Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Kita, Kaum Luddites

Ini kisah klasik yang mungkin akan terus berulang hingga ke jaman anak-cucu-cicit-cucut kelak.

Sebagian besar kita Saat Ini Sedang menjalani, menghidupi, atau menghidupkan lagi apa yang disebut sebagai the Luddite  Fallacy—alias kekeliruan berpikir a la kaum Luddite.  Kesesatan penalaran ini dinamakan demikian oleh sejarah atas dasar apa yang dulu dilakukan oleh kaum  Luddites di awal abad 19 (tahun 1811-an) di era Revolusi Industri.  Mereka–para pekerja tekstil di Inggris yang merasa terzolimi, yang merasa hak-haknya terampas—mengamuk menghancurkan mesin-mesin tekstil. Amarah mereka dipicu ketakutan terhadap dampak teknologi yang akan merampas rejeki mereka. Akibatnya: industry pertekstilan Inggris pun mengalami kemajuan dalam hal kemunduran (setback).

Dua dekade kemudian, di Perancis tepatnya pada 1845, ekonom  besar Frederic  Bastiat menulis sebuah satir yang kelak tersohor: The Candle Maker’s Petition.  Dalam Economic Sophisms, Bastiat menuliskan tentang bahayanya proteksionisme atau upaya “perlindungan” pemerintah lewat tarif.  Diceritakanlah bagaimana para produsen lilin, lampu, lentera, minyak dan semua unsur terkait dalam industry tersebut berbondong-bondong menyampaikan petisi. Tujuannya: meminta pemerintah agar jadi juru pelindung mereka dari persaingan yang amat-tak-sehat dengan sinar matahari. Pemerintah, sesuai isi petisi, seharuskan mengharuskan agar semua pemilik bangunan menutup gorden/tabir masing-masing yang semua jadi legap tanpa sinar matahari. Argumennya: kalau orang-orang mencegah masuknya cahaya, maka konsumsi lilin dan alat penerangan akan naik. Penjualan, diyakini, bakal meningkat; semua orang  akan lebih makmur tanpa matahari.

Lewat satir tersebut Bastiat ingin mengajarkan kita: memaksa orang untuk membayar ekstra saat ada pilihan yang lebih murah adalah bentuk penyia-nyiaan.  Ongkos penerangan yang naik jelas akan menguntungkan sebagian orang, tetapi biaya ekses ini tidak perlu terjadi dan tidak lain bentuk pemborosan sumber daya. Penyiaan akan mengalihkan sumber daya (uang) dari penggunaannya untuk produksi/konsumsi lain.  Alih-alih menguntungkan perekonomian, proteksi justru akan menciutkan alokasi pendapatan untuk belanja (disposable income) semua orang dengan meningkatkan biaya hidup umat.

Di banyak kota di Indonesia saat ini sedang terjadi benturan kepentingan dan benturan opini tentang seputar transportasi konvensional vs yang berbasis online.  Pemerintah pun memainkan kartu trufnya, sekarang lewat regulasi tarif.  Siapa yang mau kita bela? Apa dasar pembelaan kita?  Ah, tak usahlah dipertanyakan lagi, sebab semakin dipertanyakan, semakin bingung kita dengan ketidakkonsistenan prinsip.

Banyak di antara kita yang setuju dengan pengaturan tarif.  Salah satu alasannya: ini bukan masalah mematikan inovasi, bung,  tapi demi kesinambungan ekonomi dan sosial.  Lha kalau kamu tidak setuju, kamu mau bela siapa? Masyarakat yang punya mobil pribadi?   Orang-orang yang bisa beli mobil ratusan juta, tapi riuh kalau tarif naik barang serebu dua rebu?

Sebagian kita yang “ekonom” berpendapat: kalau Indonesia ingin keluar dari middle income trap, kelas menengahnya tidak boleh mau yang murah terus-terusan dong.  Kalau gaji sudah tinggi, masak masih mau bayar asisten rumah tangga per bulan 800 ribu doing?

Kita yang pro dengan taksi konvesional berdalih: jelas saja para online taksi bisa beroperasi lebih murah, sebab sebagian  biaya operasi perusahaan sudah ditransfer ke para sopir yang mengkredit mobilnya. Playing field-nya tidak level; makanya pemerintah harus mengatur level tarif batas bawah.

Kita tak perlu menuding.  Kita tak perlu belajar dari Bastiat, apalagi percaya pada kekuatan pasar.  Kaum Luddites adalah sebagian kita yang menjelma sebagai rakyat, sebagai pengusaha, dan sebagai penguasa.

Kitalah kaum Luddites itu–involusioner sejati yang siap membawa negeri ini semakin jauh dan dalam ke liang keterpurukan.



This post first appeared on Akal Dan Kehendak, please read the originial post: here

Share the post

Kita, Kaum Luddites

×

Subscribe to Akal Dan Kehendak

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×