Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Karl Marx, Kecerdasan Buatan, & Masa Depan Kelas Pekerja

Membaca dan Mempelajari  Marx seperti masuk kedalam lubang hitam antariksa. Gagasannya yang tertuang pada das kapital dan minefesto komunis membuat saya terpenjara dalam alam pikirnya. Apa mungkin saya yang terlalu baperan saat membacanya ? atau ini memang pengalam edgy setiap orang yang membacanya?. Ah sudahlah, itu tidak terlalu penting, ada hal yang lebih penting yang harus saya sampaikan disini.

Setelah saya mendedikasikan diri Menjadi penggemar marx,  ke-kepo-an syaa tentang semua yang berbau-bau marxisme semakin menjadi-jadi. Histori browser saya dipenuhi namaanya dan hal yang terkait dengannya.  dan sekarang saya mempunyai kewajiban moral untuk menobatkannya menjadi peramal atau “orang pinter”.   Disaat algoritma mbah google mempertemukan saya dengan  ceceran tulisan Marx  yang berjudul The Fragment on Machines. Kewajiban moral saya terasa semakin kuat untuk memberinya gelar peramal.

Teori ekonomi Marx didasarkan pada teori nilai kerja: bahwa nilai suatu barang, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah waktu Kerja yang diperlukan untuk membuatnya. Dalam “The Fragment on Machines”, Marx menjawab pertanyaan yang lebih relevan saat ini daripada sebelumnya: bagaimana kita mendefinisikan nilai ketika tenaga kerja manusia yang dibutuhkan untuk menciptakan barang tidak dibutuhkan lagi? Atau, secara lebih apokaliptik: ketika kecerdasan buatan telah mengambil semua pekerjaan, siapa yang tersisa untuk membeli barang?

Marx mengakui bahwa otomatisasi memiliki potensi untuk dengan cepat mengubah hubungan modal, tenaga kerja, dan alat-alat kerja/produksi. Tetapi yang lebih penting, ia tampaknya menyiratkan bahwa tindakan otomatisasi itu sendiri mengubah kerangka kerja yang telah ia buat dalam teks-teks sebelumnya:

“Begitu diadopsi ke dalam proses produksi kapital, alat-alat kerja melewati berbagai metamorfosis, yang puncaknya adalah… sistem mesin otomatis… digerakkan oleh sebuah robot, kekuatan bergerak yang menggerakkan dirinya sendiri; otomat ini terdiri dari banyak organ mekanis dan intelektual, sehingga para pekerja itu sendiri hanya berperan sebagai penghubung sadarnya.”

Wow. Ada banyak hal yang harus dibongkar di sana. Apakah kita baru saja membaca Marx mengatakan bahwa puncak dari kerangka ekonominya adalah robot?

Kata “metamorfosis” juga penting di sini. Dalam paragraf sebelumnya, Marx menggambarkan perubahan lain dalam teknologi hanya sebagai “modifikasi formal” pada alat-alat kerja. Tetapi otomatisasi adalah sesuatu yang sama sekali berbeda — bukan modifikasi formal, tetapi metamorfosis . Perubahan yang mendalam dan mendalam dalam bentuk dan fungsi.

Ulat menjadi kupu-kupu, Kecebong menjadi kodok,  dan sekarang manusia menjadi mesin.

Ketika juara catur antar kecamatan dapat dikalahkan oleh BOT dalam permainan freechess , apakah sekarang bot tersebut  dapat kita nobatkan menjadi juara baru  ? mengalungkannya medali dan meberikannya piala ?. Manusia, sudah kalah telak. Dengan cara yang sama, jika dunia Marx milik para pekerja, apa yang terjadi jika mereka bukan manusia?

“Sebaliknya, itu adalah mesin yang memiliki keterampilan dan kekuatan menggantikan pekerja, itu sendiri adalah virtuoso, dengan jiwanya sendiri dalam hukum mekanis yang bekerja melaluinya; dan ia mengkonsumsi batu bara atau minyak seperti halnya pekerja mengkonsumsi makanan untuk mempertahankan gerakannya yang terus-menerus.”

Masuk akal bahwa Marx, mendefinisikan manusia melalui hubungannya dengan tenaga kerja, akan mengaitkan keterampilan dan kekuatan mekanik robot dengan jiwa. 

Konsep ini membawa kita pada pertanyaan filosofis, tetapi juga pertanyaan praktis. Ketika sebuah mobil self-driving menghantam warung kopi pinggir jalan dan membunuh setidaknya 5 orang disana , siapa yang harus betanggung jawab ? siapa yang masuk penjara? 

Namun, dalam pertempuran besar Manusia vs. Mesin, Marx secara mengejutkan berpihak pada mesin.

Dia membuat prediksi mendalam tentang masa depan otomatisasi, dan prediksi yang berguna untuk kita renungkan:

Tenaga kerja tampaknya tidak lagi dilibatkan dalam proses produksi; sebaliknya, manusia menjadi lebih berhubungan sebagai penjaga dan pengatur proses produksi itu sendiri… Segera setelah kerja dalam bentuk langsung tidak lagi menjadi sumber kekayaan yang besar, waktu kerja berhenti dan harus berhenti menjadi ukurannya.

Kapitalisme dengan demikian bekerja menuju pembubarannya sendiri sebagai bentuk yang mendominasi produksi.

Marx menempatkan otomatisasi sebagai semacam “akhir sejarah” di mana barang-barang menjadi sangat murah untuk diproduksi, dan membutuhkan tenaga kerja yang sangat sedikit, sehingga model kapitalisme saat ini berantakan.

Lalu, yang terjadi adalah:

pengurangan umum kerja masyarakat yang diperlukan seminimal mungkin, yang sesuai dengan perkembangan artistik, ilmiah, dll. dari individu-individu dalam waktu yang dibebaskan, dan dengan sarana yang diciptakan, untuk mereka semua. Kapital itu sendiri adalah kontradiksi yang bergerak, [dalam] bahwa ia menekan untuk mengurangi waktu kerja seminimal mungkin, sementara ia menempatkan waktu kerja, di sisi lain, sebagai satu-satunya ukuran dan sumber kekayaan.

Marx menguraikan pandangan yang pada dasarnya utopis tentang otomatisasi di sini. Namun, itu tidak sepenuhnya mengada-ada. Di era 90-an yang para pekerja menghabiskan 12 jam untuk memproduksi panci  dan hanya di bayar roti dan sekaleng bir , Mungkinkah  kita membayangkan  “universal basic income”  akan dianggap serius ?  Bahwa  Finlandia akan memberikan pendapatan dasar universal kepada seluruh penduduknya ?

Bagi banyak orang, universal basic income adalah solusi untuk otomatisasi dan kecerdasan buatan yang membuat jutaan pekerjaan menjadi tidak berguna sama sekali. Ini akan menjadi mimpi Marxis — orang-orang yang bekerja atau menganggur mendapatkan semua kebutuhan mereka dipenuhi  karena produksi mekanis yang melimpah, dan kemudian dapat menghabiskan waktu mereka untuk seni, sains, dan aktualisasi diri.

Tetapi kenyataannya ?

Para penjaga gerbang tol yang lihai jari jemarinya untuk menghitung uang kembalian kita, kini digantikan oleh E toll.

Kemana mereka sekarang ? apakah mereka menghabiskan waktu untuk mengapresiasi keindahan lukisan Raden Saleh ? atau  mereka sedang membaca Sapien atau homodeus-nya Yuval Noah Harari ?

Tidak. Mereka terbuang .Mereka tersingkirkan oleh gerbang tol otomatis yang dapat mebuka dan menutup  dengan sendiribya ketika kita  menepalkan kartu ajaib yang  seakan mempunyai sihir untuk membuka gerbang tol setiap menempelkannya pada piranti pembaca barcode. Dan kini  para penjaga tol tersebut harus mencari pekerjaan lain karena kalah saing dengan robot.

Begitu juga disaat jepang telah mepekerjakan robo waitress yang dapat mengucapkan “konichiwa” dan membawakan setiap makanan yang kita pesan . Apakah para robot itu diberikan THR dan cuti hamil oleh perusahaan?. Tidak sama sekali. Robot-robot itu akan terus bekerja 7 hari dalam seminggu  dan akan tetap mengucapkan “konichiwa” walaupun mesin mereka panas dan mulai error. Lalu pada saat itu para SJW akan meneriakan keadilan untuk para robot di twitter mereka.

Lalu bagaimana dengan pabrik sekarang ? Hilangnya pekerjaan pabrik secara historis telah diimbangi oleh pekerjaan baru; kerja yang mengandalkan pikiran daripada tangan. Tetapi ketika kecerdasan buatan meningkat, tingkat kehilangan pekerjaan hingga puncaknya, menggusur bahkan profesi kerah putih seperti pengaca dan akuntan, orang bertanya-tanya bagaimana pekerjaan baru dapat diciptakan dengan kecepatan yang sama.

Seperti apa ekonomi maju dengan PDB tumbuh tetapi pengangguran 70%? Bagaimana hal itu mempengaruhi ekonomi, politik, budaya? Ini adalah skenario tanpa prioritas, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Kenyataan yang nyata adalah bahwa mengganti manusia dengan algoritma pada dasarnya menempatkan uang dan kekuasaan ke tangan pemilik bisnis. 

Itulah masalah mendasar dengan tesis Marx; ketika hampir dari seluruh negra di dunia ini  menuju robo-utopia, itu adalah neraka . Otomasi adalah pendorong besar di balik kesenjangan kekayaan yang meningkat selama beberapa tahun terakhir, dan itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Karl Marx, Kecerdasan Buatan, & Masa Depan Kelas Pekerja

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×