Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Yang Absur dan Yang Brengsek

Sidang pembaca Digstraksi yang budiman. Izinkan saya untuk ngoceh dengan seksama dengan tempo yang semurung-murungnya. Bagaimana tidak, sudah sembilan bulan, semenjak kasus pertama pandemi covid diumunkan di Indonesia, saya diajak masuk dalam perjalanan waktu yang terus melambat, di tengah percepatan pertumbuhan kasus positif Covid-19 yang terus melonjak. Saya merasakan keanehan dalam hidup, dan lagi-lagi masuk dalam suasana yang disebut Albert Camus sebagai “yang absurd”. Seolah tidak bisa lepas darinya, wabah Covid-19 justru mempersiapkan satu perjumpaan yang tragis dengan “yang absurd”.

Masa pandemi, karantina, isolasi, bagi saya adalah masa perang panjang yang kacau dan menegangkan. Saya merasakan waktu di kepala benar-benar berhenti. Saya tidak tau lagi sekarang hari apa, jam berapa, tanggal berapa. Saya serius, hampir selama sebulan penuh, selama masa karantina, saya selalu melakukan rutinitas yang sama. Saya tidur jam 6 pagi, lalu saya bangun jam 6 sore. Waktu bangun saya manfaatkan dengan aktifitas yang sama, yaitu: bangun, mandi, makan, main hp, baca berita, nelfon. Percayalah, Ini seperti kutukan hidup yang sungguh monoton.

Semuanya terlihat sama dalam kebingungan dan kekosongan hidup yang saling berbenturan pada dinding kamar saya. Saya merasakan satu patahan radikal dalam hidup. Saya dipaksa terputus dengan rutinitas yang sebelumnya saya jalani, dan harus menjalani karantina dan mematuhi peraturan protokol kesehatan agar virus bisa segera berakhir. Saya bisa pahami, demi memutus rantai penyebaran saya memiliki kewajiban untuk mentaati. Meskipun saya akan hidup dalam perasaan-perasaan aneh dan janggal karna harus mengisolasi diri dalam waktu yang lama. Saya harus beradaptasi, namun keanehan hidup yang saya rasakan tetap tak bisa saya bendung.

Satu bulan masa karantina saya lewati, dan tanpa penurunan kasus sedikitpun. Lalu kebijakan New Normal diumumkan. Dengan dalih penyelamatan ekonomi, masyarakat harus tetap beraktifitas namun dengan aturan tetap menerapkan protokol kesehatan. Cuci tangan, pakai masker, jaga jarak, dan itu terus berlaku hingga sekarang. Tak ingin berlama-lama “Dirumah aja”, saya juga memutuskan untuk kembali beraktifitas.

New normal sudah berlaku, namun ternyata pertumbuhan kasus masih terus bertambah. Negara tampak galau. Kebijakan demi kebijakan sudah diambil. Segala insentif sudah dikucurkan oleh pemerintah. Namun penyebaran kasus tak kunjung bisa diputus. Orang-orang mulai bertanya; kapan ini berakhir? Apa yang menyebabkan kasus terus bertumbuh? Kenapa kasus positif tak kunjung menurun?

Kehidupan bernegara mulai saling menyalahkan. Kebijakan pemerintah menuai kritik, debat dan kontroversi. Ada yang bilang pemerintah gagal, pemerintah lebih memperdulikan ekonomi ketimbang kesehatan. Ada juga yang mengatakan ini akibat dari masyarakat yang tidak disiplin. Suasana dan informasi publik juga diwarnai dengan hoax dan cuitan-cuitan konspiratif soal covid. Tamu Influencer dan buzzer yang diundang pemerintah terus mengicau seenak mulutnya di tengah kasus yang terus bertambah.

Lalu saya? Masih sama, merasakan hidup yang menjemukan. Saya merasakan suasana ini semakin kacau. Kasus yang dari semula hanya terpusat pada kota-kota besar, sekarang terus menyebar hingga kedaerah dan pelosok-pelosok negri. Segala sarana produksi lumpuh, ancaman resesi ekonomi di depan mata, dan kabarnya banyak masyarakat yang di PHK. Sulit bagi saya untuk tetap optimis, apalagi melihat tenaga medis yang begitu kewalahan, dan rumah sakit terancam penuh karna ledakan kasus.

Berita kematian demi kematian terus diumumkan. Jika ini perang, bagi saya ini perang yang mengerikan. Saya merasakan kehidupan luluh lantak akibat ledakan bom virus corona yang tengah menyerang manusia. Jika ini hidup, bagi saya ini kehidupan yang sungguh absurd. Kehidupan sebagaimana yang dirasakan oleh Vladimir dan Estragon dalam lakon drama Samuel Beckett yang menunggu Godot untuk datang menyelamatkan kehidupan. Jangan salah, mereka menunggu sepanjang hidupnya. Tak ada Godot yang datang, tak ada juru selamat dan hidup nyaris berjalan dengan sia-sia.

Covid-19 membuat saya menyadari lagi absurditas dalam hidup yang sebenarnya sudah sangat absurd. Saya menyadari absurditas telah menggerogoti hidup dan diam-diam mengajak saya masuk dalam ketidakbermaknaan. Melihat manusia saling menyalahkan, egois, tidak peduli satu sama lain, mementingkan diri sendiri, dan tidak peduli atas kesehatan yang lain. Melihat para penguasa ribut perkara politik, mementingkan diri sendiri dan kelompok pendukung, sehingga abai kepada kesehatan lingkungan dan masyarakat, menjadi pemandangan sehari-hari yang bagi saya sungguh menjemukan.

Kondisi kejemuan yang saya alami menjadi semacam realitas yang tidak bisa disangkal. Lalu siapa yang harus disalahkan? Jika kenyataan hari ini sudah begitu absurd, tidak ada lagi yang perlu disalahkan. Sebab menerima absurditas berarti menerima bahwa hidup memang sudah tidak bermakna apapun lagi.Tak perlu ada nilai dalam kehidupan, karna memang kehidupan itu tak bernilai apapun. Ironi memang, namun absurditas sebagai satu fakta secara nyata telah hadir dalam kesadaran reflektif saya sebagai manusia .

Saya tidak tau kapan wabah ini selesai, para ahli mengatakan satu-satunya harapan hanya vaksin, dan vaksin masih dalam tahap uji coba dan butuh waktu yang cukup lama. Jika ditemukan, itupun tidak akan menjamin manusia bisa terbebas dari virus. Begitu banyak virus yang tersebar menunggu aktif untuk kemudian menggerogoti manusia kembali. Jika kehidupan ini benar-benar sia-sia sebagaimana yang dikatakan Camus dan yang saya, atau mungkin anda semua rasakan, lalu pada apalagi kita bisa berpegang?

Memikirkan itu semua, membuat saya semakin gelisah. Sialnya, pikiran saya, untuk kesekian kalinya, tiba-tiba terdorong lagi untuk mencari jawaban pada bukunya Albert Camus yang berjudul Mite Sisifus. Saya tidak tau kenapa harus buku Camus? Kenapa tidak kitab suci atau buku ajaran untuk hidup bahagia dan tentram? Kenapa saya harus berjumpa lagi dengan buku yang sudah jelas membuat saya tambah pesimis melihat hidup. Sebuah buku yang membuat saya tidak bisa berhenti untuk memikirkan kematian? Entahlah, saya tidak tau. Saya kira ini adalah wujud dan bukti dari brengsek bin menariknya buku ini.

Buku sudah saya buka, dengan penuh hati-hati, heran, tegang dan gelisah, saya berjempa dengan Sisifus di kaki bukit. Sisifus masih dikutuk dengan cara yang sama. Ia masih mengangkat batu ke puncak bukit, lalu batu menggelinding lagi kebawah dan Sisifus mengangkatnya lagi ke atas. Hal Itu ia kerjakan secara terus berulang dan nyaris abadi. Tidak ada yang berubah dari Sisifus. Ia masih Sisifus yang sama ketika saya membaca buku itu lima tahun yang lalu. kehidupanya yang sia-sia, tidak bermakna, ironi, dan kita haruslah membayangkan dia selalu hidup dengan bahagia.

Kebahagian menjadi harapan yang penuh ilusi. Sebab saya tau bahwa menjadi Sisifus tidaklah menyenangkan, menjalani hidup dalam absurditas sungguhlah menyakitkan. Namun Camus tetap mengatakan “Haruslah dibayangkan Sisifus bahagia”. Kata-kata fenomenal dari Camus ini begitu menjengkelkan. Sebab bagi Camus, absurditas adalah kenyataan yang mutlak dan tidak dapat dibantah. Dalam keadaan apapun, layaknya Sisifus, kesadaran hidup akan pandemi Covid telah menyempurnakan perasaan saya yang terasing, kosong, sia-sia, dan hidup dengan tidak bermakna.

Dari segala kejemuan tentang hidup, bukankah “Yang Absurd” harusnya mampu membawa saya pada kesadaran? Kalau saya berangkat melalui pikiran Camus, harusnya kesadaran akan yang absurd, yang kosong, dan yang tidak bermakna saya lalui dengan perasaan tidak murung dan jemu. Kenapa begitu? Sebab bagi Camus, kesadaran akan “yang absurd” haruslah membuat manusia memilih untuk berontak pada keadaan. Berontak, dalam artian bukanlah menciptakan suasana yang lebih kacau, melainkan melakukan pergulatan eksistensi. Saya ikuti saran Camus, saya jalani semacam pergulatan yang menegangkan dalam hidup.

Saya bergulat dengan menyangkal eksistensi yang telah ditetapkan dengan menciptakan banyak ilusi-ilusi pemaknaan atas hidup. Seperti sisifus, saya juga harus membayangkan bahwa hidup ini bahagia. Saya harus menolong orang lain, berbuat baik dan hidup membawa bahagia dengan harapan bahwa saya akan juga bahagia karna itu.

Saya harus tetap hidup dengan keyakinan bahwa Covid akan segera berakhir. Saya harus senantiasa sadar dan optimis dalam kehidupan yan menjemukan ini. Saya harus tetap mengikuti protokol kesehatan, sebab saya harus yakin bahwa tindakan ini bisa memutus rantai penyebarannya. Saya harus tetap menunggu vaksin ditemukan sebagai penyelamat manusia dari wabah. Dengan sabar dan teguh saya akan menunggu, seteguh keyakinan Didi dan Estragon yang menunggu godot  akan datang sebagai sang juru selamat bagi kehidupan mereka.

Lalu apakah harapan, keyakinan, dan ilusi kesadaran ini akan menyelamatkan saya dari absurditas? Wattepaaaaak, ternyata tidak!!! sebab setelah badai yang satu berlalu, “yang absurd” akan selalu ada dan senantiasa mengiringi saya atau barangkali anda, dalam setiap kehidupan dan kesadaran saya sebagai  manusia. Brengsek bukan? Itulah absurditas. Ah, udahlah….



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Yang Absur dan Yang Brengsek

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×