Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Cara Negara Khilafah Memberlakukan Asas Praduga Tak Bersalah


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Islam menghormati termasuk hak dan kewajiban, juga kehormatan setiap warga negara, Baik Muslim Maupun non-Muslim, yang hidup di dalam naungan khilafah. Hak dasar seperti kehormatan, nama baik dan kesetaraan di depan hukum merupakan hak setiap warga negara. Semua orang, dalam hal ini baik Muslim maupun non-Muslim, mempunyai hak yang sama. Mereka harus dihormati. Nama baik mereka tidak boleh dicemarkan, dan mereka harus diperlakukan dengan perlakuan yang sama di depan hukum. Tanpa melihat status sosial, agama, dan gender.

Sebagai bentuk penghormatan Islam terhadap hak ini, maka para fuqaha’ menetapkan kaidah "Al-Ashl bara'atu ad-dzimmah”. Manusia, siapapun, baik Muslim maupun non-Muslim, hukum asalnya dinyatakan tidak bersalah. Karena itu, dalam Islam juga berlaku prinsip, siapa yang menuduh orang lain bersalah, maka dialah yang harus membuktikan bahwa orang tersebut memang bersalah. Sebaliknya, bagi orang yang dituduh dan mengingkari tuduhan atas dirinya, ketika tidak ada bukti, cukup dimintai sumpah yang menyatakan penyangkalannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah syara', ”al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yamin 'ala man ankara.”

Dua kaidah di atas, yaitu "Al-Ashl bara'atu ad-dzimmah” dan ”al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yamin ‘ala man ankara”adalah dua kaidah yang saling melengkapi, dan menunjukkan filosofi Islam dalam menjaga hak-hak dasar setiap warga negara. Berdasarkan kedua kaidah ini, Islam benar-benar menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik setiap orang. Sampai Nabi SAW menyatakan, ”Sabbu al-Mu'min fusuq.” [Mencela orang Mukmin merupakan kefasikan].

Jika kehormatan dan nama baik setiap warga negara dijaga sedemikian rupa oleh negara, apalagi nyawanya. Karena itu, Islam menetapkan vonis hukum benar-benar berdasarkan bukti yang kuat, dan nyata [dhahir], bukan dugaan [sara'ir]. Sebagaimana sabda Nabi, ”Nahkumu bi ad-dhawahiri wa-Llahu ya'lamu as-sara'ir" [Kita menjatuhkan vonis berdasarkan bukti yang nyata, sedangkan yang tidak nyata, Allahlah yang Maha Tahu]. Dalam riwayat lain, Nabi SAW menyatakan, "Idara'u al-hudud bi as-syubhat” [Cegahlah sanksi hudud itu dengan adanya syubhat]. Selama masih ada syubhat saja kita harus mencegah agar tidak menjatuhkan sanksi, apalagi jika tidak atau belum terbukti, dan baru sekadar dugaan. Sudah begitu, dengan ringan nyawa orang dihilangkan.

Inilah uniknya Islam. Sistemnya yang saling melengkapi, hukumnya konsisten dan tidak saling berbenturan satu dengan yang lain. Karena sistem ini adalah sistem yang diturunkan oleh Allah. Berbeda sama sekali dengan sistem lain, buatan manusia.

Vonis Berdasarkan Bukti Meyakinkan

Ketika Islam menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik seseorang, baik Muslim maupun non-Muslim, Islam menetapkan beberapa hukum syara', antara lain:

  1. Al-Ashl bara'atu ad-dzimmah” [Manusia, siapapun, baik Muslim maupun non-Muslim, hukum asalnya dinyatakan tidak bersalah]. Sampai bisa dibuktikan, dengan bukti yang meyakinkan, bahwa dia bersalah.

  1. "al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yamin 'ala man ankara” [Pembuktian adalah kewajiban pihak penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang menyangkal tuduhan].

  1. al-Hukmu bi ad-dhawahiri” [Menjatuhkan vonis berdasarkan bukti nyata dan tampak, bukan yang tersembunyi dan tidak tampak].

  1. Keharaman berburuk sangka, mengorek, memata-matai dan membongkar aib orang lain.

  1. Keharaman mencela orang Mukmin, karena hukum asal Mukmin adalah baik. Karena itu, jika mencela saja haram, lebih haram lagi menjatuhkan vonis tanpa bukti. Terlebih lagi, membunuhnya dengan cara ekstra yudisial.

  1. Pengadilan bahkan harus membatalkan vonis hudud, termasuk hukuman mati, jika ada syubhat.

  1. Islam juga menetapkan pembuktian [bayyinah], dalam bentuk kesaksian [syahadah], pengakuan [iqrar], sumpah [yamin] dan dokumen tertulis [wasa'iq].

  1. Satu-satunya lembaga yang bisa menjatuhkan vonis adalah pengadilan, bukan yang lain. Keputusan pengadilan bersifat mengikat bagi siapapun, termasuk aparat dan khalifah.

Inilah di antara hukum-hukum Islam yang luar biasa, terkait dengan penghormatan Islam terhadap kehormatan, nama baik dan nyawa manusia. Hanya saja, semuanya ini tidak bisa berjalan, jika tidak ditopang dengan sistem peradilan yang jujur, adil, dan dibangun berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT. Karena itu, para fuqaha' telah menulis banyak kitab tentang sistem peradilan, syarat, tunjangan dan pendapatan hakim, perilaku dan pergaulan mereka dengan masyarakat. Dengan demikian, baru hukum-hukum di atas bisa diwujudkan dengan baik.

Dengan sistem peradilan seperti ini, maka vonis hukum benar-benar dijatuhkan dengan seadil-adilnya. Karena, ketakwaan hakim menyadarkan dia, bahwa salah satu kakinya menapaki neraka. Jika dia salah, dan sengaja melakukan kesalahan, termasuk jual-beli vonis hukum, tentu Neraka tempatnya. Sebab, seluruh eksekusi yang dilakukan oleh penegak hukum, baik polisi, algojo maupun yang lain, semua bermuara pada keputusannya.

Keputusan hakim di mahkamah, bagi kasus khushumat, maupun di luar mahkamah baik dalam kasus hisbahmaupun mazalim, semuanya didasarkan pada alat bukti di atas. Semuanya bersifat nyata [dhahir], dan meyakinkan, bukan dugaan. Bahkan, ketika masih ada syubhat, khususnya dalam kasus hudud, hakim tidak boleh menjatuhkan vonis hukum.

Islam Tak Kenal Ekstra Yudicial

Vonis di luar pengadilan tidak dikenal dalam Islam. Tindakan ekstra yudisial ini juga identik dengan tindakan koboi, barbar dan tindakan bangsa yang tidak berperadaban. Apapun kasusnya, semuanya bisa diselesaikan oleh Islam melalui tiga mekanisme peradilannya, baik khushumat, hisbah, maupun mazalim.

Betapa tidak, Islam hadir untuk mengakhiri tradisi Jahiliyah, maka Islam jelas harus lebih berperadaban dibanding tradisi Jahiliyah itu. Di zaman Jahiliyah saja, orang kafir Quraisy tidak mau menangkap Nabi dengan mendobrak pintu dan atau membangunkan baginda dari tidurnya di malam hari. Mereka harus menunggu hingga pagi. Ini adalah tradisi Jahiliyah. Sementara Islam datang untuk menggantikan tradisi ini, maka tentu Islam harus lebih tinggi dari tradisi Jahiliyah ini. Itulah, mengapa hukum Islam begitu luar biasa menghormati hak dan kehormatan individu.

Islam hadir dengan seperangkat sistem, termasuk menetapkan tidak boleh ada eksekusi terhadap siapapun yang dilakukan di luar keputusan pengadilan, dan atau khalifah. Karena, jika keputusan yang dilakukan di luar pengadilan ini digunakan, maka keputusan ini akan mengabaikan hak dan kehormatan individu, serta hukum-hukum Islam yang lain. Polisi atau aparat keamanan hanya alat negara. Polisi dan aparat keamanan tidak bisa mengambil tindakan sendiri, tanpa keputusan pengadilan, dan atau khalifah.

Jika polisi atau aparat keamanan harus menindak individu atau kelompok yang dianggap melanggar hukum, maka tindakan itu hanya ada dua kemungkinan: Pertama, atas keputusan hakim, baik hakim khushumat, hisbah, maupun mazaIim. Kedua, keputusan khalifah. Di luar itu, sama sekali polisi dan aparat keamanan tidak boleh mengambil tindakan, terlebih membunuh orang Islam, yang tidak atau belum terbukti bersalah.

Jika ada polisi atau aparat keamanan melakukan tindakan ekstra yudisial dalam sistem Islam, baik berdasarkan keputusan hakim maupun khalifah, maka tindakan mereka dianggap kriminal. Pelakunya, baik individu maupun kelompok, bisa dijatuhi sanksi. Sanksinya bergantung pada kesalahan yang dilakukan. Mereka juga akan diperlakukan sama dengan rakyat yang lain, yang melakukan tindakan kriminal. Wallahua'lam. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 172
---



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Cara Negara Khilafah Memberlakukan Asas Praduga Tak Bersalah

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×