Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Seni dalam Sebuah Meme: Senjata Kritik ala Millenial

Apapun kejadiannya, semua dibungkus dalam meme. 

Alih-alih berdebat memberikan argumentasi paling valid, para kaum muda memilih cara elegan untuk mengkritik pemerintah dengan cara yang berkelas lengkap dengan sisi humor agar tidak terlalu kaku.

Menggunakan gambar yang sangat relavan dengan kehidupan sehari-hari, ditambah dengan teks sebagai pelengkap Meme hadir menjadi wadah mengeluarkan saran, kritik, argumentasi, dan sindirian.

Seiring dengan perkembangannya, meme yang tadinya hanya sekedar gambar lucu kini seolah menjadi gaya komunikasi baru dalam kehidupan sosial di masyarakat yang mengandung muatan politik.

Sebuah pengamatan setelah hasil tuntutan satu tahun untuk kasus penyerangan Novel Baswedan yang bagi masyarakat sangat lucu telah dikritik menggunakan banyak meme.

Fakta ini terlihat lucu sekaligus membuat banyak orang sadar ada yang salah dalam penanganan kasus tersebut. Tidak terima dengan keanehan yang terjadi, para pengguna internet pun mengkritiknya.

Gambaran meme tersebut tidak hanya mengkritik hasil putusan sidang Novel Baswedan tetapi juga mengkritik banyak hal seperti hukum di Indonesia yang kian hari semakin cacat. Bahkan untuk sekelas Novel Baswedan pun tidak mendapat keadilan.

Visual yang dipakai untuk digunakan sebagai meme merupakan gambar sederhana yang seolah-olah menjadikan masyarakat mengerti konteks apa yang sedang disampaikan.

Meme seolah hadir menawarkan wadah aman untuk berpendapat karena kreatornya sulit untuk terdeteksi. Penyebarannya yang begitu cepat pun penyebaran meme ini dilakukan ditempat kumpulan akun meme lalu disebarkan secara terus menerus meski beberapa kali dimodifikasi. 

Meme sebagai Senjata

Meme berkembang seiring dengan perkembangan internet pada tahun 90-an hingga memasuki awal 2000, meme menjadi konten digital yang viral. Mulailah berdiri situs kumpulan meme dengan gambar-gambar dan tulisan sederhana yang berbau politik.

Meme internet yang diedit ulang (mengalami mutasi) sangat banyak dan kembali disebarkan. Meskipun penyebaran meme yang kita ketahui berasal dari internet, Limor Shifman dalam bukunya yang berjudul Meme in Digital Culture (2013) menjelaskan bahwa meme sebenarnya adalah bagian dari masyarakat, bukan lahir dari internet.

Meme yang beredar di internet pada saat ini tidak hanya sekedar lucu, tetapi juga merupakan sebuah media komunikasi dalam menyampaikan pesan dan perspektif dengan cara yang sederhana dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari.

Sebuah gambar dapat menjadi bahan renungan dan cara untuk mengkritik, memprotes, dan menyatakan suatu informasi yang tidak bisa disampaikan secara gamblang oleh media di TV. Benjamin Burroughs, seorang guru besar kajian media Universitas Nevana menyampaikan pendapatnya terkait meme yang pada saat ini sudah bisa menjadi sarana yang berfungsi untuk mengkrespresikan ketidakadilan.

Hadirnya meme erat kaitannya dengan demokrasi digital dimana meme menjadi cara pengguna internet untuk berpendapat. Tidak ada batasan nyata ketika menggunakan meme sebagai cara berpendapat karena tidak akan menimbulkan ketakutan publik menyampaikan haknya untuk bersuara.

Cara berpendapat jika dibandingkan dengan demo yang tentunya sama-sama mengeluarkan kritikan sangat berbeda dengan meme. Massa yang digerakkan ketika akan memprotes sesuatu dan beberapa orang yang mengeluarkan pendapat untuk memengaruhi audience dapat ditangkap ataupun diamankan karena dianggap menjadi propokator. Ini tentu akan menjadi ketakutan tersendiri bagi publik.

Berbanding terbalik dengan meme yang disebarkan dari satu akun ke akun lainnya, ataupun dibuat dan disebarkan disebuah akun kumpulan meme ataupun anonim.           

Kasusnya nyata yang dapat kita lihat mengkritik kecacatan hukum secara terus terang adalah Bintang Emon yang menyuarakan pendapatnya melalui sosial media yang berkaitan dengan kasus Novel Baswedan.

Penyampaian yang khas dengan sisi humor sebagaimana profesinya yang merupakan seorang komika mendapat kecaman dari berbagai pihak, tidak hanya itu ia juga difitnah.

Demokrasi yang harusnya memberikan kebebasan untuk berpendapat kini berubah, seolah pemerintah saat ini sangat sensitif untuk dikritik bahkan ketika diselingi dengan candaan.            

Beberapa dari kita mungkin tidak menyadari bagaimana kekuatan meme dalam mengendalikan pikiran yang berisi pesan persuasif. Protes yang disampaikan dengan menggunakan meme tidak bisa dianggap sepele mengingat banyaknya orang yang menyukai meme.

Mengantisipasi dampak meme yang dapat ‘mengubah’ pemerintahan, Eropa bahkan mengeluarkan pasal 13 yang berisi pelarangan meme dengan memperketat sensor gambar guna memantau pengguna. Pelarangan ini juga dapat menghentikan pelanggaran hak cipta akibat penyebaran meme.

Pasal ini mendapatkan pro dan kontra mengingat betapa ketat peraturan mengenai meme tersebut. Hal ini menjadikan realitas nyata bahwa meme memiliki kekuatan nyata untuk mengubah sebuah pemerintahan.

Di Indonesia sendiri kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dikeluarkan dengan syarat tidak adanya penggaran terhadap UU ITE. Meme di internet dapat diibaratkan seperti virus yang menyebar dan dibagikan dengan sangat cepat, hal ini bisa terjadi karena tidak adanya filter atau dalam ilmu komunikasi disebut gatekeeper.

Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai penjaga gerbang namun makna sebenarnya dalam media adalah proses seleksi pesan atau filter. Di internet, kita bebas mengekspresikan pendapat, menyebarkan tanpa perlu diproses dengan ketat, inilah kemudahan yang ditawarkan oleh Media Sosial.

Adanya gatekeeper sangat dibutuhkan dalam mengawasi penyebaran pesan, namun dikarenakan pengguna media sosial yang dapat mengunggah sesuatu berdasarkan keinginannya menjadikan filter di media sosial sangat sulit.

Ini juga bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang dapat disampaikan secara lugas di media sosial. Fungsi fitur ‘laporkan’ dalam media sosial akan berfungsi efektif apabil pesan hoax tidak dibagikan dengan cepat.  Singkatnya, meme yang berisi hoax, meme yang berisi hoax dapat tersebar dan dipercaya oleh masyarakat.

Aksi mengungkapkan ketidakadilan atau menyuarakan sesuatu yang salah sedang terjadi lebih mudah dilakukan ketika di internet ketimbang berdemo. Media tentu paham ketika memberitakan sesuatu maka terdapat tahap filter berita, namun ketika berada di media sosial kita dengan kebebasan berekspresi mampu memposting sesuatu sesuai dengan keinginan.

Hal ini lah yang dikhawatirkan oleh pemerintah Eropa sehingga mengeluarkan pasal tentang meme. Pada saat ini bahkan ada ‘kategori’ meme aktivis yang menyampaikan pesan sederhana tentang isu-isu dengan menggunakan gambar yang relavan dengan kehidupan sehari-hari. 

Meme pada saat ini bukan hanya sekadar gambar berisi tulisan lucu, tetapi alat untuk mengungkapkan pesan berisi kritik, ekspresi, dan informasi kepada pengguna media sosial secara sederhana. Adanya gatekeeper sekalipun tidak bisa mencegah penyebaran dan pembagian meme. Kritik yang dibungkus dalam meme dan ditujukan kepada pihak tertentu lebih mudah menyebar ketimbang harus berdemo agar dilirik.

Alih-alih pemerintah yang memberikan kebebasan berpendapat, meme menawarkan sebuah pilihan untuk menghindar dari ketakutan untuk dibungkam. Meme memberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi sesuai dengan kreativitas tanpa batas, yang tentu dapat menarik perhatian untuk dibaca disebarkan meski tidak mengetahui identitas asli sang kreator.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Seni dalam Sebuah Meme: Senjata Kritik ala Millenial

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×