPA dan IPS, mereka akan langsung mencentang kolom IPA tanpa ragu dan bahkan mungkin tanpa persetujuan anaknya. Namun apa jadinya ketika ternyata minat anak tersebut adalah di dunia ilmu sosial dan bukan di ilmu pasti? Bagaimana jika nantinya anak tersebut tidak menikmati proses belajarnya dan berakhir berdampak pada kesehatan mentalnya?

Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan. Masih banyak peserta didik yang “bukan berada pada tempat semestinya” atau dengan kata lain: mereka berada di jurusan yang salah. Jurusan tersebut menjadi jurusan yang salah karena tidak sesuai dengan apa yang diminati oleh siswa tersebut. 

Contoh lainnya adalah ketika ada siswa yang berminat untuk menjadi seorang pegawai atau manajer sebuah bank besar, sebenarnya boleh-boleh saja untuk masuk ke jurusan IPA, namun ketika itu bukanlah minatnya, maka tidak seharusnya ia berada di sana. Lagipula juga materi-materi yang ia pelajari di jurusan IPA mayoritas tidak akan digunakan di pekerjaannya sebagai pegawai bank.

Singkatnya, ada dua faktor utama yang menyebabkan seorang siswa berada pada jurusan yang tidak tepat yang “menyiksa” dirinya. Yang pertama adalah karena desakan orang tua yang mau agar anaknya menjadi sesuai dengan apa yang mereka bayangkan dengan mendaftarkannya di jurusan yang tidak ia kehendaki, dan yang kedua adalah ketika ada pergumulan batin sang siswa tersebut yang merasa ia harus masuk ke suatu jurusan karena dinilai sebagai jurusan yang bergengsi (lagi-lagi karena termakan stigma).

Dua faktor tersebut membawa kita kembali pada pembahasan awal kita, yakni anggapan dan pemikiran masyarakat yang memandang suatu jurusan lebih baik daripada jurusan lainnya dan pemikiran bahwa seorang anak harus tumbuh besar memiliki cita-cita tertentu.

Saya kemudian menuliskan hal ini karena melihat bahwa di sekitar saya masih banyak yang mengalami hal serupa. Ada dari mereka yang diatur jalan hidupnya oleh orang tuanya, kemudian ada juga yang memilih suatu jalan hidup bukan karena hal tersebut ia sukai, namun berpotensi dipandang baik masyarakat. Sekali lagi, hal tersebut perlu dihindari.

Terakhir, untuk kalian yang mungkin sedang bingung atau dilema memilih jurusan, dengarkan keinginanmu, jadilah yang terbaik di bidang yang disukai dan buktikan pada orang tuamu.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Pemikiran Pendidikan Yang Menyiksa

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×