Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Masjid Tuha Saksi Bisu Kekuasaan Khilafah Islam Di Aceh



HM Ali Yunus, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Besar

Khalifah Perintahkan Kerajaan-Kerajaan Di Aceh Bersatu

Indrapuri pada masa zaman Sultan Al-Qahhar, Iskandar Muda hingga raja-raja selanjutnya masih menjadi pusat peradaban Islam, dari pusat pendidikan, peradilan, hingga pusat ekonomi. Karena saat itu, daerah Aceh ini terkenal dengan hasil bumi, lada. Gampong Indrapuri saat itu dikenal sebagai ibukota 22 mukim. Namun pada masa Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin ibukota Aceh Darussalam dipindahkan ke Lamteh karena saat itu ada keluarga kerajaan di sana.

Aceh kala itu telah menjadi bagian dari Kekhilafahan Utsmaniyah. Bahkan penggabungan beberapa kerajaan kecil di Aceh menjadi sebuah kesatuan kerajaan, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam berada di bawah perintah Khalifah di Turki Utsmani. “Ibaratnya seperti hari ini, sebuah wilayah tak akan menjadi sebuah negara bila tanpa persetujuan PBB,” ujar Ketua MAA Aceh Besar Tengku Cut Ali Yunus.

Saat proses pembongkaran relief Candi Indrapuri hingga menjadi sebuah Masjid juga melibatkan para tentara dari Khilafah Utsmaniyah yang saat itu masih berada di Aceh. []

Masjid Tuha Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar

Nuansa zaman dahulu saat Kerajaan Hindu masih berkuasa di Aceh begitu kental tatkala memperhatikan masjid ini dari luar, apalagi ketika masuk ke dalam beranda. Pasalnya, tembok berbentuk seperti punden berundak tiga tingkat dengan ketinggian 1,46 meter masih berdiri dengan kokoh. Dari depan, separuh masjid bagian bawah tidak tampak karena tertutupi dengan pagar tembok. Saat masuk melewati pagar pembatas masjid, maka akan ditemukan sebuah kolam di tengahnya. Air di kolam ini dipakai sebagai air untuk berwudhu.

Masjid bersejarah tersebut terletak di Pasar Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, berjarak sekitar 24 km ke arah utara Kota Banda Aceh. Bangunan masjid berdiri di atas tanah seluas 33.875 m2, di pinggir sungai yang memisahkan Pasar Indrapuri dengan jalan raya Medan-Banda Aceh. Ukuran masjid 18.8 x 18.8 meter, dan tinggi 11.65 meter. Masjid ini memiliki ”dua saudara” lainnya, yakni Masjid Indrapatra dan Indrapurwa -Masjid Indrapurwa sudah ditelan aliran air sungai.

Awalnya Memang Candi

Masjid yang dibangun sekitar abad ke-10, awalnya memang sebuah candi milik penganut agama Hindu dari Kerajaan Poli atau Lamuri. Namun, sejak penyebaran Islam sampai ke Aceh, banyak pemeluk Hindu yang akhirnya menganut agama Islam. Sehingga Candi Indrapuri ini tidak lagi terpakai dan ditinggalkan oleh para penganutnya.

Dibangun dengan konstruksi kayu dan didirikan di atas lantai ke empat candi. Para tentara Khilafah Turki Utsmani juga ikut merombak Candi Indrapuri menjadi masjid. Dan mulai dipugar kembali pada sekitar tahun 1992-1995 oleh pemerintah daerah Aceh melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan tidak mengubah bentuk awalnya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh dua orang pengurus Masjid Tuha Indrapuri saat menemani Media Umat melihat-lihat masjid bersejarah tersebut.

Proses penyebaran Islam melalui jalan damai telah menarik perhatian banyak pihak membuat Islam diterima oleh masyarakat Aceh saat itu. Menurut buku Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, pengaruh kebudayaan Islam semakin tampak setelah Islam muncul sebagai kekuatan politik di daerah ini. Pada mulanya didirikan beberapa kerajaan kecil, seperti Peurelak, Samudera Pasai, Aceh, Daya dan lain-lain, kemudian pada awal abad ke-16 kerajaan-kerajaan tersebut dipersatukan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan-kerajaan inilah yang telah turut berperan dalam mewujudkan sendi-sendi masyarakat Islam di daerah Aceh.

Menurut penuturan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Besar Tengku Cut Ali Yunus kepada Media Umat, bersatunya kerajaan-kerajaan ini menjadi Kerajaan Aceh Bandar Darussalam atau Aceh Darussalam diketahui dan atas perintah dari Khalifah Utsmaniyah saat itu.
Puncak kejayaan Aceh Darussalam dimulai pada abad ke-17. Di Aceh kala itu banyak berdiri pusat-pusat dan lembaga pendidikan dari tingkat gampong (desa) hingga tingkat ibukota.

Maka, tak mengherankan ketika itu banyak ahli dari Khilafah Utsmaniyah datang membantu proses pengembangan teknologi dan penguatan angkatan perang darat dan laut Kerajaan Aceh Darussalam. Sejarah mencatat, jumlah para ahli dari daulah Khilafah yang datang ke Aceh berjumlah ratusan orang. Para ulama dari berbagai wilayah kekhilafahan juga datang dan menjadi ulama di sini hingga akhir hayatnya. Begitupula dengan para pujangganya. Di antaranya ada Syiah Kuala, Nurrudin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri dan lain-lain.

Jadi Masjid Ibukota

Setelah dirombak dan difungsikan secara totalitas menjadi masjid oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1207 H (1618 M), fungsinya juga diganti menjadi masjid ibukota saat itu. Sultan lskandar Muda memanfaatkan masjid ini sebagai pengadilan dan sebagai tempat pemutusan berbagai perkara lainnya sebelum akhirnya dijadikan sebagai kebijakan politik Kerajaan Aceh Darussalam.

Masjid ini juga dijadikan sebagai tempat pelantikan Sultan Aceh. Adalah Muhammad Daud Syah dinobatkan sebagai Sultan Aceh pada tahun 1878 M. Upacara penobatan ini diselenggarakan di Masjid Indrapuri. Sedangkan pengukuhannya dilaksanakan di Masjid Raya Baiturrahman.

Bila ingin memutuskan sebuah jawaban atas sebuah perkara, Sultan Iskandar Muda dikabarkan menaiki gajah menuju masjid itu. Saat ini batu bekas pijakan gajah sang sultan masih dapat disaksikan di daerah tersebut.

Selain berfungsi sebagai tempat pemutusan hukum Islam, di sekitaran masjid juga didirikan dayah (pesantren). Hal ini terjadi saat Sultan Muhammad Daud Syah diculik oleh Belanda pada tahun 1903. Para ulama pun akhirnya turun gunung untuk menghidupkan kembali pendidikan bagi anak-anak Aceh. Di masa itu, Panglima Polem berinisiatif mendirikan dayah di halaman Masjid lndrapuri. Lalu beliau memanggil Teungku Hasballah Indrapuri untuk mengajar di Dayah ini. Salah seorang ulama Aceh yang juga sempat belajar dan mengajar di Dayah ini ialah Syeikh Muhammad Waly al-Khalidy dari Labuhan Haji.

Jadi Markas Mujahidin

Sedangkan pada masa perang kolonial, Masjid Tuha Indrapuri dijadikan sebagai markas para mujahidin Aceh melawan penjajah kaphe (kafir) Belanda. Di antaranya adalah Teungku Chik Di Tiro ikut menjadikan masjid ini sebagai benteng pertahanan, sampai ia wafat. Setelah Istana Kerajaan berhasil direbut Belanda di tahun 1874, Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Indrapuri. Baru kemudian berpindah ke Keumala setelah Montasik jatuh pada tahun 1878.

Saat ini Masjid Tuha Indrapuri menjadi obyek wisata, fungsinya sebagai masjid tidak begitu lagi kentara. Hanya shalat lima waktu saja yang masih berjalan di masjid ini. Sedangkan shalat Jum’at sudah dipindahkan ke Masjid Indrapuri yang baru. Mengingat masjid ini tidak memiliki ruangan yang luas, karena pemerintah daerah melarang perluasan masjid disebabkan masjid ini telah menjadi obyek wisata. Sementara pengajian hanya kadang-kadang saja diadakan.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 165, Januari 2016
---



This post first appeared on NEOPLUCK, please read the originial post: here

Share the post

Masjid Tuha Saksi Bisu Kekuasaan Khilafah Islam Di Aceh

×

Subscribe to Neopluck

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×