Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Apakah perempuan terlahir untuk dikotak-kotak-kan? atau ada yang salah dengan budaya kita?

Kita sering melihat tokoh-tokoh politik berkampanye menggunakan mobil berkeliling sambil sedikit melambaikan tangan, Atau mungkin berdiri didepan podium dengan pengeras suara diatasnya untuk menyampaikan janji dan visi misi (bukan foya-foya).

Apapun janji mereka tidak akan dibahas dalam tulisan kali ini, kita akan berbicara tentang siapa yang hadir sebagai pembicara saat kampanye atau pidato itu.

Faktanya kita lebih sering melihat bapak-bapak yang berdiri didepan sana untuk mengisi posisi sebagai pembicara. Kita juga lebih banyak mengenali Mas-mas atau Om-om yang menjadi  tokoh penting di Negeri ini. Ada yang aneh? Lebih banyak mereka yang berjenis kelamin pria. Ini Kebetulan atau keharusan?

Intinya ada dominasi gender dibudaya kita saat ini. Diluar dari pembahasan ras, suku, agama. Gender masih  dijadikan sebagai batasan dalam masyarakat kita. Budaya patriarki masih cukup kental walaupun sebenarnya masyarakat kita sudah masuk sangat dalam ke era globalisasi.

Akses untuk menyadarkan dan meluruskan paradigma bahwa bukan kaum pria saja yang lebih mampu dalam hal memimpin sebenarnya sudah banyak bertebaran dimana-mana. Dan yang harus diketahui bahwasannya kaum hawa bukan diciptkan hanya sebatas untuk mengurusi rumah, dapur, dan anak saja. Perempuan harus disetarakan, sama halnya dengan para pria.

Kita semua kenal denga nama besar Kartini, sosok yang teguh memerjuangkan hak-hak dan keadilan wanita. Ia menuntut Feminisme dan berjuang untuk menghilangkan pendapat bahwa wanita itu makhluk lemah yang tidak Bisa disejajarkan dengan pria. Beliau adalah sosok yang mengutarakan mimpinya agar seluruh perempuan bisa bebas untuk berekspresi, menyuarakan pendapat, menyalurkan bakat, serta mewujudkan ide-ide kreatifnya. Kemudian itu yang kita kenal dengan sebutan emansipasi wanita.

Tapi Tiap hari kita masih bisa merasakan bahwa budaya patriarki ini belum benar-benar selesai. Emansipasi yang diusahakan Kartini mungkin masih belum bisa menyadarkan setiap orang. Hanya segelintir orang yang paham tentang kesetaraan Gender.

Topik kesetaraan yang selalu dibawa oleh para tokoh politik sebagai bahan kampanye, yah hanya akan berakhir diatas podium itu saja kemudian ditutup dengan lautan tepuk tangan para pendukungnya. Tidak ada eksekusi yang tajam untuk mengatasi patriarki dan mengembangkan feminisme.

Buktinya sampai hari ini masih banyak yang mempermasalahkan perempuan berkarier atau perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Kalo gitu ceritanya bisa disandingkan dengan bubur diaduk atau tidak diaduk dong, btw gw sih makan bubur ga diaduk yah.

Anyways, anjloknya feminisme dalam masyarakat bisa dilihat dari bagaimana cara kita mengkotak-kotakkan perempuan. Saya terinspirasi dari seorang penulis artikel bernama Dea Safira disalah satu tulisanya yang berjudul “Tujuan dari orang suka membanding-bandingkan perempuan”. Dea menuliskan bahwa “Masyarakat tidak pernah mempertanyakan lelaki apakah memilih untuk menjadi bapak rumah tangga atau lelaki karier”.

Kita terlalu sibuk dengan segala sesuatu didunia ini. Sampai kita lupa untuk mengedukasi pendidikan feminisme. Apakah para siswa ada dibekali pemahaman tentang kesetaraan gender? Apakah para orang tua benar-benar paham tentang makna emansipasi wanita?.

Kita katakan lah bahwa setiap murid bisa ‘sudah diedukasi’ tentang feminisme dan emansipasi wanita, melalui seminar ataupun mungkin dalam bentuk materi pembelajaran dikelas. Para siswa telah mendapatkan edukasi yang dibutuhkan. Tetapi permasalahan muncul ketika mereka pulang kerumah. Apakah kedua orang tua bisa menanamkan hal yang sama seperti yang ditanamkan disekolah, atau mungkin malah menanamkan hal yang berlawanan.

“Perempuan itu harus bisa masak loh”, “jadi anak cewe itu ga boleh jorok”, “perempuan itu harus jaga makan, jangan sampai gendut”. Kata-kata seperti ini bisa disebut sebagai budaya patriarki, dan lebih sering dikatakan oleh orang-orang dilingkungan keluarga.

Lalu apakah mereka pernah mempemaslahkan anak cowo ga boleh jorok?, anak cowok harus jaga makan?, anak cowo harus bisa masak?.

Wanita selalu dituntut untuk harus bisa menjadi seperti ini dan itu, tetapi pria diberikan kebebasan. Dan sampai kapan ketidakadilan seperti ini akan terus berlansung.

Jika bukan kita yang menyudahi budaya patriarki ini, kita akan selalu terperosok dalam kelamnya dunia yang tidak seimbang. Kedepannya kita akan sangat sulit menemukan tokoh-tokoh perempuan yang hebat.

Menyudahi Ini Bukan Tentang Tugas pemerintah, bukan tentang tugas para pendidik, tetapi tugas kita semua. Tidak ada awal yang mudah, segala sesuatu bermula dari dipaksa menjadi terpaksa perlahan menjadi terbiasa kemudian menjadi budaya.

Mulailah dengan tidak mengkotakan dan memberi batasan terhadap perempuan, mulailah mengedukasi, mulailah dengan berani melawan rasisme terhadap gender.

Women Power and Feminisme


This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Apakah perempuan terlahir untuk dikotak-kotak-kan? atau ada yang salah dengan budaya kita?

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×