Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Blog dan Kebebasan Berekspresi

Sejak tulisan komika Muhadkly MT alias Acho bertajuk “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” yang dipublikasikan pada 8 Maret 2015 di blog pribadinya (muhadkly.com) heboh dan dituding telah mencemarkan nama baik, saya penasaran. Berkali-kali saya coba melacaknya, tetapi tak bisa diakses. Saya makin penasaran sebelum akhirnya menemukan tautan postingan yang menghebohkan itu di sini.

Akibat tulisannya itu, Acho harus berhadapan dengan proses hukum. Bahkan, Acho telah resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus Pencemaran Nama Baik Apartemen Green Pramuka City. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, sebagaimana dilansir banyak media pada Minggu (6/8/2017), Acho dilaporkan karena tulisannya dinilai merugikan pengelola apartemen. Tersangka memosting tulisan dan/atau gambar yang bermuatan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Apartemen Green Pramuka.

Terkait dengan kasus tersebut, saya mencoba untuk menafsirkan isi dan bahasa yang digunakan dalam tulisan Acho, terutama dari sudut pandang pragmatik.

Menyatakan Pendapat di Ruang Publik
Blog (weblog) merupakan bentuk aplikasi web yang berbentuk tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urutan terbalik (isi terbaru dahulu sebelum diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Dari sisi ini, siapa pun berhak memiliki sebuah blog sebagai media berekspresi dan menyatakan pendapat di ruang publik. Demikian juga halnya dengan Acho, ia pun berhak untuk menyatakan pendapat di ruang publik melalui blog pribadinya (muhadkly.com). Tujuannya? Agar pendapat, perasaan, keluhan, atau kritikan yang ia tulis terbaca dan dipahami orang lain. Syukur-syukur mendapatkan respon positif dari pembaca.

Sebagai konsumen yang sudah dua tahun membeli dan tinggal di Apartemen Green Pramuka City, Acho berhak menuturkan pengalamannya selama menjadi penghuni apartemen, termasuk menyampaikan kekurangan yang ia rasakan. Oleh karena itu, ia mengawali tulisannya dengan paragraf berikut ini.

“Waspadalah sebelum membeli Apartemen Green Pramuka City. Ya, saya hanya ingin Anda waspada, bukan melarang Anda beli. Mohon jangan salah paham. Tulisan ini hanya bermaksud menceritakan pengalaman Saya tinggal di Apartemen Green Pramuka City, tanpa bermaksud ingin menghina atau menuduh pihak manapun. Semua yang saya sampaikan di sini adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sekitar 2 tahun yang lalu (09 Feb 2013), saya membeli sebuah unit di apartemen green pramuka city, jakarta pusat. Yang menarik saat itu adalah, di brosur dan websitenya tertulis bahwa nantinya apartemen ini akan berkonsep green living, dimana 80 persennya adalah halaman terbuka. Wow, menarik bukan? Ternyata saya harus menelan rasa kecewa, karena saat ini, apartemen green pramuka city sedang membangun 17 tower di atas lahan tersebut. Jadi, ke mana nanti perginya 80% area terbuka alias green living yang mereka janjikan seluas puluhan hektar tersebut? Entahlah, ini Kekecewaan pertama yang saya rasakan. Mimpi saya tinggal di apartemen yang punya halaman hijau 10 Ha, harus saya kubur dalam-dalam.”

Selain kecewa karena tidak adanya 80% area terbuka alias green living sebagaimana yang dijanjikan produsen dalam brosur atau website, Acho juga menyampaikan empat keluhan yang lain.

Pertama, soal sertifikat yang tak kunjung diterima olehnya dan para penghuni lainnya. Padahal, pengelola menjanjikan sertifikat akan diberikan setelah dua tahun oleh para penghuni tower apartemen pertama. Faktanya, sudah lebih dari waktu yang dijanjikan, sertifikat tak kunjung diserahkan.

Kedua, sistem perparkiran di Apartemen Green Pramuka City yang dinilai merugikan penghuni apartemen. Mereka dibebani tarif parkir mobil hingga Rp 200.000 per bulan dan hanya boleh parkir di basement 2. Jika berani parkir di area lainnya, maka akan dikenakan lagi biaya parkir regular yang perjamnya Rp 3.000 pada jam tertentu.

Ketiga, berkaitan dengan iuran pengelolaan lingkungan (IPL). Dalam tulisannya, Acho mengkritik pihak pengelola Green Pramuka City yang menaikkan biaya IPL hingga 43 persen menjadi Rp 14.850 per meter persegi dari sebelumnya Rp 9.500 per meter persegi. Itu artinya, Acho mesti membayarkan biaya IPL sebesar Rp 490.050 per bulan.

Keempat, adanya biaya untuk melakukan renovasi terhadap unit apartemennya. Ketika seseorang membeli unit apartemen pastinya hanya mendapatkan unit kosong dan sebuah kamar mandi saja. Menurut Acho, tak salah jika dirinya sebagai penghuni ingin melakukan fitting out atau renovasi seperti memasang pendingan ruang, peralatan dapur, TV, dan wallpaper.

Adakah Unsur Pencemaran Nama Baik?
Dari aspek content (isi), berkali-kali saya membaca dan mencoba menafsirkan maksud tulisan Acho. Saya tidak menemukan isi tulisan yang memenuhi unsur untuk diperkarakan secara hukum yang terkait dengan pencemaran nama baik, apalagi memfitnah. Setiap keluhan dan/atau kekecewaan disertai dengan fakta dan bukti berupa gambar atau screenshot sebagaimana ia sampaikan ada bagian awal tulisan. Acho dengan iktikad baik bermaksud untuk menyampaikan pengalamannya agar mendapatkan respon dari produsen. Secara tersurat, Acho pun dengan jelas menyampaikan sebuah pesan kepada calon konsumen agar waspada sebelum membeli Apartemen Green Pramuka City. Dia tidak melarang siapa pun untuk membeli apartemen di kawasan itu.

“Mohon jangan salah paham. Tulisan ini hanya bermaksud menceritakan pengalaman Saya tinggal di Apartemen Green Pramuka City, tanpa bermaksud ingin menghina atau menuduh pihak manapun. Semua yang saya sampaikan di sini adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan,” tulis Acho.

Sebagai konsumen, ia pun memiliki hak sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-­Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa:
Hak konsumen adalah:

  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-­hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan lainnya.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, saya kira Acho –mohon dikoreksi oleh pakar hukum kalau salah—juga tidak melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana tertuang dalam pasal 27 (ayat 3) bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sebagai konsumen yang sudah dua tahun membeli dan menghuni apartemen, Acho memiliki hak untuk menyampaikan pengalamannya yang dengan sengaja didistribusikan dan/atau ditransmisikan dan/atau dibuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik melalui tulisan di blog pribadinya. Tidak ada tuturan dalam bentuk kata-kata yang bernada hujatan, hinaan, fitnah, atau ujaran kebencian yang mengarah pada pencemaran nama baik seseorang. Yang ia sampaikan adalah memaparkan pengalaman selama menjadi penghuni apartemen yang dianggap merugikan konsumen dengan menyajikan fakta yang sebenarnya terjadi.

Berdasarkan sudut pandang pragmatik, isi tulisan Acho bisa digolongkan sebagai  tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ini berkaitan dengan pertanyaan mendasar sebelum tururan itu disampaikan, yaitu “untuk apakah tuturan itu dilakukan?” dan bukan “apakah makna tuturan yang diucapkan itu?” Tindakan ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan.

Poin yang ingin disampaikan Acho dalam tulisannya di blog pribadinya itu sesungguhnya berawal dari pertanyaan “untuk apakah tuturan itu dilakukan?” dalam konteks “kepada siapa, kapan, dan di mana” tulisan itu ditujukan.

Ya, Acho dengan sengaja mengungkapkan pengalamannya selama menjadi penghuni apartemen untuk mendapatkan perhatian selayaknya. Dalam tulisan itu konteks “kepada siapa” berkaitan dengan: (1) calon konsumen agar waspada jika ingin membeli Apartemen di Green Pramuka City karena berdasarkan pengalaman Acho selama dua tahun menjadi pembeli dan penghuni apartemen, pihak produsen belum sepenuhnya memenuhi janji sebagaimana yang dipromosikan melalui brosur dan website; (2) pihak produsen agar memperhatikan dan merespon keluhan konsumen yang dianggap belum memenuhi janji sebagaimana yang dipromosikan melalui brosur dan website. Sedangkan, konteks “kapan dan di mana” sudah sangat jelas tersurat dalam tulisan Acho, “sekitar 2 tahun yang lalu (09 Feb 2013), saya membeli sebuah unit di apartemen green pramuka city, jakarta pusat” (ejaan sengaja tidak saya sunting).

Tulisan Acho bertajuk “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” yang dipublikasikan pada 8 Maret 2015 di blog pribadinya (muhadkly.com) sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan umum, khususnya bagi calon konsumen dan produsen sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi janji-janjinya. Berdasarkan analisis content (isi), tulisan tersebut didasarkan pada fakta dan pengalaman sebagai konsumen yang selama dua tahun menjadi penghuni apartemen disertai dengan bukti berupa gambar atau screenshot yang terkait dengan keluhannya sebagai konsumen.

Berdasarkan sudut pandang pragmatik, isi tulisan Acho bisa digolongkan sebagai  tindak tutur ilokusi agar tulisannya mendapatkan perhatian bagi calon konsumen dan produsen yang dipandang penting untuk disuarakan kepada publik. Kata-kata atau tuturan yang digunakan juga tidak ada yang memenuhi unsur fitnah, hujatan, atau ujaran kebencian.

Karena sudah masuk ranah hukum, kita perlu menghormati dan menghargai proses yang sedang berjalan. Kita berharap, pengadilan menjadi tempat yang paling tepat untuk mendapatkan keadilan. Meskipun demikian, kita juga sangat berharap, konsumen yang memiliki iktikad baik untuk menyuarakan kepentingan umum kepada produsen tidak terancam kebebasannya dalam berekspresi di muka umum (termasuk di blog), kemudian dijerat dan ditafsirkan melalui pasal pencemaran nama baik yang berujung pada situasi disharmonis antara konsumen dan produsen. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

Blog dan Kebebasan Berekspresi

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×