Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Dalil Haram Menyambung Rambut



4. Menyambung Rambut

Mayoritas fuqaha mengharamkan wanita menyambung rambut dengan apapun juga, baik dengan rambut, wol, sutera, atau benda apapun yang lainnya. Mereka mengharamkan hal ini dengan argumentasi hadits yang diriwayatkan Abu Zubair, bahwasanya dia mendengar Jabir bin Abdillah berkata:

“Nabi Saw. melarang keras wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dan hadits yang diriwayatkan bahwa Muawiyah berkata pada suatu hari:

“Sesungguhnya kalian telah mengambil pakaian yang buruk. Ketahuilah, sesungguhnya Nabi Saw. telah melarang dari penipuan dan kebatilan. Al-Musayyabb berkata: Lalu datang seorang laki-laki yang membawa tongkat, di atas kepalanya ada sobekan kain. Kemudian Muawiyah berkata: Ketahuilah, ini adalah termasuk penipuan dan kebatilan. Qatadah berkata: Itu adalah yang dilakukan para wanita untuk memperbanyak rambutnya dengan sobekan kain.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Hajar berkata: Hadits ini menjadi hujjah atau argumentasi bagi mayoritas ulama untuk melarang menyambung rambut dengan benda lain, baik benda tersebut berupa rambut atau bukan.

Ahmad bin Hanbal, al-Laits, dan banyak fuqaha berpendapat, bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk menyambung rambut dengan rambut, bukan dengan benda selain rambut. Mereka melontarkan pendapat seperti itu karena berargumentasi dengan keumuman hadits-hadits yang melarang menyambung rambut dengan rambut.

Bahwasanya dia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan berkata di atas mimbar saat musim haji, -dia mengambil potongan rambut dari tangan pengawalnya-: Di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah Saw. melarang dari perkara seperti ini, dan aku mendengar pula beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil binasa ketika wanita-wanita mereka memakai yang seperti ini.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi)

Di dalam satu riwayat dari jalur Said bin al-Musayyab, dia berkata:

“Muawiyah tiba di Madinah, yaitu saat terakhir dia datang di Madinah, lalu dia berkhutbah di hadapan kami, sambil mengeluarkan gulungan rambut. Ia berkata: Aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengenakan benda seperti ini kecuali orang Yahudi. Sesungguhnya Nabi Saw. menamakan ini dengan az-zuur(penipuan), yakni sambungan rambut.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Hadits yang lebih jelas dari dua riwayat di atas adalah yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Muawiyah dengan lafadz:

“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Wanita manapun yang menambahkan rambut yang bukan berasal dari dirinya ke atas kepalanya, maka itu termasuk zuur (pemalsuan) yang ditambahkannya ke atasnya.”

Hadits-hadits ini melarang menyambung rambut dengan rambut, dan menamakan hal seperti itu dengan az-zuur.

Mereka (para fuqaha) terbiasa dengan hadits yang diriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Tidak mengapa menggunakan qaramil. Ucapan ini diceritakan kembali oleh Abu Dawud. Al-Qaramiladalah tali atau ikatan yang berasal dari sutera, bulu domba (wol), atau rami, yang berlaku sebagai pita yang digunakan seorang wanita untuk menyambung rambutnya.
Sebagian ulama menyatakan: Yang haram itu adalah menyambung rambut dengan rambut manusia, tetapi tidak haram kalau disambung dengan bulu hewan yang suci, karena bagian tubuh anak Adam memiliki hak untuk dimuliakan dan tidak disalahgunakan. Selain mereka menyatakan: menyambung rambut itu boleh jika darurat atau diijinkan oleh suami.

Orang yang mencermati nash-nash dan berbagai pernyataan ini akan berkesimpulan haramnya menyambung rambut dengan rambut saja, bukan dengan benda-benda selainnya. Dalam arti, menyambung rambut dengan rambut sajalah yang diharamkan, sedangkan menyambung rambut dengan sobekan kain atau kain perca, qaramil, dan sebagainya, dihukumi mubah saja.
Hal ini karena nash-nash tersebut telah menjelaskan ‘illatlarangan, sedangkan ‘illat itu sendiri senantiasa menyertai ma’lul (hukum) dari sisi ada dan tidaknya. Ketika ‘illat itu ada, maka hukumnya pun ada, ketika 'illatnya tidak ada maka hukumnya pun menjadi tidak ada.
Illat tersebut adalah larangan melakukan pemalsuan, yakni penipuan dan kebohongan, dan ‘illatseperti ini tidak ditemukan kecuali ketika menyambung rambut dengan rambut yang semisal, atau menyambung rambut dengan benda imitasi lainnya yang menyerupai rambut sebagaimana terjadi di masa sekarang ini.
Ketika seorang wanita menyambung rambutnya dengan rambut manusia, atau menyambungnya dengan rambut imitasi yang persis rambut manusia, atau menyambung rambutnya dengan bulu hewan yang mirip rambut manusia, maka semua ini diharamkan, karena dipandang sebagai pemalsuan dan penipuan sehingga tercakup dalam larangan dan pengharaman.
Tetapi jika disambung dengan benda selainnya, di mana tidak samar bagi orang yang melihatnya bahwa itu bukan rambut si wanita tersebut, maka benda tersebut hanya dipandang sebagai perhiasan yang hukumnya mubah saja, yang tidak diharamkan oleh nash manapun.

Contoh yang dicakup oleh larangan tersebut adalah ketika seorang wanita memasang bulu binatang, atau kain perca, atau benda apapun yang disembunyikan di bawah rambutnya, agar rambutnya nampak tumbuh tebal; maka ini termasuk penipuan dan pemalsuan.
Begitu pula contoh lain yang dicakup oleh larangan tersebut ketika seorang wanita meletakkan di atas rambutnya sebuah penutup atau selubung rambut yang terbuat dari rambut manusia atau rambut yang serupa dengan rambut manusia yang disebut dengan barukah, agar orang yang melihatnya menyangka bahwa barukah tersebut adalah rambut si wanita.
Hal seperti ini tergolong penipuan dan pemalsuan yang dilarang. Namun jika barukah terbuat dari bulu binatang, atau bulu unta, atau benang wol, sehingga orang yang melihatnya bisa menetapkan dengan mudah bahwa itu bukan rambut si wanita, maka ini tidak apa-apa; karena barukah seperti itu tidak lebih hanya jadi sekedar penutup kepala seperti halnya surban, tudung kepala, dan sebagainya.
Yang harus dijadikan patokan adalah ada tidaknya ‘illatlarangan tersebut. Ketika ada unsur penipuan dan pemalsuan maka hukumnya haram. Ketika tidak ada unsur seperti itu maka benda tersebut hanya termasuk perhiasan yang mubah saja, sehingga tidak berdosa ketika dikenakan.

Perihal hadits Jabir:

“Nabi Saw. melarang keras wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Maka lafadz hadits ini berasal dari Jabir, sehingga kita tidak harus terikat dengan makna harfiahnya. Hadits ini harus berhadapan dengan hadits Muawiyah yang diriwayatkan oleh an-Nasai:

“Wanita manapun yang menambahkan ke atas kepalanya rambut yang bukan berasal darinya, maka itu termasuk zuur (pemalsuan) yang ditambahkannya ke atasnya.

Ini merupakan lafadz dari Rasulullah Saw., sehingga di hadapan kita terdapat dua lafadz yang nampak ada kontradiksi atau perbedaan di antara keduanya. Lafadz dari Jabir dan lafadz Rasulullah Saw. Jika kita katakan ada perbedaan atau kontradiksi maka kita harus membuang hadits Jabir ini dan mengamalkan hadits Muawiyah. Tetapi ketika kita katakan ada peluang mengkompromikan keduanya, maka kita harus mengamalkan opsi kedua ini.

Dengan mengkaji dua hadits tersebut, kita menemukan peluang atau kemungkinan untuk mengkompromikan dan mengamalkan keduanya secara bersamaan.
Kita akan menafsirkan lafadz Jabir tersebut dalam arti sebagai sesuatu yang berasal dari rambut, bukan benda apa saja, yakni sesuatu yang berasal dari rambut, baik sedikit ataupun banyak, sehingga perkara ini menjadi jelas. Karena jika kita menafsirkan lafadz hadits Jabir sebagai benda apa saja, niscaya akan ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits Muawiyah yang notabene merupakan lafadz dari Rasulullah Saw., sehingga kita mau tidak mau harus mengamalkan lafadz Rasulullah Saw. dan membuang lafadz Jabir.
Selain itu, penafsiran ini bertentangan dengan ‘illat larangan yang disebutkan dalam hadits Muawiyah, yakni pemalsuan dan penipuan, karena ‘illat pemalsuan itu tidak ditemukan dalam menyambung rambut dengan kain perca dan yang semisalnya, sehingga tidak ada alternatif selain penafsiran yang pertama atau membuang hadits tersebut sama sekali.
Tentu saja penafsiran yang pertama tadi lebih baik daripada membuang hadits. Mereka yang mengharamkan menyambung rambut dengan kain perca tidak bisa menerima hadits Muawiyah yang ber'illat itu, kecuali dengan sangat dibuat-buat, karena mereka tidak bisa mengkompromikan antara mengharamkan menyambung rambut dengan kain perca dengan mengharamkan menyambung yang ditandai pemalsuan. Ini sangat jelas.
Adapun ketika mereka mengutip hadits Muawiyah yang ditakhrijoleh Muslim dan Ahmad:

“Lalu datang seorang laki-laki yang membawa tongkat, di atas kepalanya ada sobekan kain. Muawiyah berkata: Ketahuilah, ini adalah termasuk penipuan dan kebatilan.”

Maka tindakan mereka mengutip hadits ini tertolak dengan dua alasan.
Pertama, ini merupakan pemahaman yang berasal dari Muawiyah. Pemahaman Muawiyah itu bukan dalil syar’iy.
Kedua, riwayat ini bertentangan dengan riwayat lain yang mengatakan bahwa benda yang ditunjukkan Muawiyah adalah potongan rambut (qushshatu sya’rin), dan riwayat ketiga yang menyebutkan bahwa benda yang dipegang Muawiyah itu adalah gulungan rambut (kubbatun min sya’rin), sehingga bagaimana mungkin kita mengambil satu riwayat yang menyendiri, seraya meninggalkan dua riwayat yang saling menguatkan?

Mengenai pernyataan sebagian ulama, bahwa menyambung rambut itu jika dilakukan karena darurat, seperti sakit misalnya, maka tidak apa-apa, merupakan pernyataan yang tertolak berdasarkan hadits Asma, dia berkata:

“Seorang perempuan bertanya pada Nabi Saw., dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya puteriku terkena penyakit campak, sehingga rontok rambutnya, dan aku hendak mengawinkannya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya? Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan yang minta disambung.” (HR. Bukhari)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan lafadz yang lain:

“Apakah aku boleh menyambung rambutnya? Maka Rasulullah Saw. mencela orang yang menyambung rambut dan meminta disambung rambutnya.”

Di sini terdapat dua riwayat. Salah satunya berisi kutukan, sedangkan yang lain berisi celaan. Keduanya merupakan ungkapan larangan yang paling jelas.
Kemudian kebutuhan dari menyambung rambut tersebut adalah mengobati penyakit, bukan mengobati kondisi yang diakibatkan oleh penyakit. Perbedaan di antara keduanya sangat luas.
Kemudian, dari mana pembolehan sesuatu yang haram karena alasan darurat ini berasal? Pernyataan ini tidak ragu lagi bertentangan dengan hadits, dan sama dengan membatalkan hadits. Ini merupakan pernyataan tidak benar yang tidak seharusnya dilontarkan.

Tinggallah kini membahas pernyataan yang dilontarkan oleh mereka yang mengatakan bahwa menyambung rambut itu boleh jika dilakukan sepengetahuan dan seijin suaminya. Pernyataan seperti ini tertolak berdasarkan keumuman hadits yang melarang menyambung rambut tanpa adanya takhsisatau taqyid (pembatasan) sepengetahuan dan seijin suami.
Juga tertolak berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:

“Sesungguhnya aku telah mengawinkan puteriku, tetapi rambutnya rontok, sedangkan suaminya memintanya untuk memperbaikinya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya wahai Rasulullah? Maka beliau Saw. tetap melarangnya.”

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari: “Al-Laits berpendapat, juga Abu Ubaidah telah menukil dari banyak fuqaha, bahwa yang dilarang itu adalah menyambung rambut dengan rambut. Adapun ketika menyambung rambut dengan selain rambut, misalnya dengan sobekan kain, maka tidak termasuk dalam larangan di atas.”
Ibnu Hajar menambahkan:
“Sebagian dari mereka membagi antara menyambung rambut dengan selain rambut yang setelah diikatkan disembunyikan/ditutupi dengan rambut, agar disangka itu adalah rambut, dengan sambungan yang nampak jelas. Sekelompok orang melarang yang pertama saja karena di dalamnya ada pemalsuan, dan pendapat ini cukup kuat. Tetapi di antara mereka ada juga yang membolehkan menyambung rambut secara mutlak, baik disambung dengan rambut atau dengan selain rambut, dengan syarat sepengetahuan dan seijin sang suami. Dan hadits-hadits yang disebutkan dalam bab ini menjadi argumentasi yang meruntuhkan pendapat mereka.”

Ringkasnya, menyambung rambut dengan rambut manusia semisalnya, atau dengan sesuatu yang menyerupai rambut manusia, seperti bulu hewan atau rambut imitasi, itu haram seluruhnya. Sedangkan menyambung rambut dengan benda lain yang jelas dan nampak berbeda, itu boleh-boleh saja, alias tidak berdosa, karena dipandang termasuk perhiasan yang dibolehkan Allah Swt. untuk kaum wanita, seperti qaramil, menancapkan bunga imitasi dan bunga alami, memakai pita dan perhiasan lain yang nampak jelas bahwa itu bukan rambut. Hal itu hukumnya boleh-boleh saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Dalil Haram Menyambung Rambut

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×