Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perempuan-Perempuan Pemburu di Garis Depan

Malam itu, di awal bulan Maret, tanah Priangan diguyur hujan yang lumayan lebat. Genangan-genangan air mulai merendami disudut-sudut kota Bandung, tatkala orang-orang menutup selokan-selokan yang menjadi sarana irigasi di pinggiran kota. Tak lain untuk sekedar membuat suasana semakin tidak nyaman.

Disamping sudut bangunan yang digunakan sebagai kantor pos, beberapa orang terlihat mengendap-endap sambil menyiapkan beberapa bungkusan yang telah dipersiapkannya. Tak lama kemudian suara,“blaaarrr!”, kantor pos itu meledak diiringi kobaran api yang tampak mulai membesar.

Bangunan-bangunan lain dibeberapa sudut kota pun mengalami hal serupa, nyala obor dibeberapa kerumunan menjadi saksi suatu pembakaran sebuah kantor surat kabar terkemuka di kota Bandung. Begitupula dengan stasiun kereta api, dan sarana-sarana umum lainnya, tak luput dari aksi perusakan.

Aksi Pembakaran Kota

Sekelompok orang yang berpanji hijau itu terlihat membawa berbagai macam senjata, mereka mulai berdatangan dari arah selatan kota. Hizbullah namanya, dengan sikap waspada mencoba membangun pertahanan menggunakan karung-karung pasir seadanya. “Hayu Jang, ulah ngalamun wae”, bisik seorang laskar.

Informasi rencana kedatangan tentara Sekutu yang dikuti oleh NICA ke Bandung, tak ayal membuat warga resah. Gelombang pengungsian pun terjadi di sepanjang daerah Margahayu dan Deyeuhkolot menuju ke Ciparay, Majalaya, Banjaran atau Soreang, yang dianggap sebagai lokasi aman.

Dalam suasana pertempuran itulah komandan Divisi Siliwangi, Kolonel Nasution memberikan pengumuman kepada seluruh warga Bandung untuk melakukan siasat bumi hangus. Instruksi pengosongan Bandung pada 24 Maret 1946 juga ditekankan, guna mengurangi terjadinya korban di kalangan sipil.

Aksi heroik laskar dari Barisan Banteng, Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan dalam menghancurkan gudang misiu Belanda di Deyeuhkolot pada 11 Juli 1946 dianggap sebagai puncak peristiwa Bandung Lautan Api. Ledakan dahsyat gudang misiu ini konon terdengar hingga seluruh kota Bandung.

Perempuan-Perempuan Pemburu

Mugi-mugi tiasa tepang deui, teh…”, ucap adik dari seorang laskar perempuan yang hendak melakukan sabotase telepon di sekitar Banceuy. “Amin, engke patepang deui kita di Dayeuhkolot, ya neng… ”, jawab sang kakak, sambil mengusap air mata yang jatuh dari mata sang adik.

Perempuan-perempuan Pejuang Bandung ini terkenal karena keberaniannya, mereka tergabung pada organisasi perjuangan bernama Laskar Wanita Indonesia (LASWI).  Organisai kelaskaran wanita ini dibentuk pada 12 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subiyati, istri dari Arudji Kartawinata.

Maung bikang” atau harimau wanita, sebutan itu disematkan oleh para pejuang Bandung kepada LASWI. Anggota ini terbentuk melalui perempuan-perempuan muda, janda, atau ibu rumah tangga yang ikhlas lahir batin berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat patriotismelah yang menggerakan hati mereka.

Militansi mereka terbukti dengan aksi-aksi yang tidak kalah keren dari pejuang pria, sebutlah peristiwa pengeboman Cicadas pada 14 Desember 1945. Kisah kombatan Soesilowati yang berani memenggal kepala seorang prajurit Gurkha-Inggris menjadi bukti bahwa perempuan memiliki nyali layaknya laki-laki.

Mereka memburu para pasukan Sekutu itu dengan berbagai macam upaya, diantaranya adalah dengan menyamar sebagai pedagang, tukang jamu, petani penggarap, hingga bergaya sebagai pengungsi. Hal ini sesuai maklumat perjuangan Nasution, “harus tetap ada penyusupan ke utara”.

Agustus 1946 Sekutu kembali menyerang, “Neng, Majalaya di bom!”, “Hayu, urang angkat ayeuna!”, kabar itu sampai kepada para pejuang LASWI. Para pejuang itu pun menuju Majalaya untuk membantu rakyat disana. Peristiwa ini menyebabkan jatuhnya korban dari rakyat sipil serta empat pejuang LASWI gugur.

Tidak selamanya pejuang LASWI berada di garis depan suatu pertempuran, kebutuhan logistik rakyat yang mengungsi di Ciparay dan Majalaya pun diselesaikan dengan membuat dapur umum. Selain itu banyak pula para pejuang LASWI yang bergabung dengan Palang Merah Indonesia, walau untuk mengevakuasi mayat.

Perempuan-perempuan tangguh ini memang dikaruniai kekuatan yang maha dahsyat, selain keahliannya dalam bersiasat dan bertempur, hati seorang ibu dari anak-anaknya pun tak membuat gentar dalam menghadapi peluru-peluru penjajah. Demi tujuan kemerdekaan untuk anak-anaknya kelak.

LASWI dan Simbol Perjuangan Perempuan

Ratusan atau bahkan ribuan korban perang mempertahankan kemerdekaan tidak selalu dihegemoni oleh pria. Tidaklah adil apabila kita mengesampingkan peran para pejuang perempuan yang rela mati di garis depan suatu pertempuran. Para pejuang perempuan itu berhasil membuktikannya dalam sejarah Indonesia.

Pada awal pendiriannya, Sumarsih mengaku kewalahan dalam merekrut anggotanya. Tak lain karena stigma masyarakat yang memandang rendah kedudukan perempuan kala itu. Tatkala ia mencoba menghimpun kekuatan di Jogja, pun dirasa sangat tidak memungkinkan, karena tradisi yang kuat pada masyarakat Jawa.

Ya. LASWI adalah simbol perjuangan para wanita pada masa revolusi. Sebaiknya pun demikian saat ini. Semangat patriotik dan heroisme mereka tentunya dapat dijadikan panutan oleh generasi-generasi saat ini. Tidak pantang menyerah dan terus berjuang meraih cita-cita mulia sebagai perempuan sejati.

Sebagai bentuk penghargaan untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para pejuang perempuan, Monumen LASWI dan Tentara Pelajar didirikan bersandingan oleh Pemerintah Indonesia di Jl. Kebon Jukut atau dulu dikenal dengan Viaduct Bandung. Agar dapat terus menginspirasi tanpa habis dimakan waktu.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Perempuan-Perempuan Pemburu di Garis Depan

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×