Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Memahami Perjuangan Pangeran Diponegoro PEJUANG ISLAM

wacana penting dalam penulisan sejarah
Islam di Indonesia bahwa Pangeran Diponegoro
bukanlah pahlawan nasional yang berjuang
melawan Belanda semata-mata karena urusan
tanah atau tahta. Tapi, Pangeran Diponegoro
adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang
mendalami serius agama Islam, dan kemudian
melawan penjajah Belanda dengan semangat
jihad fi sabilillah. Diponegoro adalah sosok
pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan
kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah
cita-cita luhur, tegaknya Islam di Tanah Jawa.
Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang
menarik tentang Diponegoro tersebut.
Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra
tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 –
1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati,
keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang
sangat disegani di masa Panembahan Senapati
mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih
jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel
Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur.
Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam
Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil
Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan,
bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro
diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono
I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang
merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita
itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee
Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java
Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
Suasana kraton yang penuh intrik dan
kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda,
tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak
Diponegoro kecil yang bernama Pangeran
Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke
Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di
lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo
terbiasa bergaul dengan para petani di
sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu
ia juga kerap berkumpul dengan para santri di
pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang
biasa dengan berpakaian wulung.
Bupati Cakranegara yang menulis Babad
Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah
belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang
keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat,
yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut
laporan Residen Belanda pada tahun 1805,
Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam
bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-
anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama
pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani
menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim
karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa.
Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam
dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984,
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).
Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah
Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra
mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M
Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja
yang mengangkat adalah orang Belanda.
Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada
golongan orang-orang murtad. Ini merupakan
hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam
buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin
dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau
saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad
tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun
seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah
atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya
bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar,
berapa lamanya hidup di dunia, tak urung
menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal.
39-40).
Perang besar
Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam
di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink,
mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati
bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang
anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1.
Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil
alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada
orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3.
Kekurangadilan di masyarakat Jawa, 4. Aneka
intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan
secara besar-besaran kepada orang Belanda,
yang menyebabkan pengaruh Belanda makin
membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk
kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga
untuk kepentingan Belanda.
Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial
ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih
filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh
Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830,
seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari
pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan
negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan
pembersihan agama daripada noda-noda yang
disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro
kepada Jendral De Kock pada saat
penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng
Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha
mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu
Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng
Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk
menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya
adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P.
Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung
Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan
kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama,
santri dan para penghulu merapat pada barisan
perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya
berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada
rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April
1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan
keheranannya karena cukup banyak kyai dan
santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah
Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai,
31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan
4 kyai guru yang turut berperang bersama
Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup
mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan
massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat
I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton
digambarkan sangat tidak harmonis. Namun
Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan
bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil
menyatukan kembali dua kubu tersebut.
Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini
menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang
yang sangat menyita keuangan pemerintah
kolonial, bahkan hampir membangkrutkan negeri
Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa
8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda
7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total
orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata
maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang.
Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu
baru tujuh juta orang, separuh penduduk
Yogyakarta terbunuh.
Data ini menunjukkan,
dahsyatnya Perang
Diponegoro dan besarnya
dukungan rakyat
terhadapnya. Oleh bangsa
Indonesia, Pangeran
Diponegoro yang dikenal
dengan sorban dan
jubahnya, kemudian diakui
sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang
sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia.
Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830,
menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia
sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati
keterlaluan.”
Demikianlah artikel penting tentang Pangeran Diponegoro.
Informasi tentang Diponegoro tersebut perlu
diajarkan di sekolah-sekolah kita, khususnya
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam.
Saya masih menemukan banyak sekolah Islam
yang masih mengajarkan cerita tentang
Diponegoro yang keliru dan tidak
menggambarkan Diponegoro sebagai seorang
pahlawan Islam. Seolah-olah Diponegoro berjuang
melawan Belanda hanya karena urusan duniawi.
Kita berharap, pengelola lembaga pendidikan
Islam, juga para orang tua bersedia meneliti
buku-buku pelajaran anak-anaknya, agar tidak
menyimpang dari ajaran Islam dan fakta yang
sebenarnya.
Cobalah bertanya kepada anak-anak kita, apakah
mereka memahami bahwa Islam masuk ke
Indonesia adalah dibawa oleh para pedagang dari
Gujarat India. Padahal, teori buatan Snouck
Hurgronje itu sudah lama dijawab oleh para
ulama dan sejarawan Muslim. Para pendakwah
Islam di wilayah Nusantara ini bukanlah orang-
orang sembarangan. Mereka adalah para
pendakwah yang datang dari negeri Arab yang
serius mendakwahkan Islam; bukan sekedar
pekerjaan sambilan dari pekerjaan utama, yaitu
berdagang.
Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan
lembaga-lembaga pendidikan, saya mengajak
para pimpinan dan guru-gurunya, agar serius
memperhatikan pelajaran sekolah anak-anaknya.
Suatu ketika anak saya menyodori sebuah soal
pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VI
Sekolah Dasar dari suatu sekolah Islam terkenal.
Salah satu soalnya menceritakan bahwa ada
seorang anak yang rumahnya jauh dari rumah.
Setelah pulang sekolah ia harus membantu
ibunya berjualan sampai Magrib. Usai shalat
Magrib, dia masih harus mengaji, sehingga
esoknya di sekolah dia kecapekan dan
mengantuk.
Soal semacam ini seyogyanya tidak diberikan
kepada anak didik, apalagi di sekolah Islam.
Mestinya diajarkan bahwa meskipun anak
tersebut rumahnya jauh, harus membantu orang
tuanya berjualan, dan juga harus mengaji, tetapi
si anak tetap dapat meraih prestasi dengan baik
di sekolahnya. Faktanya, tidak sedikit anak-anak
berprestasi di sekolahnya justru anak-anak yang
suka belajar dan bekerja keras, meskipun berada
dalam kondisi kehidupan yang tidak mudah.
Itulah pentingnya lembaga-lembaga pendidikan
Islam melakukan perbaikan terhadap guru-guru
dan kurikulum serta buku-buku pelajarannya. Kita
berharap, dari sekolah-sekolah itulah akan lahir
anak didik yang beradab. Yakni, anak didik yang
mampu memandang dan meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya sesuai derajat yang
ditentukan Allah SWT.
Seorang Pangeran Diponegoro harus diletakkan
secara terhormat sebagai pahlawan pejuang
agama Allah. Era reformasi dan keterbukaan
harusnya mampu dimanfaatkan sekolah-sekolah
dan lembaga pendidikan Islam untuk merevisi,
dan kalau perlu merombak, buku-buku pelajaran
yang selama ini diajarkan kepada anak didik
mereka.
Pelajaran sejarah sangat penting diberikan
dengan mengungkap fakta dan perspektif yang
benar untuk membentuk persepsi dan sikap
hidup. Ketekunan, keikhlasan, kezuhudan, dan
semangat jihad Pangeran Diponegoro seharusnya
dipaparkan dengan benar kepada anak didik
sehingga mereka tergerak untuk mengambil
hikmah dan meneladani sang pahlawan Islam
tersebut.



This post first appeared on Sandy Ramadhan Wijaya, please read the originial post: here

Share the post

Memahami Perjuangan Pangeran Diponegoro PEJUANG ISLAM

×

Subscribe to Sandy Ramadhan Wijaya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×