Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Malam Ramadhan yang Syahdu

Malam yang syahdu. Rokib benar-benar total menikmatinya. Lelaki jebolan pondok pesantren salaf yang hafal Qur’an itu bisa dengan khusyu’ berjamaah shalat Isya’ dan tarawih dengan kepasrahan yang (nyaris) sempurna kepada Sang Khalik. Hal ini tak lepas dari peran sang imam, Kyai Sirojudin. Lelaki separuh baya itu tetap menjaga lafal dan gerakan shalat dengan baik agar tidak mengganggu kekhusyukan jamaah.

Usai tarawih, Rokib yang hafal Qur’an itu tidak lantas pamer suaranya yang fasih di dekat microphone, tetapi justru memberikan kesempatan kepada tetangganya yang ingin membaca Qur’an. Sudah cukup baginya menyimak sambil sesekali membetulkan bacaan yang salah tanpa teks. Jamaah pun enggan meninggalkan masjid sebelum tadarus usai. Semuanya bersikap takzim menyimak lantunan ayat-ayat Qur’an yang menggema hingga pukul 21.00. Masjid yang kokoh berdiri di jantung perkampungan itu bagai berselimutkan jubah Malaikat dari tujuh pintu langit yang teduh. Tak ada ujaran kebencian berbau rasis, apalagi teriakan verbal beraroma fasis dari mulut anak-anak.

“Kang Rokib sudah tamat mondoknya?” tanya Lik Kadirin, tetangganya, sambil lesehan santai di serambi.

“Alhamdulillah, Lik. Tapi tamat mondok itu hanya soal administrasi. Mondok, ngaji, dan belajar tetap harus!” sahut Rokib sambil tersenyum.

“Wah, ini yang saya suka dari anak muda yang punya pandangan luas!” seloroh Pak Munir tiba-tiba. Rokib dan Lik Kadirin menoleh serentak ke arah guru Agama SMP itu.

“Oh, Pak Ustadz. Sejak tadi nguping obrolan kami, ya?” canda Lik Kadirin. Pak Munir tersenyum.

“Ah, ndak juga. Hanya kuping saya mungkin yang terlalu peka, hahahaha….. Mau pulang kok tiba-tiba mendengar obrolan yang menarik!”

“Maaf, Pak Ustadz, memang bagian mana yang menarik?” tanya Rokib penasaran.

“Itu tadi pendapat Mas Rokib tentang soal mondok, ngaji, dan belajar!” sahut Pak Munir. Rokib dan Lik Kadirin saling bertatapan. “Maklum, saat ini tidak sedikit orang yang merasa dirinya berilmu tapi tidak jelas sanad-nya. Hanya baca internet dan buku terjemahan, mereka menganggap dirinya sebagai orang berilmu sehingga gampang mengkafirkan orang lain yang beda pandangan!” lanjut Pak Munir.

“Benar juga, Pak Ustadz, misalnya ada seorang mantan artis yang salah menafsirkan bahasa perbandingan seorang kyai bahwa menonton film porno itu lebih baik daripada mendengarkan ceramah provokatif, hahaha …,” sergah Rokib.

“Itu dia, Mas. Sebagian orang menafsirkan maksud Pak Kyai, emmm, maksudnya Kyai Said Aqil Siroj toh,” Rokib mengangguk. “Tanpa melihat konteks. Saya kira, baik menonton film porno maupun ceramah provokatif yang mengandung ujaran kebencian dan permusuhan itu sama-sama tidak baik. Tapi dari dua hal yang tidak baik itu, menonton film porno itu jauh lebih baik. Tahu kenapa?” sambung Pak Munir balik bertanya.

“Memang kenapa Pak Ustadz?” sahut Lik Kadirin bertanya dengan mata membelalak.

“Hem… Orang berilmu kalau berbicara di depan banyak orang itu sebisa mungkin menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami. Ini berkaitan dengan perkataan Pak Kyai Said tadi. Saya kira perbandingan yang digunakannya sangat tepat untuk menyikapi situasi Indonesia yang belakangan ini dipenuhi dengan ujaran kebencian dan permusuhan lewat berbagai forum ceramah. Dampaknya luar biasa! Banyak orang yang mudah terprovokasi dan terhasut sampai-sampai anak kecil pun ikut-ikutan teriak penuh kebencian terhadap seorang nonmuslim, yang justru sangat bertentangan dengan akhlak generasi muslim! Nah, kalau menonton film pornografi dampaknya hanya dirasakan oleh yang bersangkutan. Saya yakin Kyai Agil tak pernah punya maksud untuk menghalalkan pornografi!”

“Oh, gitu ya Pak Ustadz!” sahut Kang Kadirin. Pak Munir mengangguk tersenyum.

“Alhamdulillah, dapat pencerahan dari Pak Ustadz. Seandainya semua guru Agama berpandangan demikian, mungkin anak-anak di negeri ini akan bersikap toleran, tidak seperti sekarang ini. Saya sedih ketika mendengar pernyataan Pak Yai Sholahuddin Wahid bahwa pendidikan saat ini menjadi salah satu penyebab munculnya bibit radikalisme. Bahkan, menurut penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta beberapa waktu yang lalu, sekitar 78% setuju terhadap pemerintah berdasarkan syariat Islam. Bukankah ini jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945? Bagaimana nasib masa depan negeri ini kalau guru Agama yang seharusnya ikut berperan serta dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan justru bersikap intoleran?”

“Haha… Saya tidak termasuk loh, Mas. Alhamdulillah, saya dulu juga pernah mondok. Nilai-nilai keislaman dan kebangsaan ditanamkan begitu kokoh, menjadi dasar berkewarganegaraan sehingga bisa hidup toleran dan harmonis di tengah-tengah perbedaan. Bukankah cinta tanah air merupakan bagian dari iman?”

“Betul sekali, Pak Ustadz. Itu juga yang saya alami waktu di pondok. Pak Yai panutan kami senantiasa menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bukan doktrin radikalisme yang sarat dengan kebencian dan permusuhan,” sahut Rokib.

“Wah, tanpa terasa lumayan juga kita ngobrolnya. Maaf, saya mau pamit pulang dulu, ya? Assalamu ‘alaikum …,” seloroh Pak Munir.

“Wa’alaikum salam …,” jawab Rokib dan Lik Kadirin serentak.

“Saya juga pamit dulu ya Lik. Kita sambung obrolan kita lain waktu!”

“Baik Mas Rokib, saya juga mau pulang!”

Malam makin sunyi dan syahdu, kian tenggelam dalam suasana tafakur. Semesta dan seisinya seperti tengah bermunajad; menghimpun berkah Ramadhan untuk menghadapi berbagai kecamuk duniawi yang makin abai terhadap nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

Malam Ramadhan yang Syahdu

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×