Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Di Ujung Lorong Rumah Sakit

Detak jarum jam berdetak normal, namun tidak bagi pria Paruh Baya Itu. Baginya, waktu terasa begitu panjang; sedetik terasa setahun, semenit terasa seabad. Pria yang sudah banyak beruban itu kelihatan gelisah.

Ia menghentak-hentakkan kakinya tak henti, tangannya tercengkeram erat. Ia terduduk sendirian di depan ruang bertuliskan “Unit Gawat Darurat”, menunggu datangnya kabar baik keluar dari pintu tersebut. Ia menunggu keajaiban.

Masih teringat jelas keputusan-keputusannya di masa lalu, yang membuat anak semata wayangnya harus menderita di dalam ruangan itu. Semuanya dimulai ketika ia tidak lagi memiliki uang untuk membiayai terapi anaknya. Seorang saudara jauh kemudian menawarkan pilihan pengobatan lain yang jauh lebih murah.

“Coba pengobatan alternatif saja sama ‘orang pintar’. Itu lebih manjur daripada ke rumah sakit. Dulu, temannya temanku pernah berobat di situ dan langsung sembuh, lho. Dijamin anakmu cepat baikan, deh!” ujar saudara jauh itu.

Karena tidak merasa punya pilihan lain–ditambah persuasi saudara jauhnya yang sangat meyakinkan–ia pun mencoba untuk datang ke “orang pintar” yang disanjung-sanjung itu dengan harapan akan bisa melihat anaknya sehat kembali. Meski begitu, masih ada sedikit keraguan di dalam hatinya.

“Wow! Aku sungguh tidak percaya!” seru Pria Paruh Baya itu.

Kata-kata tersebut keluar tidak sampai seminggu setelah anaknya menjalani pengobatan alternatif. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana anaknya dapat membaik hanya dalam hitungan hari. Benih-benih keraguan yang sebelumnya ada di hatinya itu pun kini musnah tak bersisa.

Maka, ia membawa lagi anaknya untuk diobati oleh “orang pintar” tersebut. Lagi dan lagi, terus menerus, mengabaikan jadwal terapi yang seharusnya dilakukan anaknya secara rutin. Meski dokter telah memperingatkannya berkali-kali, Pria Paruh baya itu tetap tidak mengindahinya.

Ia kini sepenuhnya percaya dengan “orang pintar” tersebut dan kesaktiannya. Ia juga menafikan keabsahan teknologi medis modern dan menganggapnya hanya akal-akalan elit dunia untuk dapat memeras masyarakat.

“Seharusnya aku sudah melakukan ini dari dulu! Buat apa selama ini aku percaya dengan dokter-dokter itu?” batin pria paruh baya itu, menyesal karena baru tahu pengobatan semanjur ini setelah sekian lama.

Tapi kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Setelah beberapa waktu melakukan pengobatan alternatif, kondisi kesehatan anaknya kembali memburuk. Malah bukan kembali, namun semakin jauh memburuk ketimbang sebelum dibawa ke “orang pintar”. Pria paruh baya itu semakin gelisah; dibawalah anaknya ke “orang pintar” tersebut.

Nahas, setelah dicoba diobati berkali-kali, kondisi anaknya tidak kunjung membaik. Pria paruh baya itu tentu menuntut “orang pintar” tersebut untuk menyembuhkan anaknya, namun “orang pintar” tersebut malah menghardik dan mengusirnya.

“Kondisi anaknya memburuk bukan karena salahku, tapi karena dia diam-diam melakukan perjanjian dengan iblis! Kesaktianku tidak mungkin gagal menyembuhkan siapa pun. Pergi kau dari sini!” jerit “orang pintar” tersebut.

Dengan penyesalan yang tidak bisa diukur, pria paruh baya itu kemudian linglung. Ia tidak tahu harus membawa anaknya ke mana lagi. Sementara itu, kondisi anaknya semakin lama semakin kritis. Pada akhirnya, satu-satunya solusi yang muncul di benaknya adalah membawa si anak ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang layak.

***

Detak jarum jam masih berdetak normal, namun tentu tidak bagi pria paruh baya itu. Ia tidak tahu sudah berapa jam ia terduduk gelisah di ujung lorong rumah sakit. Yang ada di benaknya saat ini adalah kesembuhan anaknya. Hanya itu yang ia pedulikan.

Hening. Seisi lorong rumah sakit hening; hanya terdengar hentakkan kaki pria paruh baya itu, yang semakin lama semakin samar hingga tak terdengar ini. Suara pintu yang terbukalah yang memecah keheningan itu. Seorang dokter dengan pakaian operasi keluar dari ruangan Unit Gawat Darurat dengan keringat yang mengucur deras.

“Dok, bagaimana kondisi anak saya saat ini!? Anak saya baik-baik saja, ‘kan?” Tanpa ba-bi-bu, pria paruh baya itu langsung menanyakan kondisi anaknya. Hanya itu yang ingin ia tanyakan saat ini.

Sang dokter mengembuskan napas, napas yang amat panjang. “Kami sudah melakukan yang terbaik dari apa yang bisa kami lakukan …”

Kalimatnya terhenti. Jantung pria paruh baya itu berdetak tak karuan. Amat sangat takut dengan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.

“Untungnya anak Anda dapat terselamatkan,” lanjut sang dokter.

Pria paruh baya itu tertekuk lututnya. Ia menangis sejadi-jadinya; menangis bahagia.

Detik itu juga, ia berjanji tidak akan percaya lagi dengan pengobatan antah berantah tanpa basis apa-apa. Ia akan mempercayakan pengobatan anaknya pada ilmu kedokteran modern yang berbasis sains dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ia berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama.



This post first appeared on Digstraksi, please read the originial post: here

Share the post

Di Ujung Lorong Rumah Sakit

×

Subscribe to Digstraksi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×