Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

HUKUM ASAL BENDA ADALAH MUBAH



HUKUM ASAL BENDA ADALAH MUBAH (HALAL), KECUALI BEBERAPA YANG DIHARAMKAN

       Segala sesuatu benda yang dimanfaatkan, pada hakekatnya berbeda dengan perbuatan. 
       Perbuatan selalu berhubungan dengan atau menggunakan sesuatu agar kebutuhan terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan sebagainya,  yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori perbuatan/tindakan. Jual beli, sewa-menyewa, perwakilan, jaminan, dan lain-lain termasuk kelompok perbuatan.
       Apakah benda mempunyai status hukum sendiri (maksudnya dengan sendirinya mengandung hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, haram)? Atau hukumnya mengikuti perbuatan? Atau tidak mempunyai hukum?
       Menurut syariat Islam terdapat perbedaan antara benda dengan perbuatan. Ulama’mendapati bahwa hukum perbuatan ada 5 status yaitu wajib, haram, mandub/sunnah, makruh dan mubah. Hukum syara' berhubungan dengan perbuatan saja. Dihalalkannya jual-beli misalnya, berdasarkan firman Allah: "(Dan) Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah: 275).
       Adapun benda (mata dagangan) yang berhubungan dengan jual-beli, ada di antaranya yang dihalalkan Allah, seperti anggur dan ada pula yang diharamkannya seperti khamr.  Jadi, Allah menentukan sifat atas benda dengan halal dan haram saja, dan bukan dengan sebutan wajib, sunnah atau makruh. 
       Allah menjadikan halal atau haram sebagai sifatnya benda sebagaimana firman Allah SWT: "Katakanlah; 'Terangkanlah kepadaku tentang rizqi yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagian lainnya) halal".  (QS. Yunus: 59). "(Dan) janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ini halal dan ini haram"  (QS. An-Nahl: 116). "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah"  (QS. Al-Baqarah: 173). "Kami haramkan segala binatang yang berkuku"  (QS. Al-An'am: 146). "(Dan) mengharamkan bagi mereka makanan yang khabits (buruk, menjijikkan, berbahaya, najis dan lain-lain)"  (QS.  Al-A'raf: 157). "Hai Nabi mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu"  (QS. At-Tahrim: 1). Nash-nash tersebut di atas menentukan bahwa benda hanya memiliki dua alternatif status hukum -yaitu halal atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak ada alternatif status selain itu.
       Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah.  Tidak boleh seorangpun turut campur dalam menentukan halal dan haram. Halal atau haram adalah dua sifat yang salah satu­nya pasti ada untuk setiap benda, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai (pakaian), dikendarai, didiami, yang dapat digunakan atau tidak dapat digunakan (afkir).
       Apabila kita mendalami nash-nash syara', pada dasarnya Allah menetapkan bahwa hukum asal benda adalah mubah. Allah hanya mengecualikan, sebagian kecil benda yang diharamkan-Nya melalui nash secara khusus. 

       Hukum mubah tersebut dapat difahami dari nash-nash syara' secara global dan umum. seperti firman Allah SWT:
      "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada  di bumi untuk (dimanfaatkan oleh) kamu"  (QS. Al-Baqarah: 29).
      "Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah mengadakan (untuk kepentinganmu) apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan bathin"(QS. Lukman: 20).
      "Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizqi untukmu"  (QS. Al-Baqarah: 22).
      "(Dan) Dia mengadakan kapal untukmu, supaya berlayar di lautan dengan perintahNya dan Dia mengadakan untukmu sungai-sungai.  Dan Dia yang menyuruh matahari dan bulan berguna untuk kepentinganmu keduanya beredar menurut jalannya dan Dia yang memerintahkan malam dan siang berguna untuk kepentinganmu dan Dia yang memberikan sebagian dari apa yang kamu minta dan kalau kamu hitung nikmat Allah itu niscaya tidak dapat kamu menghitungnya"  (QS. Ibrahim: 32-34).
      "(Dan) Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon korma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rizqi bagi hamba-hamba (Kami)"  (QS. Qaaf: 9 - 11).
      "Katakanlah siapa yang mengharamkan perhiasan (dari) Allah yang telah diadakan untuk hamba-hamba-Nya serta rizqi yang baik (halal)"  (QS. Al-A'raaf: 32).
      "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah"  (QS. Al-Baqarah: 173).
      "Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang memakannya, kecuali makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi"  (QS. Al-An'am: 145).
       Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT membolehkan segala sesuatu yang ada untuk manusia.  Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan dengan nash yang bersifat khusus.  Begitu pula ditemui dalam hadits berbagai nash yang mengharamkan beberapa benda misalnya bahwa diriwayatkan Rosul SAW telah melarang memakan keledai jinak, binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar tajam.
       Allah sebagai pembuat hukum telah membolehkan sesuatu benda (menghalalkannya). Apabila ditemukan nash yang mengharamkan sebagian benda, maka pengecualian ini hanya sebatas benda itu. Dibolehkannya sesuatu (halal) tidak memerlukan dalil khusus bahwa sesuatu itu boleh, karena dalil-dalil yang bersifat umum dalam nash-nash syara' telah membolehkan segala sesuatu.  Adapun larangan terhadapnya maka itulah yang memerlukan dalil, karena hukum haram adalah pengecualian atau pengkhususan dari keumuman dalil yang membolehkan sesuatu, berarti ia harus mempunyai nash.  Oleh karena itu hukum asal bagi segala sesuatu adalah mubah.



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

HUKUM ASAL BENDA ADALAH MUBAH

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×