Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

JUNI 2004 (2)

Sesampai di rumah, halaman tampak sepi. Aku dan Chardo segera masuk ke rumah. Kulihat Luis digendong ibunya. Semangkok nasi tim untuk sarapan Luis sudah ada di atas meja makan makan. Sambil mengangkat mangkok itu, tiba-tiba istriku berteriak sangat keras dan panjang. Mirip lolongan serigala yang sering ada dalam film horor. Lantang. Seakan-akan ingin menyuarakan kekosongan hatinya. Aku sangat miris.


Aku langsung berdiri tetapi tiba-tiba tak dapat bergerak. Aku mencoba sadar melakukan sesuatu untuk anakku Luis. Ia menekuk tengkuknya, menyembunyikan wajahnya ke balik selendang gendongan ibunya. Aku menunggu saat yang tepat dan aman karena sesuatu bisa saja terjadi pada situasi seperti ini. Aku tak boleh gegabah dan salah.

Ruangan hening. Luispun diam. Mataku berkeliling mencari Chardo  yang tak ada diruangan itu, entah kemana. Mataku terus mencarinya dan kemudian cepat kembali kutatap Luis. Sekilas sempat kulihat di pintu kamar tidur yang sedikit terbuka, mata Chardo sedang mengintip untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Tangis Luis kini memecah keheningan. Aku maju pelan, mendekat untuk mengambilnya dari gendongan istriku. Ia beringsut sedikit dan tidak mau menyerahkan Luis padaku. Aku kembali menunggu. Kuperhatikan dengan seksama apa yang akan dilakukannya. Mataku tak beralih sedikitpun untuk memastikannya semuanya aman-aman saja. 

Istriku mulai sibuk mengaduk-aduk nasi tim dalam mangkok yang ia pegang. Matanya menyorotkan emosi yang dalam. Meski tak ada lagi ungkapan verbal dari mulutnya, namun gerak bibir dan tubuhnya masih menyiratkan kemarahan yang ia tahan.

Aku mencoba menggoda Luis sebisaku untuk menghiburnya. Ia masih menangis. Tangisannya makin kencang ketika kemudian ibunya memberikan suapan pertama ke mulut Luis. Mataku basah, merasakan ketakutan yang mungkin sedang dialami anakku. Aku menjadi sangat sedih kenapa Luis yang baru berusia 13 bulan harus menerima kenyataan semacam ini.

Aku tak dapat berlama-lama hanyut dalam kesedihan. Aku juga tak dapat mengambil alih Luis darinya untuk menyelesaikan makan paginya. Sementara Chardo harus berangkat sekolah juga. Tak banyak waktu yang tersisa untuk segera mengantarnya ke sekolah. Sebisanya kubantu menyiapkan peralatan dan bekal sekolah yang akan dibawanya, juga memakaikan jaket untuk perjalanannya. 

Beberapa kali aku masih mendengar istriku mendaraskan kredo ”tuntutan tak terbatas” padaku sambil tangannya sibuk menyuapai Luis. Di sisi, ini nalurinya sebagai seorang ibu masih cukup baik, meski tak lagi mengerti bagaimana menciptakan ketenangan untuk seorang bayi.

Aku dan Chardo sudah siap di atas sepeda motor. Sambil membuka gerbang halaman depan, kami berhenti sejenak memberi beberapa pesan untuk pembantuku memberesi pekerjaan. Tiba-tiba sepasang sandal kayu melayang persis di samping kepalaku. Sandal itu terjatuh di depan sepeda motor. Di depan pintu ruang tamu sana, istriku berdiri dengan sorot mata liar. Luis masih digendongannya. Ia berkacak pinggang penuh kemarahan. Seakan-akan ingin menelan aku dan Chardo yang mencoba lari dari terkamannya. Sandal kayu yang sebelah tergeletak di dekat kakinya.

Saat itu kulihat ada beberapa tetangga yang menyaksikan adegan itu. Tak ingin lebih banyak hal yang dapat disaksikan para tetangga, aku segera tancap gas menuju ke sekolah Chardo, tanpa menghiraukan apa yang dilakukan istriku selanjutnya.

Kami sudah dalam perjalanan naik motor ke sekolah. Aku berusaha mengajak ngobrol anakku. Pelan-pelan kurasakan nada ketakutannya mulai menghilang. Aku bilang kepadanya, kemungkinan tidak pulang ke rumah setelah mengantarnya. ”Bapak ingin menunggumu di jalan atau di sekolah saja,” ujarku.

"Nggak apa-apa pak!” jawabnya seperti sedang menghiburku. ”Jam 12.00 aku kan sudah pulang. Jadi bapak hanya menunggu 2 jam. Mungkin lebih baik begitu daripada bapak takut berada di rumah,'" katanya seakan-akan membaca perasaanku yang memang ingin menghindar dari segala persoalaan seputar tingkah laku ibunya pagi ini.

Chardo kuturunkan persis di depan gerbang sekolah. Beberapa temannya juga masih berdiri di luar pagar sekolah. Seperti biasanya ia minta tanda salib di dahinya, sebagai tanda berkat Tuhan untuknya. Ini kebiasaanku untuk mereka ketika mau berpisah atau menjelang tidur.

Aku keluar dari halaman sekolah dan mulai berpikir kemana aku akan pergi menghabiskan dua jam ini. Dalam kekosongan pikiranku aku ingat ada teman kuliahku dulu membuka usaha kursus bahasa Inggris dan mental Aritmatika di sebuah komplek perumahan. Jaraknya ± 6 km dari sini. Aku bergegas ke sana dan akhirnya bisa bertemu, ngobrol sampai jam 11.00. Sebelum sampai disana aku sempatkan untuk sarapan soto di sebuah warung kaki lima di dekat komplek perumahan itu.

Aku langsung kembali ke sekolah, karena sudah tidak tahu melakukan apa lagi. Sambil menelusuri jalan menuju sekolah, aku sempat berpikir untuk berkeliling sebentar di sekitar wilayah ini sekaligus untuk lebih mengenal kawasan ini yang kebetulan adalah bagian dari wilayah pelayanan parokiku. Ada beberapa kawan Nahdliyin anggota Nahdlatul Ulama yang sering bertemu di forum antar umat beragama di kotaku, tinggal di sekitar kawasan ini. Siapa tahu aku bertemu mereka dan bisa bersilaturahmi.

Belum jam 12.00 aku sudah sampai di halaman sekolah. Badanku terasa pegal. Aku memilih tempat menunggu agak ke pojok agar tidak bertemu dengan para guru atau Ketua Yayasan Sekolah yang kebetulan teman dekatku. Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak sreg karena belum mandi dan berpakaian tidak rapi.

Ketika bel berdering tanda sekolah usai, kulihat segerombolan anak-anak berhamburan keluar. Aku belum beranjak dari tempatku. Mataku menyapu ratusan kepala yang bergerak kesana kemari di bawah sinar matahari yang sangat terik siang itu. Ternyata tak mudah menemukan anakku sendiri diantara kerumunan siswa yang serentak berhamburan di halaman parkir sekolah itu.

“Hei Pak!” tiba-tiba mereka berdua sudah berdiri disamping motor.

“Hei juga! Bagaimana sekolahmu hari ini?” aku menarik lengan John dan Chardo  kearahku agar lebih mudah membantu mereka mengenakan jaket.

“Baik pak. Semuanya menyenangkan!.” katanya riang. “Ehh, bapak tadi jadi nunggu di sini ya?”

“Iya, tapi bapak sempat jalan-jalan dulu ke rumah teman,” jawabku sambil mengusap-usap rambut anak-anakku.

“Ya, sudah. Ayo kita pulang, pak!”

Mereka berdua naik ke atas motor dan duduk di belakang. Chardo ditengah. Tangannya dilingkarkan di perutku yang sedikit buncit.

Di sepanjang perjalanan pulang tak sedikitpun kulihat sisa perasaan takutnya tadi pagi. Aku bersyukur melihatnya seperti ini. Sering aku merasa prihatin bila menyimak situasi rumah tanggaku yang pasti membuat anak-anak seumur mereka ini bingung, tertekan, sedih, malu, takut atau mungkin juga hanya menyadari beginikah hidup yang sebenarnya? Bisa jadi, anak-anakku bertanya, beginikah hati setiap anak, harus menghadapi berbagai persoalan tekanan dari orang tua sendiri, yang datangnya bisa kapanpun tanpa dapat dihindari? Apakah setiap anak memang sepantasnya harus mampu memisahkan dunianya sendiri yang penuh tawa-ceria dengan dunia keluarga yang tak dapat ia mengerti mesti setiap saat harus siap menangis, dicambuk amarah, didera ketakutan, dipaksa mengerti apa yang sebenarnya tidak ia mengerti?

Aku tidak mau hal seperti itu yang ada dalam perasaan mereka. Aku ingin mereka menikmati dunia mereka sendiri, dunia anak-anak, dunia penuh keindahan, dunia yang jujur, dunia yang jauh dari rasa dengki, iri, balas dendam, serakah, tipu muslihat, dunia yang jahat. Aku ingin anak-anakku merasakan, hidup ini indah. Hidup ini membahagiakan, penuh kasih sayang, kebebasan,  pengertian, dan tawa sepanjang hari.

Lalu bagaimana kalau kenyataan yang mereka hadapi seperti itu? Bagaimana kalau setiap saat harus melihat, mendengar, merasakan, menghadapi sebuah pribadi dalam keluarganya sendiri, bahkan ibunya sendiri, yang berubah hampir setiap hari bahkan setiap jam? Kadangkala menerima berbagai kebaikan bahkan mungkin memberi perhatian dan kasih sayang berlebihan, tetapi sejenak kemudian tanpa tahu sebabnya, mereka harus merasakan ancaman, tekanan, teror, kekerasan, teladan sikap benci, contoh curang dan penghalalan segala cara demi kepentingan sendiri. Setiap saat harus juga siap menghadapi berbagai macam ketidakpastian di sebuah rumah dimana mereka mesti tumbuh, sebuah tempat dimana benih kehidupannya, tunas jiwanya harus tumbuh menjadi pohon kehidupan yang baik.

Sebagai manusia biasa kadang aku juga bertanya-tanya, apakah semua penderitaan adalah hukuman? Lalu kalau ini sebagai hukuman, kira-kira dosa apakah yang menyebabkan keluargaku harus menjalani penitensi yang demikian berat? Atau inikah sebuah bentuk silih nyata atas dosa yang sudah kuperbuat atau keluargaku lakukan jauh sebelum aku lahir?

Aku yakin, semua ini terjadi bukan karena hubungan sebab akibat seperti itu. Tak ada pohon yang menghasilkan mangga yang seluruhnya manis. Beberapa buah pasti terasa asam. Yang pasti, ketika buah itu sudah di tangan kita, terserah mau disyukuri atau dibuang. Ketika aku sudah memilihnya sendiri, mendapatkan buah mangga masam hanyalah sebuah resiko. Resiko yang mungkin saja bukan aku sendiri yang mengalaminya. Banyak orang kini juga memegang mangganya masing-masing yang bentuk, warna dan rasa masamnya berbeda-beda.

Derita adalah bagian dari hidup, seperti halnya kegembiraan dan berkat yang dapat kuterima kapanpun. Kalau awal penciptaan dunia Allah melihat segala yang Ia ciptakan baik adanya, maka suatu saat aku yang kini dalam perjalanan ziarah hidupku bersama keluargaku, suatu saat akan sampai di tempat dimana segalanya juga baik adanya.

Kembali ke anak-anakku, yang dalam pandangan mata dan pikiranku, mereka terjebak dalam situasi yang sangat rumit di masa yang seharusnya segalanya masih baik adanya. Segala usaha memang kulakukan untuk memberi perhatian yang cukup kepada mereka. Dalam berbagai kesempatan mereka kuajak bicara tentang hidup sehari-hari dan terutama bagaimana kutunjukkan kepada mereka betapa menyenangkan hidup ini bila dapat melakukan kebaikan-kebaikan kepada orang-orang yang kita cintai.

Dalam usia mereka yang masih sangat kecil, tak kusangka bahwa apa yang kusampaikan melalui cerita atau tindakan nyata, dapat mereka pahami bahkan melampaui apa yang kuperkirakan. Mereka adalah anak-anak brilian yang punya hati penuh ketulusan, suci, pengertian, dan tidak merisaukan berbagai masalah yang bahkan mungkin merugikan dirinya. Mereka justru memberiku terlalu banyak inspirasi untuk tegar dan bijak menghadapi kenyataan yang terjadi dalam keluarga kami ini. (bersambung)


This post first appeared on SAVE OUR SOUL, please read the originial post: here

Share the post

JUNI 2004 (2)

×

Subscribe to Save Our Soul

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×