Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kisah Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman



Hudzaifah bin al-Yaman Panglima Islam Penakluk Persia

Tak seorang shahabat pun mencapai prestasi ini selain Hudzaifah, meski jumlah Mereka banyak, meski mereka begitu dekat dengan Allah dan Rasul-Nya, dan meski mereka begitu tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, Ini merupakan kemuliaan besar dan kepercayaan luar biasa.

Ia dikenal dengan julukan tersebut di antara rekan-rekannya yang mengenali kedudukannya di mata Rasulullah ﷺ. Para shahabat menghargai dan menghormati dirinya, baik saat Nabi ﷺ masih hidup maupun setelah beliau berpulang ke rahmat Allah.

Nabi ﷺ mengatur segala persoalan, peristiwa, dan sumberdaya manusia dengan hikmah yang diberikan Allah, memilih setiap orang untuk pekerjaan tertentu sesuai keperluan dan tuntutan.

Pada malam berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau ﷺ memilih Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidur beliau, menggantikan beliau untuk mengelabuhi kaum musyrik Quraisy. Beliau percaya bahwa mereka tidak akan menyakiti Ali, dan Ali tidak akan terkena bahaya apapun dari mereka. Beliau mengatakan hal itu kepada Ali.

Selain itu, Ali juga dipercaya untuk menjaga seluruh harta simpanan dan titipan yang dititipkan kepada beliau, selanjutnya ia kembalikan kepada para pemiliknya secara penuh, tanpa kurang sedikitpun.

Juga dipercaya untuk mendampingi dan melindungi keluarga beliau dari segala gangguan selama beliau berhijrah, karena ia adalah sepupu dan kerabat beliau.

Seperti itu juga beliau memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pendamping beliau meniti perjalanan hijrah.

Hijrah berawal dari rumah Abu Bakar sebagai titik tolak, selanjutnya menuju gua Tsur di mana Abu Bakar mendampingi beliau dengan baik di sana, juga dalam perjalanan besar. Ia adalah sebaik-baik pendamping.

Seperti halnya Al-Faruq Umar bin Khathab adalah seorang wakil, penasihat, tutur katanya jujur, intuisinya tajam, dan sangat mencintai Rasulullah ﷺ.

Dengan demikian, setiap tokoh shahabat baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar memiliki tempat dan kedudukan tersendiri di hati Nabi ﷺ juga tempat tersendiri dalam aksi jihad.

Untuk itu, beliau memilih Hudzaifah bin al-Yaman sebagai pemegang rahasia beliau.

Pilihan ini bukan tanpa alasan, karena ada sejumlah sebab, motif, peristiwa, dan kejadian yang akan kita ketahui nanti, saat kita membahas riwayat hidup seorang shahabat yang mulia ini.

Terkait keberadaannya sebagai salah satu pahlawan penaklukan, ini sudah menjadi fakta sejarah yang disaksikan tanah Irak. Bukan hanya seorang pahlawan, tapi ia juga seorang panglima perang.

Sekarang, mari sama-sama kita menjelajahi berita-berita tentang kepribadian tiada duanya ini.

Nasab

Nasab Hudzaifah terhubung kepada Bani ‘Abbas, kabilah Arab yang dikenal tangguh, banyak jumlah individunya, dan tenggelam dalam kejahiliyahan. Karenanya, nasab Hudzaifah disebut Hudzaifah bin al-Yaman Al-‘Abbasi.

Ayahnya, Husail, sudah berada di Madinah sebelum peristiwa hijrah dan bersekutu dengan Bani Abdul Asyhal. Ketika mereka masuk Islam, ia turut masuk Islam bersama sepuluh orang dari Bani Abas.

Orang Muhajirin ataukah Anshar?

Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada Hudzaifah antara menjadi seorang Muhajirin atau Anshar, beliau berkata kepadanya, “Kalau kau mau, kau adalah salah satu di antara orang-orang Muhajirin, dan kalau kau berkehendak lain, kau adalah salah satu di antara orang-orang Anshar.”

Hudzaifah lebih memilih membela (Anshar) daripada berhijrah (Muhajirin), demi kesetiaannya terhadap sekutu-sekutunya, Bani Abdul Asyhal.

Ketika Rasulullah ﷺ, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, Hudzaifah dipersaudarakan dengan Ammar bin Yasir sebagai dua saudara karena Allah.

Dari Mata Air Nubuwah

Hudzaifah tinggal di Madinah yang memancarkan cahaya Islam. Di sana, ia meminum dari sumber mata air nubuwah nan jernih dan sangat tawar, sehingga darah yang mengobarkan kehangatan iman dan menebarkan cahaya Islam menjalar ke seluruh tubuh dan uratnya.

Ia senantiasa menegakkan agama seperti yang ia janjikan, ia penuhi janjinya itu, dan terus naik ke atas hingga meraih kepercayaan dan cinta Nabi ﷺ.

Ia tidak hadir dalam perang Badar.

Ia memang menghadiri peristiwa-peristiwa perang Badar, tapi ia tidak ikut berperang. Bagaimana itu bisa terjadi, dan mengapa?

Kaum muslimin mengetahui kafilah dagang kaum Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah, kembali dari Syam membawa barang-barang berharga. Para shahabat keluar untuk mencegat kafilah ini.

Kaum Quraisy mengetahui keberangkatan kaum muslimin, hingga mereka mengkhawatirkan harta benda dan kekuatan mereka. Akhirnya, kaum Quraisy pergi bersama pasukan berkuda dan segala kesombongannya menuju Badar untuk menghadang kaum muslimin, melindungi harta benda, kekuasaan, dan wibawa Quraisy.

Perang Badar tidaklah meninggalkan Hudzaifah, si mukmin yang tulus ini. Hudzaifah berangkat bersama ayahnya, Husail bersama pasukan muslimin.

Hanya saja, keduanya ditawan orang-orang Quraisy. Mereka menangkap ayah dan anak ini, lalu mereka melepaskan keduanya setelah mengambil janji dari keduanya untuk tidak berperang bersama Muhammad.

Kemudian, Hudzaifah menemui Rasulullah ﷺ bersama ayahnya, memberitahukan kejadian yang mereka berdua alami, dan bertanya kepada beliau, “Apakah kami ikut perang atau tidak?”

Beliau menjawab pada keduanya, “Tidak, kita penuhi janji mereka, dan kita memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi mereka.”

Inilah ceritanya, mengapa Hudzaifah tidak ikut dalam perang Badar.

Perang Uhud dan Kesedihan Berlipat

Akan tetapi, perang Uhud tidak kehilangan Hudzaifah.

Dalam peperangan ini, Hudzaifah menunjukkan sejumlah sikap yang patut untuk disaksikan.

Berikut kisah rincinya.

Ketika Nabi ﷺ berangkat bersama kaum muslimin ke Uhud, beliau menempatkan para manula, kaum wanita, dan anak-anak di puncak perbukitan dan dataran-dataran tinggi Madinah untuk melindungi mereka.

Saat itu, Husail bin Jabir -ayah Hudzaifah- dan Tsabit bin Qais termasuk di antara mereka yang diizinkan untuk tidak berperang.

Di tengah pertempuran, salah satu di antara keduanya berkata kepada rekannya, “Dasar tidak punya ayah kamu ini (lâ aban laka)! Apa yang kita tunggu? Hari ini ataupun esok, kita pasti menjadi bangkai tak bernyawa. Ayo kita meraih kemuliaan mati syahid atau kemenangan!”

Keduanya bergegas menyusul kaum muslimin dan keluar dari barisan. Akhirnya, Tsabit bin Qais Al-Anshari roboh, mati syahid.

Pedang kaum muslimin juga mengarah kepada Husail, ayah Hudzaifah, secara tidak sengaja atau tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan, hingga ia juga gugur. Saat itulah Hudzaifah berteriak, “Ayahku... ayahku... semoga Allah mengampuni kalian...!”

Hudzaifah sedih menangisi kematian ayahnya, dan Rasulullah ﷺ mendoakan rahmat kepadanya. Beliau juga menyerahkan diyat kepada Hudzaifah. Apa gerangan yang dilakukan Hudzaifah dengan uang itu?

Ia sedekahkan uang diyat itu untuk kaum muslimin fakir, sehingga kedudukan dan posisi dia kian tinggi di mata Rasulullah ﷺ.

Perang Ahzab atau Khandaq

Belum juga selesai menggali parit besar di sekitar Madinah (parit terletak di antara gunung Uhud dan Sela) untuk menangkal serangan Quraisy dan para sekutunya termasuk Yahudi, kaum muslimin dicekam ketakutan dan kesulitan hebat karena musuh bersatu-padu menyerang mereka, dan Bani Quraizhah Yahudi melanggar perjanjian dengan Nabi ﷺ, kala mereka semua datang dari atas dan juga bawah. Saat itu sedang musim dingin, udaranya dingin menusuk tulang.

Namun, Allah mengamankan mereka dari rasa takut, memperkuat mereka dalam menghadapi musuh, dan menyelamatkan mereka dari ancaman yang akan melenyapkan mereka ini dengan cara membuat kaum musyrik meninggalkan medan.

Salah seorang shahabat yang mulia, Nu’aim bin Mas’ud Al-Ghathafani Al-Asyja’i, memiliki peran dan jasa besar yang Allah mudahkan untuknya.

Nu’aim datang ke tenda kaum muslimin. Ia sudah diberi petunjuk oleh Allah. Ia menemui Rasulullah ﷺ, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku sudah masuk Islam, dan kaumku tidak mengetahui keislamanku ini. Untuk itu, silakan engkau perintahkan aku sesukamu untuk menghadapi musuhmu.”

Rasulullah ﷺ berkata, “Kau hanya seorang diri. Apa kiranya yang bisa kau lakukan. Tapi, cerai-beraikan musuh sebisamu, karena perang itu tipu muslihat.”

Nu’aim bin Mas’ud seketika itu juga langsung pergi menemui Bani Quraizhah, yang menjadi teman semasa Jahiliyah. Nu’aim menemui pemimpin mereka, Ka’ab bin Usaid, lalu berkata, “Kalian tahu rasa cintaku pada kalian.”

Ka’ab menjawab, “Benar, kau bukan orang yang patut dicurigai. Apa yang ingin kau sampaikan terkait persoalan ini!?

Nu’aim meneruskan, “Orang-orang Quraisy dan Ghathafan tidaklah sama seperti kalian. Negeri ini -Madinah- adalah negeri kalian, di sana ada harta benda, anak-anak, dan istri kalian. Kalian tidak bisa berpindah meninggalkan semua itu ke tempat lain. Quraisy dan Ghathafan datang untuk memerangi Muhammad dan para sahabatnya, kemudian kalian perlihatkan dukungan pada mereka untuk menyerangnya. Kalian sendiri sudah mengetahui apa yang dialami saudara-saudara kalian dari Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang diusir dan harta benda mereka dirampas. Quraisy dan Ghathafan tidak seperti kalian, karena jika mereka mendapat kesempatan, tentu kesempatan itu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya. Dan jika tidak, mereka pun pasti kembali lagi ke negeri mereka dan meninggalkan kalian yang harus berhadapan dengan orang itu (maksudnya Rasulullah ﷺ), dan kalian tidak akan mampu memeranginya seorang diri. Menurutku, kalian jangan ikut terlibat dalam perang ini, sebelum memastikan Quraisy dan Ghathafan tidak akan meninggalkan kalian dan mereka tidak akan pulang ke negeri mereka dengan cara kalian meminta jaminan berupa anak-anak mereka, sehingga kalian menjamin mereka akan tetap bersama kalian dan mereka benar-benar ikut berperang.”

Kaum Yahudi Bani Quraizhah menganggap baik pendapatnya dan memenuhi sarannya. 

Setelah itu, Nu’aim pergi ke perkemahan pasukan-pasukan sekutu dan bertemu panglima mereka, Abu Sufyan secara empat mata untuk membahas persoalan penting dan segera. Nu’aim berkata kepadanya, “Kalian sudah tahu cintaku pada kalian. Aku akan menyampaikan suatu hal padamu, maka tolong rahasiakan apa yang akan aku sampaikan ini.”

Mereka menyahut, “Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan, Nu’aim?"

Nu’aim berkata, “Aku baru saja menemui Bani Quraizhah. Aku tahu mereka menyesal karena telah melanggar perjanjian dengan Muhammad. Mereka mengkhawatirkan kalian pulang dan meninggalkan mereka sendirian menghadapi orang itu. Secara diam-diam mereka mengirim utusan untuk menemui Muhammad dan menyampaikan, ‘Maukah kamu jika kami menangkap sejumlah orang dari tokoh Quraisy dan Ghathafan, lalu kami serahkan mereka kepadamu, setelah itu kau mengembalikan sayap kami yang telah patah, kau mengembalikan Bani Nadhir, saudara-saudara kami, ke Madinah?’ Lalu Muhammad ﷺ menerima tawaran itu. Saat ini, mereka mengirim utusan kepada kalian, maka kalian harus waspada!”

Kemudian, Abu Sufyan mengirim utusan ke Bani Quraizhah, mengajak mereka untuk berperang pada hari berikutnya, untuk mengetahui reaksi mereka atas tuntutan tersebut.

Mereka menjawab, “Tidak mungkin kami berperang esok hari, karena besok adalah hari Sabtu. Kami tidak bisa berperang pada hari itu ataupun melakukan pelanggaran. Selain itu, kami tidak akan berperang sebelum kalian memberi kami jaminan dan kalian tidak meninggalkan kami menjadi buruan sendirian.”

Perkataan Nu’aim tampak benar bagi Quraisy, Ghathafan, dan para pasukan sekutu. Akhirnya, hati mereka terpecah belah, dan mereka merasa takut satu sama lain.

Rasulullah ﷺ memohon kepada Allah yang tiada tempat berlindung selain kepada-Nya, “Ya Allah, Dzat Yang menurunkan kitab dan cepat penghisaban-Nya! Kalahkanlah para sekutu. Ya Allah, kalahkan mereka dan tolonglah kami
atas mereka!" Allah SWT memperkenankan doa Rasul-Nya. Allah mengirim angin kencang dan dingin di tengah malam nan gelap gulita.

Para pasukan sekutu khawatir jangan-jangan Yahudi menjalin kesepakatan dengan kaum muslimin menyerang mereka di tengah malam nan gelap itu.

Mereka merasa cemas, memutuskan untuk menghentikan pengepungan, dan angkat kaki.

Sang Penjaga Rahasia, Hudzaifah

Hudzaifah berperan besar dan menjalani petualangan berani pada saat itu yang tidak kalah pentingnya dengan peran Nu’aim bin Mas’ud, sehingga pantas jika ia menjadi pemegang rahasia Rasulullah ﷺ.

la menuturkan sendiri tentang peran tersebut. Ia berkata, “Dulu, kami bersama Rasulullah ﷺ dalam perang Khandaq. Saat itu, beliau sudah mengerjakan shalat di sebagian malam, lalu beliau menoleh ke arah kami dan berkata, ‘Siapa yang mau menyusup ke dalam kamp pasukan musuh (Quraisy dan Ghathafan), mengecek kondisi mereka, lalu kembali?’

Tak seorangpun berdiri karena udara yang sangat dingin, sangat lapar, dan sangat mencekam.

Karena tak seorangpun berdiri, akhirnya Rasulullah ﷺ memanggilku, sehingga mau tidak mau aku harus berdiri saat beliau memanggilku. Beliau berkata, ‘Hai Hudzaifah! Pergilah dan menyusuplah ke tengah-tengah pasukan musuh, perhatikan apa yang mereka lakukan, dan jangan kau lakukan apapun hingga kau kembali lagi ke kami.

Saya berharap pembaca yang budiman turut memerhatikan bersama saya, bahwa Rasulullah ﷺ hanya memilih Hudzaifah, bukan yang lain. Beliau memerintahkan Hudzaifah agar tidak melakukan apapun yang mengundang perhatian sehingga misinya terbongkar, dan beliau mensyaratkan padanya harus kembali.

Semua tugas ini super sulit, ditambah lagi di tengah situasi sangat sulit.

Kita kembali ke Hudzaifah untuk menyimak kata-katanya. Ia meneruskan, “Aku pergi, lalu menyusup di tengah-tengah barisan musuh. Saat itu angin berhembus dengan kencang dan tentara-tentara Allah (para malaikat) mengobrak-abrik mereka, hingga tak ada tungku, perapian, ataupun tenda yang bisa tegak berdiri.

Abu Sufyan berdiri, lalu berkata, ‘Hai kaum Quraisy! Masing-masing harus memperhatikan siapa yang ada di dekatnya.’ Lantas, aku meraih tangan seseorang yang ada di dekatku, lalu aku bertanya, ‘Kamu siapa?’ Ia berkata, ‘Fulan bin fulan.’

Abu Sufyan kembali mengatakan, ‘Wahai kaum Quraisy! Demi Allah, kalian tak lagi bisa terus bertahan di sini. Kuda dan unta kita telah binasa, Bani Quraizhah telah mengkhianati kita, apa yang tidak kita inginkan dari mereka akhirnya kita hadapi, kita diterpa angin kencang seperti yang kalian lihat, hingga tak ada tungku yang bisa tegak berdiri, perapian pun tak bisa dinyalakan, tenda-tenda tak berdiri tegak. Maka pulanglah, karena aku akan pulang.’

Setelah itu, ia menghampiri unta miliknya yang terikat, lalu ia membangunkan untanya dan menungganginya. Demi Allah, tali pengikat ia lepaskan saat ia berdiri. (Maksudnya, Abu Sufyan bergerak cepat untuk pergi karena takut).

Saat hendak pergi, Shafwan bin Umayyah berkata kepadanya, ‘Kau adalah pemimpin kaum. Jangan kau tinggalkan mereka dan pergi begitu saja!’

Namun, Abu Sufyan tidak menggubris kata-katanya dan memberitahukan kepadanya untuk pergi. Ia menempatkan Khalid bin Walid bersama sekelompok pasukan untuk melindungi bagian belakang pasukan Quraisy yang pergi agar mereka tidak diserang dari belakang.

Ghathafan mendengar tindakan yang dilakukan Quraisy, lalu mereka bergegas pulang ke negeri kampung halaman mereka.

Andai saja Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan padaku, ‘Jangan melakukan apapun hingga kau menemuiku,’ tentu aku sudah membunuhnya dengan lesakan panah. Setelah itu aku kembali kepada Rasulullah ﷺ saat beliau tengah berdiri mengerjakan shalat. Saat melihatku, beliau langsung rukuk dan sujud. Setelah beliau salam, aku memberitahukan informasi yang aku dapat kepada beliau."

...lalu beliau mendengarkan penuturannya.

Ia meneruskan kisahnya, “Saat memasuki waktu Subuh, Rasulullah ﷺ pulang meninggalkan Khandaq menuju Madinah bersama kaum muslimin, dan mereka meletakkan senjata.”

***

Pembaca yang budiman. Seperti itulah Allah menyingkirkan kesedihan dari kaum muslimin dalarn perang Ahzab, yang saat itu para pasukan sekutu dari Arab dan Yahudi bersatu untuk menyerang kaum muslimin. Andai saja bukan karena kasih sayang Allah SWT terhadap agama nan lurus ini, niscaya situasi akan kian pelik dan kondisi akan semakin memburuk. Namun, Allah memberikan keselamatan.

Ini bukan satu-satunya tugas yang dijalankan Hudzaifah bin al-Yaman.

Masyarakat Makkah terbagi menjadi dua kubu saat Islam muncul. Kubu yang diberi petunjuk oleh Allah menuju kebenaran dan jalan lurus, dan kubu yang tetap loyal terhadap patung dan berhala, serta tetap bersikeras memegang kekafiran dan kesyirikan. Mereka ini sangat congkak.

Sementara di tengah masyarakat Madinah setelah peristiwa hijrah, muncul kubu ketiga, yaitu kubu orang-orang munaflk yang ketika berkumpul bersama kaum muslimin, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kalian.” Mereka ini dipimpin Abdullah bin Ubay bin Salul. Namun, ketika mereka kembali kepada para pemimpin mereka dan kembali ke wujud asli, mereka berkata, “Sesungguhnya, kami hanya mengolok-olok.” Kaum munafik ini menyembunyikan kekafiran dan menampakkan Islam.

Kubu ini paling berbahaya bagi Islam dan kaum muslimin. Rasulullah ﷺ dan para shahabat menghadapi beban berat dari kubu ini. Untuk itu, kubu ini harus diawasi secara diam-diam. Segala konspirasi, rencana, dan makar yang mereka galang harus diketahui. Dan Hudzaifah bin al-Yaman adalah yang terbaik untuk menjalankan tugas ini. Ia adalah mata yang selalu terbuka dan waspada untuk mengamati segala tindak-tanduk kubu ini dengan sangat rahasia, lalu menginformasikannya kepada Rasulullah ﷺ agar beliau mengetahui persoalan mereka dengan jelas tanpa diketahui oleh siapapun.

Di Tabuk

Saat perang Tabuk, Rasulullah ﷺ berangkat menuju perbatasan Syam bersama tiga puluh ribu shahabat, lokasi di mana beliau mendengar informasi pasukan Romawi berkumpul di sana untuk menyerang Hijaz.

Saat itu, sebagian kaum munafik turut berangkat bersama beliau, bukan karena ingin berperang dan berjihad, tapi untuk merencanakan sesuatu yang sangat berbahaya, karena mereka merencanakan untuk membunuh Rasulullah ﷺ.

Dalam perjalanan pulang, kelompok munafik ini menyingkap wajah kelam mereka dan tujuan hina mereka. Mereka berupaya membunuh Rasulullah ﷺ. Namun, Hudzaifah mengikuti mereka dan berhasil menggagalkan rencana mereka. Hudzaifah menyampaikan nama-nama mereka ini kepada Rasulullah ﷺ, mereka berjumlah empat belas orang. Tak seorang shahabat pun mengetahui hal ini, karena hanya diketahui Rasulullah ﷺ dan Hudzaifah saja.

Murid Pandai di Madrasah Nubuwah

Perlu disampaikan terkait kepribadian Hudzaifah, bahwa ia sangat bahagia dan senang ketika menghadiri majelis Rasulullah ﷺ. Ia sangat menikmati mendengar nasihat beliau berupa bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada beliau, arahan, pendidikan, dan pembersihan jiwa. Hudzaifah menerima dan memahaminya di dalam hati, lalu melaksanakannya di dalam kehidupan.

Karena itulah, Hudzaifah dinilai sebagai salah satu tokoh murid madrasah nubuwah, penghafal Kitabullah dan menjaga batasan-batasannya, menjaga segala perintah dan larangannya, serta meneladani dan mengamalkan sunah Al-Musthafa ﷺ.

***

Abdullah bin Umar bin Khathab menuturkan tentang hal itu. Ia berkata, “Seorang dari Bashrah bertanya kepadaku tentang menjulurkan surban di belakang punggung ketika seseorang mengenakan surban, lalu aku berkata, ‘Aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu berdasarkan ilmu, dengan izin Allah.’

‘Suatu ketika, aku berada di masjid Rasulullah ﷺ, bersama sepuluh shahabat beliau, dan aku adalah orang yang kesepuluh di antara mereka. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Abdurrahman bin Auf, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Iabal, Hudzaifah bin al-Yaman, Abu Sa’id Al-Khudri, dan aku. (Kami saat itu) bersama Rasulullah ﷺ, lalu tanpa diduga datanglah seorang pemuda Anshar. Kemudian, pemuda Anshar itu mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, setelah itu duduk, lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ Ia bertanya, ‘Lalu siapa orang mukmin yang paling pandai?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling sering mengingat kematian dan paling mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian sebelum kematian datang padanya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.’

Kemudian, si pemuda itu diam, lalu Rasulullah ﷺ menghadap kepada kami dan bersabda, “Wahai kaum Muhajirin! Ada lima perkara yang jika menimpa kalian (tentu akan mendatangkan musibah), aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak menjumpainya. (1) Tidaklah perbuatan keji (zina) muncul di tengah-tengah suatu kaum, lalu mereka melakukannya secara temng-terangan, melainkan akan muncul di tengah-tengah mereka wabah tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah ada di tengah-tengah para pendahulu mereka yang telah berlalu. (2) Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka pasti ditimpa kekeringan, beratnya beban hidup, dan kezhaliman penguasa. (3) Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka, melainkan mereka dicegah dari hujan yang turun dari langit. Andai bukan karena hewan-hewan, tentu mereka tidak diberi hujan. (4) Tidaklah mereka melanggar janji Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah menguasakan musuh dari selain mereka terhadap mereka, hingga mereka merebut sebagian yang ada dalam genggaman mereka. (5) Dan tidaklah imam-imam mereka enggan berhukum pada kitab Allah dam sombong terhadap apa yang Allah turunkan, melainkan Allah menjadikan permusuhan di antara mereka sendiri.”

Dengan pelajaran dan nasihat-nasihat seperti inilah jiwa Hudzaifah dan para shahabat secara keseluruhan mencapai keluhuran, hingga mencapai puncak kemuliaan akhlak, konsisten menjalankan kebenaran, menumpas kebatilan, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan berjihad di jalan Allah.

Sepeninggal Rasulullah ﷺ

Hudzaifah bin al-Yaman berangkat dari Madinah sebagai pejuang dan mujahid di jalan Allah bersama pasukan muslimin pada masa Abu Bakar, ‘Umar bin Khathab, dan ‘Utsman bin Affan, baik mengarah ke Timur maupun Barat.

Ia selalu berada di baris depan pasukan, karena seluruh keistimewaan seorang muslim, shahabat, mujahid, panglima, dan sosok yang selalu menjaga batasan-batasan Allah, terintegrasi di dalam kepribadiannya.

Pahlawan Penakluk

Hudzaifah bin al-Yaman ditakdirkan berada di Kufah yang pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab; menjadi tempat bertolaknya pasukan-pasukan Islam di tanah Persia, serta berbagai penjuru Irak dan Jazirah.

Ia senantiasa berjuang dan berjihad tanpa kenal lelah. Ia hadir dalam penaklukan Qadisiyah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash.

Hadir dalam peperangan-peperangan Jazirah dan Nushaibin bersama yang lain. Di setiap peperangan, ia menunjukkan pengorbanan yang baik.

Namun, peperangan terbesarnya, yang paling pantas untuk dihargai dan disebut-sebut, yang membuatnya menjadi seorang panglima penakluk, pahlawan Islam, dan mujahid adalah perang Nahawand di tanah Persia.

Perang Nahawand adalah salah satu peperangan terbesar yang tidak kalah tenar dari perang Qadisiyah dan Yarmuk.

Saat itu, Hudzaifah menjadi salah seorang panglima salah satu sayap pasukan muslimin, dan memimpin sejumlah kekuatan prajurit mukmin. Ketika Nu’man bin Muqarrin gugur sebagai syahid di dekat benteng-benteng Nahawand dan peperangan sama sekali belum selesai, Hudzaifah memegang komando tertinggi berdasarkan kesepakatan para komandan. Ia terus berperang sepanjang malam. Melalui tangannya, Allah menakdirkan kemenangan atas musuh, Nahawand takluk, dan ia memasuki kota tersebut sebagai pemenang sekaligus penakluk.

Di antara langkah bijak dan pandangannya yang jauh ke depan adalah ia menutup-nutupi kematian Nu’man untuk para prajurit agar mereka tidak lemah ataupun sedih.

Setelah itu, ia terus berkelana di tanah dan negeri-negeri Persia di bawah komando Abu Musa Al-Asy’ari.

Pasukan Islam berhasil menaklukkan Daynur, Ray, dan Azerbeijan.

Ia juga tiga kali memerangi Armenia dengan kekuatan-kekuatan pasukannya. Allah memberikan sejumlah kemenangan besar padanya kala itu.

Aksi-aksi jihadnya terus berlanjut pada masa kekhalifahan Al-Faruq (Umar bin Khathab) dan Dzun Nurain (‘Utsman bin Affan), semoga Allah meridhai keduanya.

Sangat Pencemburu Terhadap Persatuan Kaum Muslimin

Di saat Hudzaifah berada di Kufah, ia mendengar sejumlah kaum muslimin menyebarkan hal-hal yang memicu perpecahan.

Ia mendengar penduduk Kufah berpegangan pada qira’ah Abdullah bin Mas’ud, sementara penduduk Bashrah berpegangan pada qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari.

Dengan keimanan mendalam, Hudzaifah merasakan bahaya situasi ini jika tetap dibiarkan saja. Ia berkata, “Jika dibiarkan, orang-orang akan berselisih tentang Al-Qur’an, lalu mereka tidak akan pernah tegak di atasnya. Sungguh, aku melihat sejumlah orang dari penduduk Homs menyatakan bacaan mereka lebih baik dari bacaan selain mereka, dan mereka mempelajari Al-Qur’an dari Miqdad bin Amr. Aku juga melihat penduduk Damaskus mengatakan bacaan mereka lebih baik dari bacaan selain mereka. Aku melihat penduduk Kufah mengatakan hal serupa, bahwa bacaan mereka sesuai dengan bacaan Ibnu Mas’ud, penduduk Bashrah juga mengatakan serupa bahwa bacaan mereka sesuai dengan bacaan Abu Musa, dan mereka menyebut mushafnya dengan sebutan Lubabul Qulub. Demi Allah, jika umurku panjang, aku akan menemui Amirul Mukminin ‘Utsman bin Affan, dan aku akan menyarankan kepadanya agar menghalangi mereka semua dari perpecahan itu."

Kemudian, ia menempuh perjalanan jauh menuju Madinah. Setelah itu menemui ‘Utsman, berbicara kepadanya, memberikan penjelasan, dan mengingatkan bahaya itu kepadanya. Di antara yang ia katakan kepada ‘Utsman, “Aku ini pemberi peringatan nyata. Benahilah umat...!”

Hudzaifah bin al-Yaman memiliki jasa. Dan jasa yang ia upayakan begitu besar.

Khalifah Dzun Nurain mengumpulkan shahabat-shahabat Rasulullah ﷺ dan menyampaikan perihal tersebut kepada mereka. Mereka semua menganggap persoalan tersebut bukan masalah sepele, dan mereka memiliki pandangan sama seperti pandangan Hudzaifah.

Saat itulah ‘Utsman meluangkan seluruh tenaga dan upaya, mengumpulkan Al-Qur'an dengan satu qira’ah, selanjutnya disalin menjadi beberapa salinan mushaf, kemudian dikirim ke berbagai kota, dan melenyapkan mushaf-mushaf lainnya.

Hudzaifah dan Fitnah yang Menimpa ‘Utsman

Ketika fitnah yang menimpa ‘Utsman kian meningkat, fitnah yang dimotori oleh Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba Al-Yahudi, si munafik, yang memprovokasi massa di Syam dan Mesir, Hudzaifah menjauhkan diri dari fitnah ini. Ia tidak mendukung salah satu kubu pun. Bahkan, ia berusaha menyerukan persatuan dan cinta kasih, karena ia tahu pasti kelompok munafik, tahu apa saja cara-cara yang mereka gunakan dan apa tujuan-tujuan yang mereka inginkan.

Hanya saja, suara dan tindakannya terlalu lemah di tengah situasi yang tengah bergolak itu, atau tidak didengar.

Saat mendengar berita kematian ‘Utsman saat ia membaca Kitabullah, Hudzaifah menangis dan sedih, lalu berdoa, “Ya Allah! Timpakanlah laknat terhadap para pembunuh dan pencela [‘Utsman]. Ya Allah! Sebelumnya kami memang menegurnya dan ia juga menegur kami, hingga mereka menjadikannya sebagai tangga untuk menggalang fitnah. Ya Allah! Janganlah Engkau mematikan mereka kecuali dengan pedang."

***

Hudzaifah menetap di Madain hingga ajalnya tiba. Ia meninggal di sana pada tahun 36 H, dan dimakamkan di samping Salman Al-Farisi.

Di antara tutur kata yang ia ucapkan saat kematian tiba adalah, “Ini adalah saat-saat terakhir dari dunia. Ya Allah! Jika kau tahu bahwa aku mencintai-Mu, maka berkahilah pertemuanku dengan-Mu.”

Semoga Allah meridhai shahabat mulia, Hudzaifah bin al-Yaman. Murid mulia nubuwah ...

Penjaga rahasia Rasulullah ﷺ...

Mujahid di jalan Allah...

Pahlawan penakluk...

Sosok yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran...

Sosok yang menyerukan kebenaran, persatuan, keadilan, dan perbaikan hubungan di antara sesama kaum muslimin...

Dan kumpulkanlah kami bersamanya di bawah panji Al-Musthafa ﷺ.


Buku Bacaan:



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Kisah Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×