Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Resensi Novel: Di Tanah Lada – Bercermin Lewat Cerita

Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba mengulas salah satu novel karya Ziggy yang berjudul Di Tanah Lada. Novel ini telah mendapatkan beberapa penghargaan, yaitu Kusala Sastra Khatulistiwa Nominee for Prosa – longlist (2016), Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta for Juara II (2014), Anugerah Pembaca Indonesia Nominee for Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit – Shortlist (2016).

Judul Buku Di Tanah Lada
Pengarang Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie 
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit 2015
Jumlah Halaman 244

Sinopsis

Bagaimana jika alasan para orang dewasa untuk mengambil keputusan memengaruhi yang lainnya?

Kepergian Kakek Kia selama-lamanya membawa Ava berpindah dari rumahnya yang selama ini ia tempati menuju Rusun Nero, tempat kumuh yang kotor dan tidak terawat. Di sini, tidak ada kamar untuk tidur, tidak ada kasur yang empuk, dan tidak ada selimut untuk Ava. Yang lebih buruk lagi, papanya jadi gila judi dan ibunya hanya bisa menangis dan pasrah dengan semua yang mereka hadapi.

Di hari pertama Ava menjadi anggota Rusun Nero, ia bertemu dengan P. Laki-laki yang dikiranya pengamen ini membantunya memakan ayam, mengantarnya bertemu dengan ibunya yang berada di tempat judi, serta membukakan kunci kamarnya yang belum bisa ia buka sendiri.

P adalah anak tanpa ibu yang tinggal di seberang kamarnya. Sama seperti dirinya yang tidak memiliki kamar dan tempat tidur, P hanya memiliki kardus lusuh sebagai tempat beristirahatnya. Ia hanya memiliki papa, tidak ada mama seperti Ava.

Dalam beberapa hari, kita akan diajak untuk melihat bagaimana yang anak-anak ini pikirkan dan rasakan dari setiap keputusan yang dibuat setiap orang dewasa di sekitar mereka, serta apa keputusan terakhir mereka untuk keresahan yang tanpa kita sadari mereka miliki.

Siapkah kita menjadi orang tua?

Setelah berpetualang dengan Ava dan P, saya kembali mempertanyakan satu hal, ‘siapkah kita?‘. Jawabannya adalah tidak. Kita tidak akan pernah benar-benar siap untuk suatu keadaan, sekalipun telah mempersiapkan hingga matang. Yang bisa kita lakukan hanyalah belajar.

“Tapi, kalau sayang, dia masih bisa belajar, kan? Seperti Mama. Dia masih bisa belajar jadi mama yang baik, kan?”
“Mungkin.”
“Kok, Mungkin?”
“Karena belajar jadi mama yang baik itu sulit, Ava. Jadi mama, jadi papa… dua-duanya susah.”(Di Tanah Lada, halaman 199)

Namun, seringnya kita menemukan orang tua yang abai akan tanggung jawab untuk terus belajar dan mengecap diri mereka sebagai pemain andal dalam kehidupan orang tua dan anak dengan alasan telah lebih lama melalui kehidupan.

Lingkungan kita

Pernahkah kita melihat suatu tindak kekerasan di lingkungan kita? Tapi yang kita lakukan apa? Hanya diam?

Hal ini tidak berlaku di Rusun Nero. Jujur, saya kaget ketika membaca adegan dimana Ava dan mamanya tengah disiksa oleh Papa Ava. Saya pikir, lingkungan yang kumuh ini adalah pendukung cerita untuk menambah siksaan yang dialami keduanya. Namun sebaliknya, warga rusun tidak segan-segan menggedor pintu, mendobrak, dan menyelamatkan. Bukan hanya Ava, tapi P juga sama. Ia mendapatkan akses khusus untuk ke atap jika papanya mengejar dia untuk menyiksanya.

Keadaan ini berbanding terbalik dengan yang saya temukan belakangan. Banyak dari kita enggan untuk mencampuri yang katanya urusan keluarga ini. Mau sebrutal apa pun yang dialami oleh sang korban, kita tetap tidak memedulikan apa yang dilakukan oleh pelaku. Sebaliknya, kita malah mengomentari hal-hal yang tidak memerlukan pendapat kita.

Sekolah dan kepintaran

“Aku nggak pintar.”
“Kamu nggak sekolah. Bukan nggak pintar.”(Di Tanah Lada, halaman 113)

Terasa tertampar? Oh jelas iya. Setelah ditampar dengan kata-kata ini, saya menyadari bahwa beberapa orang sering menghakimi bahwa anak-anak yang tidak sekolah tidaklah pintar. Padahal mereka hanya tidak sekolah (dan tidak memiliki kesempatan), bukan tidak pintar.

Pada novel ini, Ziggy menciptakan sosok P yang pintar beradaptasi dengan lingkungan dan menempatkan dirinya. Hal-hal yang nyatanya tidak pernah kita pelajari dari teori di sekolah.

Skeptis

‘Yang bikin Mas sedih soal kamu dan dia itu karena kalian berdua tumbuh jadi anak-anak yang skeptis.”
“Skeptis, maksudnya, kamu berhenti percaya kalau di dunia ini ada hal yang baik. Ada Papa yang baik, ada orang yang baik, ada nasib yang baik. Kamu berhenti percaya kalau kamu nggak perlu mati dan bereinkarnasi untuk bisa hidup bahagia.”(Di Tanah Lada, halaman 196-197)

Menurut saya, ini adalah tamparan ke dua. Sebagian dari kita sudah menjadi skeptis dan berhenti percaya dengan hal-hal baik yang ada. Tak jarang, hal-hal yang mengakar dalam diri kita ini juga ditularkan kepada orang lain.

Tapi, kita tidak benar-benar tahu apa yang dialami seseorang, kan?

Dalam novel ini, kita tidak mengetahui bagaimana Mas Alri tumbuh dalam keluarganya, sehingga ia dapat mengatakan hal itu kepada Ava dan P. Sementara apa yang dirasakan Ava dan P, serta apa yang mungkin dipikirkan keduanya tampak dalam cerita.

Haruskah membaca novel ini?

Dengan jujur saya jawab, iya! Bagi Anda yang tertarik untuk mengetahui bagaimana pola pikir si kecil Ava, siapa itu manusia yang hanya bernama P, dan bagaimana akhir dari pilihan Ava dan P pada akhirnya.

Saya tidak yakin kalau kalian akan kecewa dengan novel ini, karena ini adalah kali ke dua saya membaca karya Ziggy (sebelumnya saya membaca Jakarta sebelum Pagi). Cerita ini sukses membuat saya berpikir ulang dengan apa yang terjadi di lingkungan, serta menangis karena ketidakadilan dari penulis kepada Ava dan P. Namun pada akhirnya, seperti tokoh yang bernama Kak Suri di novel ini, mungkin akhir yang seperti ini lebih baik untuk keduanya.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Resensi Novel: Di Tanah Lada – Bercermin Lewat Cerita

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×