Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Pembelajaran Apresiasi Puisi dan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia

Berbeda dengan Kurikulum 2013 (K-13) edisi sebelumnya, K-13 Edisi Revisi agaknya sudah melirik teks Puisi sebagai salah satu genre teks sastra yang perlu disajikan kepada peserta didik. Kebijakan penyusun kurikulum yang telah mengakomodasi masuknya pembelajaran apresiasi puisi jelas perlu diapresiasi setelah pada K-13 edisi sebelumnya benar-benar “terkubur”.

Dengan coraknya yang khas; padat, bernas, dan ringkas, puisi mampu memberikan “ledakan” dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Puisi menjadi sebuah genre sastra yang elok dibacakan dalam berbagai situasi. Ia sangat membumi dan merakyat. Tanpa harus menyebutnya sebagai sebuah puisi, rakyat yang tinggal di pelosok dusun sekalipun bisa “terhipnotis” ketika larik-larik puisi dibacakan secara ekpresif dan penuh penghayatan. Puisi mampu menghanyutkan imaji hingga ke sebuah negeri yang tak teraba oleh indera manusia. Bahkan, puisi juga mampu mengokohkan ikatan nilai-nilai “primordial” dan emosional tertentu dalam gendang nurani pendengarnya.

Itulah sebabnya, sekali lagi, terakomodasinya pembelajaran apresiasi puisi dalam kurikulum pendidikan perlu diapresiasi sebagai wujud “kemauan politik” untuk melahirkan generasi masa depan yang memiliki sikap responsif, beradab, dan berbudaya. Pada jenjang SMP, misalnya, setidaknya ada proses internalisasi puisi rakyat yang selama ini “nyaris” sudah mulai disingkirkan. Puisi-puisi “kontemporer” pun mendapatkan porsi yang cukup “terhormat”; mulai proses pengenalan struktur lahir dan batin puisi, hingga proses berkreasi dan mencipta, sebagaimana tampak pada tabel berikut:

Kelas VII

3.13 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar 4.13 Menyimpulkan isi puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang disajikan dalam bentuk tulis dan lisan
3.14 Menelaah struktur dan kebahasaan puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar 4.14 Menelaah struktur dan kebahasaan puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar

Kelas VIII

3.7. Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun teks puisi yang diperdengarkan atau dibaca 4.7 Menyimpulkan unsur-unsur pembangun dan makna teks puisi yang diperdengarkan atau dibaca
3.8 Menelaah unsur-unsur pembangun teks puisi (perjuangan, lingkungan hidup, kondisi sosial, dan lain-lain) yang diperdengarkan atau dibaca 4.8 Menyajikan gagasan, perasaan, dan pendapat dalam bentuk teks puisi secara tulis/lisan dengan memperhatikan unsur-unsur pembangun puisi

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra (baca: puisi) dalam dunia pendidikan ketika kurikulum pendidikan kita sudah cukup akomodatif terhadap pembelajaran apresiasi puisi? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Puisi bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Puisi lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi puisi berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi puisi semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri puisi dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Puisi pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Puisi bisa menjadi “bukti sejarah” yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks puisi tak pernah terlepas dari konteks sosial-budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, teks puisi akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks puisi tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang penyair terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks puisi yang “liar”, unik, dan mencengangkan.

Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks puisi memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks puisi, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks puisi juga mampu memberikan “gizi batin” yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan “kemiskinan” nurani. Tek puisi juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap puisi, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Kurikulum pendidikan pun kini sudah amat akomodatif dan “bersahabat” dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Persoalannya selanjutnya, sudah benar-benar dalam kondisi siapkah para Guru Bahasa menyajikan pembelajaran apresiasi puisi kepada siswa didik? Sanggupkah para guru bahasa kita memikul peran ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? Mampukah para guru bahasa kita memberikan bekal yang cukup memadai kepada anak-anak negeri ini dalam menyimak, mewicara, membaca, dan menulis puisi? Hal ini penting dikemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian materi bahasa dan sastra. Guru bahasa dengan sendirinya harus menjadi guru sastra.

Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk “berlayar” menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun, secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan membosankan.

Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra, termasuk puisi, sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya.

Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.

Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa.

Dalam situasi demikian, guru bahasa menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pembelajaran apresiasi sastra (puisi) diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, inspiratif, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra (puisi) disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

Pembelajaran Apresiasi Puisi dan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×