Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perang Asimetris Bagian 2

Bisa ditebak, generasi Irak yang lahir dekade 2000-an niscaya tak akan dapat mengenali dan sulit menemukan bukti-bukti kejayaan ‘Negeri 1001 Malam’. Betapa hampir seluruh peninggalan sejarah dimusnahkan, nyaris tak ada sisa! Demikian pula bagi negara dan wilayah-wilayah lain yang menjadi obyek jajahan.
Kisah suku Indian di Benua Amerika misalnya, selain terusir dari tanah leluhur, dirampas hasil buminya, distigma pula sebagai kaum suka perang, haus darah, tidak beradab dan lain-lain. Ketika dulu (mungkin kini masih) menonton film cowboy kemudian tanpa sadar penonton bertepuk tangan senang tatkala suku Indian dikejar dan dihalau Oleh kaum imigran (cowboy), maka bisa dikatakan mindset dan culture set kita telah tersihir serta terseret arus agenda yang diciptakan oleh Barat. Betapa dahsyatnya peran media.
Inilah yang tengah berlangsung dan sungguh memprihatinkan, justru banyak elemen berbagai bangsa tidak menyadarinya. Ada retorika menggelitik: bagaimana generasi Indonesia bisa melihat kebenaran atas kejayaan Sriwijaya dan Majapahit wong sudah sekian abad dijajah oleh asing? Jangan-jangan sejarah nusantara di buku-buku sekolah juga versi kaum penjajah?
Isu, Tema dan Skema
Mengurai lebih jauh perang non miiter pada catatan ini, maka pola perang simetris (militer) sebagai pedoman awalnya. Artinya, breakdown dan pembahasan asymmetric warfare melalui analog atas pola symmetric warfare sebagaimana diurai sekilas tadi. Pertanyaannya: bukankah ilmu, teori, dll diketemukan manusia —salah satunya— melalui penelitian (research) serta analogi peristiwa? Tersirat memang ada kesamaan karakter antara peperangan simetris dengan model perang asimetris (non militer).
Bombardier di awal serangan contohnya, dalam asimetris identik dengan tebaran Atau pelemparan isue-isue di suatu wilayah yang hendak ditarget. Semacam bombardir tetapi melalui rumor, hasutan, berita, isu, kejadian, ‘penciptaan kondisi’, dll. Inilah awalan. Contoh Arab Spring kemarin, negeri target semacam Tunisia, Yaman, Mesir dan lain-lain diterpa dahulu dengan aneka isu demokrasi, korupsi, kemiskinan, pemimpin tirani, secara gegap gempita melalui berbagai media dan jejaring sosial sehingga dalam benak rakyat hanya ada satu kata: “rakyat menjadi miskin akibat bercokol rezim tirani dan koruptif”. Inilah penciptaan opini.
Tahap berikut dalam manuver simetris pasca bombardier ialah masuknya kavaleri. Manuver tank-tank kavaleri sebagai penebalan serangan, dalam analog asimetris dimaknai sebagai TEMA. Secara empiris, Arab Spring atau Musim Semi Arab yang melanda Jalur Sutera merupakan “tema gerakan” via kekuatan massa setelah opini dibentuk sebelumnya melalui isu-isu yang digencarkan media, jejaring sosial, dan lain-lain.
Tahap terakhir dalam peperangan secara militer ialah masuknya pasukan infanteri ke wilayah target. Pada analog asimetris atau non militer, manuver infanteri ini disebut SKEMA gerakan.
Inilah inti stategi peperangan yakni ‘pendudukan’ sebuah wilayah target. Dan pendudukan dalam konteks asimetris ialah penguasaan (ekonomi) negara dimaksud serta pencaplokan SDA cq perubahan —kudeta— rezim sebagai titik mula. Lengsernya Ben Ali di Tunisia, Abdullah Ali di Yaman, Mobarak dan seterusnya cuma kunci pembuka skema untuk penguasaan ekonomi yang lebih luas. Hal lain yang perlu dicatat, bahwa geliat penguasaan ekonomi niscaya berimplikasi juga terhadap pemberdayaan sumberdaya alam (SDA) menjadi hardcash. Itu mutlak.
 

Maka wajar jika kebanyakan negara koloni adalah wilayah serta jalur-jalur kaya SDA sebagaimana kelompok negara di lintasan Silk Road atau Jalur Sutera (Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara). Oleh sebab mencaplok SDA negara dimaksud identik menguasai ekonominya, demikian sebaliknya. Dengan demikian, apapun asymmetric warfaredi muka bumi, bahwa isu-isu dan tema boleh bervariasi serta beragam warna, akan tetapi SKEMA tidak akan berubah sepanjang masa, bahkan identik dengan tujuan symmetric warfare dimana inti skema selalu ‘satu tarikan nafas’ antara penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA.
Bedanya hanya soal penggunaan peluru (symmetric) dan tanpa mesiu sama sekali (asymmetric). Dalam kenyataan empiris, antara perang militer dan non militer lazimnya berpola menurut karakter masing-masing. Namun sering pula keduanya bersinergi secara simultan dengan intensitas berbeda.
Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan gerakan reformasi di Jakarta dekade 1998-an adalah contoh aktual atas implementasi tersebut. Meski samar namun toh terbaca. Mana sinergi, siapa berpola tunggal. Siapa duluan, pihak mana yang mengakhiri, dll.
Ketika Ben Ali jatuh, atau terjungkalnya Abdullah Ali, Pak Harto dan Mobarak dari kekuasaan misalnya, itu jelas olah smart power atau asymmtric warfare, karena skema kolonial Barat dapat tertancap di Tunisia, Yaman, Indonesia dan Mesir tetapi tanpa ada letusan peluru tanpa tercium bau mesiu. Sedangkan keroyokan militer AS dan sekutu di Irak (2003) serta Afghanistan (2001) merupakan kerja symmetric warfare atau hard power, kendati langkah awal peperangan di kedua negara —langkah awal saja— mengikuti pola-pola smart power.
Misalnya, isu Afghanistan tentang teroris al Qaeda, sedang stigma di Irak perihal senjata pemusnah massal. Agaknya peristiwa di kedua negara (Irak dan Afghanistan), agak berbeda dengan kasus di Libya (2011). Tumbangnya Gaddafi dari tampuk kekuasaan jelas merupakan olah sinergi antara hard power dan smart power. Artinya tatkala smart power dianggap gagal, maka gerakan massa melalui isue demokrasi dan pemimpin tirani diubah seketika bahkan tata cara (kadar)-nya ditingkatkan menjadi perang sipil, dimana para pemberontak justru dilatih, disupply dan dibiayai oleh Barat (Baca: Memahami Sinergi antara Hard dan Smart Power di Libya, di www.theglobal-review.com dan beberapa analisis lainnya di web GFI).
Secara kasuistis, pola peperangan di Libya identik dengan konflik di Syria. Tak jauh beda. Ada kemiripan urut-urutan eksekusi. Misalnya, gagal menggusur Presiden Bahsar al Assad via gerakan massa, pihak Barat menaikkan kualitas “tema” melalui perang sipil. Arab Spring dalam perspektif asymmetric warfare memang hanya sebatas tema. Sementara ketidaksamaan pola dalam perang di kedua negara tadi sejatinya bukan pada isu dan stigma semata, tetapi juga soal resolusi PBB. Dengan kata lain, bila tebaran isue di Libya soal kepemimpinan tirani, demokrasi, pelanggaran HAM dan lainnya, sedang stigma melekat di Syria tentang sektarian, senjata kimia, dll.
Lebih jeli lagi memotret perbedaannya, jika isue di Libya mampu menerbitkan resolusi PBB bagi NATO untuk menggempur Gaddafi secara legal, sementara isue dan stigma di Syria —hingga tulisan ini diterbitkan (25/9/2013)— belum mampu mengunduh resolusi secuilpun sebab senantiasa dijegal oleh veto Cina dan Rusia (Baca: Mencermati pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, dan silahkan baca juga: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di web GFI www.theglobal-review.com).
Contoh lain topik. Terpisahnya Timor Timur dari Ibu Pertiwi adalah hasil olah sinergi sebagaimana kasus di Libya. Mudah memeta tahapannya. Isue yang dilempar soal pelanggaran HAM oleh aparat; kemudian “tema”-nya selain terbitnya resolusi PBB, hadirnya pasukan asing, juga jajak pendapat atau referendum; sedangkan “skema”-nya adalah minyak di Celah Timor. Bedanya soal perlawanan. Gaddafi melawan meski telah turun resolusi PBB, sedang Indonesia tidak melakukannya. Dan tampaknya, lokasi minyak tersebut (Celah Timor) kini tengah digarap korporasi minyak dari Australia dan Thailand.
Coba bila kemarin tak pernah ditemukan minyak di Celah Timor, atau seandainya Timor Timur hanya penghasil singkong dan ketela, mungkinkah ada pelanggaran HAM serta jajak pendapat disana?
Lalu, benarkah lepasnya Sipadan dan Ligitan dari NKRI dahulu karena asymmetric warfare yang dilancarkan oleh Malaysia, sementara pemerintah Indonesia sebagai pihak yang ditarget justru mengkedepankan diplomasi ala kadarnya? Sekali lagi, tanpa peluru dan asap mesiu, kedua pulau itupun lepas dari pangkuan NKRI. Selamat jalan Sipadan Ligitan!
 

Dari kajian kolonialisme, kendati implementasi kedua peperangan memiliki dimensi, ciri, dan urut-urutan tindakan menurut kharakter masing-masing, tetapi skemanya tetap lestari.
Sebagaimana diurai sekilas di atas, bahwa skema kolonialisasi tak lepas dari ‘satu tarikan nafas’ berujung pada penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Ya. Mencermati asymmetric warfare boleh diurut dari isue, tema dan skema. Atau sebaliknya —apabila telah berlangsung— diruntut melalui skema, tema dan isu. Mulai darimana dipersilahkan, tergantung bagaimana kejelian.
Maraknya flu burung misalnya, itu hanya isue permulaan. Tema yang diangkat niscaya daging langka atau daging mahal. Kemudian skema yang ditancapkan adalah “jerat impor”. Entah ujud jerat dimaksud guna membuka kran impor daging, atau menambah kuota impor, dan lain-lain. Inilah spektrum dan medan asymmetric warfare dalam aspek ekonomi jika dicermati melalui isu, tema, dan skema. Silahkan analog pada contoh bidang pangan lainnya. Mungkin analog dalam impor kedelai, atau tembakau, jagung, dan lainnya.
Sekarang kita dibalik. Permisalan pola smart power dicermati melalui urutan skema, tema dan isu. Adalah kerjasama Indonesia-Malaysia bidang geologi di wilayah perbatasan. Ini cuma open agenda, sedangkan hidden agenda yang merupakan SKEMA kolonial yakni ‘pencaplokan’ SDA milik Indonesia oleh Malaysia.
Tak kurang, Dikdik Pribadi, Kepala Bidang Program dan Kerjasama Badan Geologi Kementerian ESDM di Nunukan, Sabtu malam (15/6/13) mengungkapkan, kerja sama ini merupakan program pemerintah Indonesia yang “interstate” bahwa di wilayah perbatasan cukup banyak potensi alam yang perlu dikelola bersama antara Indonesia dengan Malaysia, meliputi geologi correlation (korelasi geologi), bidang kebencanaan yang disebabkan faktor geologi, ground water(air tanah) dan geologi resources (sumber daya geologi).
Saat ini, kerjasama itu telah mengarah pada tahap eksplorasi. Luar biasa! Selanjutnya keniscayaan tema yang bakal diangkat ialah perjanjian bilateral, atau Memorandum of Understanding (MoU) para pihak, dll.
 

Mari cermati isu yang kelak akan ditebar dan dimunculkan. Kemungkinan besarperihal (isue) keterbatasan dana pemerintah, minimnya teknologi explorasi, kurangnya tenaga ahli di Indonesia, dan sebagainya.
Pertanyaan timbul: bukankah UUD menyuratkan bahwa bumi, air dan segala isi yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan digunakan sepenuhnya demi kemakmuran rakyat (Indonesia)? Kenapa yang dimakmurkan justru kedua negara sesuai isyarat pejabat ESDM tadi?
Isyarat Bung Karno di awal kemerdekaan dulu mutlak disimak, bahwa berbagai tambang yang dimiliki bangsa Indonesia tidak usah terburu dieksploitasi sampai bangsa Indonesia memiliki tenaga ahli yang cukup untuk mengelolanya sendiri.
Agaknya hal inilah yang diabaikan banyak elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Entah sampai kapan. Ketika masalah pertambangan kian berkembang, ternyata bukan hanya soal tenaga ahli, namun yang mutlak dicegah adalah monopoli kawasan tambang oleh segelintir perusahaan-perusahaan asing difasilitasi oleh segelintir elit negeri. Inilah yang kini terjadi. Kembali pada kerjasama geologi Indonesia Malaysia di perbatasan, maka sudah selayaknya dirumuskan kembali pada tataran kebijakan yang lebih tinggi guna mengkontra asymmetric warfare oleh Malaysia di perbatasan: BATALKAN. Tak bisa tidak. Mumpung belum berlarut seperti kasus Freeport, Blok Mahakam dan banyak lagi Blok tambang yang kontrak karyanya terus menerus diperpanjang dengan alasan sumberdaya (manusia, uang dan teknologi) Indonesia belum mampu.


This post first appeared on Misteri Dunia Unik Aneh, please read the originial post: here

Share the post

Perang Asimetris Bagian 2

×

Subscribe to Misteri Dunia Unik Aneh

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×