Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kang Badrun, Gawai, dan Nilai Sosial yang Terluka

Sejak beli gawai baru, Kang Badrun tenggelam dalam keriuhan massa di jejaring sosial. Nada pemberitahuan (nyaris) meluncur tiap detik. Dengan gerakan yang mulai terlatih, jemarinya sibuk menari-nari di atas bantalan kunci gawainya yang berbasis android. Dengan mata berbinar, sesekali tersenyum sendirian. Tubuh Kang Badrun memang di rumah, tetapi pikiran dan perasaannya menerawang entah ke mana. Hanya dengan duduk manis di rumah, lelaki separuh baya itu bisa dengan mudah menjalin kontak dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Facebook, twitter, instagram, path, atau whatshapp sudah sangat membantunya untuk terbang menyusuri celah dan ceruk dunia.

Dengan sangat percaya diri, kini Kang Badrun mendadak memosisikan dirinya sebagai narasumber informasi tentang banyak hal di tengah orang-orang di sekelilingnya. Baginya, gawai (nyaris) sudah menjadi kebutuhan primer dalam mengakses informasi. Satu jam saja melepas gawai, Kang Badrun akan tersaruk-saruk di balik semak-semak. Sementara yang lain sudah melaju mulus di jalan tol. Tak berlebihan jika Kang Badrun kini mesti selalu bertindak cekatan. Kalau tak ada nada dering pemberitahuan dari mulut gawainya, ia bergegas memburu informasi di kebun jagad Mbah Google.

Di kebun jagad Mbah Google itu, Kang Badrun sangat dimanjakan. Ia bebas mengambil, tanpa izin. Ia bebas menggali dan menemukan barang-barang berharga, lantas membawanya pulang, tanpa takut dipenjarakan. Sepanjang untuk keperluan sendiri, sudah lebih dari cukup bagi Kang Badrun untuk menambah pundi-pundi informasinya. Dengan cara demikian, Kang Badrun merasa dirinya selalu up-to-date. Ia upgrade otaknya setiap detik dengan informasi-informasi terkini.

Dengan meramu barang-barang buruan dari kebun Mbah Google, Kang Badrun bisa dengan mudah untuk mendaur-ulang informasi untuk kemudian disebarkan melalui facebook, twitter, path, atau whatshapp. Di whatshapp sendiri, Kang Badrun menjadi anggota puluhan group. Ia semakin mudah untuk menemukan berbagai informasi, kemudian meneruskannya ke group-group lain yang diikuti. Belum lagi ratusan informasi yang terpajang di lini-masa facebook dan twitter. Wow…. Kang Badrun kini benar-benar merasakan kedua telapak tangannya telah menggenggam bejibub informasi yang dibutuhkan banyak orang. Setiap saat, dia bisa memajang status di jejaring sosial dengan beragam informasi.

Sedemikian keranjingannya Kang Badrun dengan gawai kesayangannya, sampai-sampai ia abai terhadap kewajiban-kewajiban sosialnya secara nyata. Ia makin jarang bergaul dengan tetangga terdekat. Kerja bakti, siskamling, dan berbagai kegiatan sosial yang lain sudah (nyaris) jarang ia lakukan. Jika kebetulan diajak Ketua RT untuk menjenguk tetangganya yang sakit, dengan mudah ia mohon izin melalui pesan whatshapp di group kalau sedang ada keperluan. Ternyata, Kang Badrun tidak sendirian. Di group yang sama, Kang Badrun juga menemukan pesan-pesan yang sama dari tetangga dekatnya.

“Kenapa semua jadi ikut-ikutan izin?” tanya Kang Badrun pada dirinya sendiri sembari memelototi pesan-pesan di group whatshapp. Agaknya orang-orang sekampung punya keranjingan yang sama terhadap jejaring sosial.

Tak hanya urusan sosial yang terabaikan, Kang Badrun juga mulai abai terhadap keluarganya. Kehangatan mulai jauh menyusut. Tak ada lagi canda dan tawa bersama. Anak-anak dan isterinya juga sibuk dengan dunia dan gawainya sendiri-sendiri. Keluarga Kang Badrun terjebak dalam keriuhan massa di jejaring sosial. Hidup kesepian di tengah keramaian dunia maya. Belum lagi memikirkan anggaran keluarganya yang kian meroket. Semenjak anak-anak dan isterinya ikut keranjingan main gawai, gaji bulanannya (nyaris) tak lagi tersisa, bahkan sering minus.

***

Sudah sepekan ini, Kang Badrun uring-uringan. Ia tidak lagi menduduki posisi sebagai satu-satunya narasumber informasi. Tetangga dan teman-teman kantornya sudah ikut melesat menjemput bejibun informasi dari berbagai sumber. Setiap kali membuka Whatshapp (WA), kedua bola matanya nyalang dan liar. Jidatnya berkerutan. Ia kaget membaca tebaran informasi di whatshapp.

Banyak anggota group yang gampang sekali terjebak untuk menyebarluaskan informasi tanpa mengetahui kejelasan sumbernya. Seperti surat berantai, berita-berita yang tidak jelas sumber dan asal-usulnya itu terus menyebar dari satu group ke group yang lain. Heboh!

“Sontoloyo! Ini orang ndak ada kapok-kapoknya, ya! Sudah puluhan kali dilarang share berita-berita hoax, masih saja bandel! Dasar, gendeng!” gerutu Kang Badrun pada dirinya sendiri.  “Group WA bukannya digunakan untuk mengakrabkan silaturahmi, tapi justru malah dipakai untuk melukai orang lain,” gumamnya sambil melemparkan gawainya di atas kasur.

Lantaran mulai risih, Kang Badrun “menyemprit” para anggota group untuk menghentikan kebiasaan menyebarkan informasi tanpa proses klarifikasi dan konfirmasi.

“Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap teman-teman yang sering meng-update status berbau SARA, mohon dicek dulu kebenarannya. Kalau memang berita itu benar dan dapat dipercaya, silakan dibagi dan disebarluaskan. Namun, jika berita itu meragukan, apalagi dari sumber yang tidak jelas, mohon untuk tidak buru-buru menyebarluaskannya. Jangan sampai akibat kecerobohan kita dalam berbagi informasi, kita justru yang akan menjadi korban,” kata Kang Badrun dalam sebuah group whatshapp di kampungnya.

Postingan itu ternyata menyulut emosi. Anggota group yang merasa tersindir marah-marah di group. Terjadi debat kusir. Tak ada yang mau mengalah. Kang Badrun juga tidak sendiri. Ada beberapa anggota group yang sependapat dengannya. Namun, agaknya masalah makin meruncing. Terjadilah pertengkaran hebat. Tetangga-tetangga kampung yang berseberangan pendapat dengannya mendadak melabrak rumahnya.

“Sampeyan harus minta maaf di group, Kang, karena telah menghalang-halangi niat baik orang lain untuk berbagi informasi. Itu artinya, Sampeyan telah melanggar hak orang lain yang harus dijunjung tinggi,” teriak seorang tetangganya dengan bola mata memerah saga.

“Saya tidak akan minta maaf karena saya berkata benar. Saya tidak melarang Sampeyan berbagi informasi. Tapi perlu dicek dulu kebenarannya. Jangan ikut-ikutan menyebarkan informasi berbau SARA dan fitnah, karena akan memiliki risiko hukum! Saya hanya sekadar mengingatkan jangan sampai niat baik kita justru akan berdampak buruk akibat kecerobohan kita ikut menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya!” jawab Kang Badrun dengan penuh rasa percaya diri.

“Alah, sudahlah, Kang, jadi orang jangan sirik. Sampeyan melarang-larang itu hanya lantaran Sampeyan sekarang merasa tersaingi toh? Saat ini bukan hanya Sampeyan saja yang bisa berbagi informasi, kami pun bisa!” sahut tetangganya yang lain.

“Jangan salah paham, sedulur-sedulur! Saya justru mengajak kita semua saling berbagi informasi. Tapi pilah-pilah dulu kebenarannya, supaya tidak ada yang kena fitnah dan terlukai akibat berita yang kita sebar luaskan!”

“Ah, dasar tukang sirik ya begini ini modelnya. Sudah tahu salah, ndak mau minta maaf, ngeyel lagi! Sudahlah sedulur-sedulur, buat apa lama-lama kita di sini, ndak ada gunanya berdebat sama si tukang sirik!” sergah tetangga yang satunya lagi.

Darah Kang Badrun berdesir. Dadanya turun-naik menahan geram. Kepala nyut-nyutan. Puluhan tahun hidup di kampung, baru kali ini ia disemprot tetangga-tetangganya dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Dibantingnya keras-keras gawai kesayangannya ke lantai hingga hancur berantakan. Gawai dan aplikasi besutan Jan Koum (kiri) dan Brian Acton itu agaknya telah ikut andil dalam melukai nilai-nilai sosial yang selama ini nyaman terjaga. Kang Badrun merasakan aliran darahnya makin kencang berdesir menuju ubun-ubun. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

Kang Badrun, Gawai, dan Nilai Sosial yang Terluka

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×