Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

HANA TAN HANA: Death and Life of the Unknown (DN Made Ardana ‘Membaca’ Sejarah Kekerasan/Genosida 1965-… Bali) [Genosida 65, Pembantaian Massal 65, Tragedi 65, Peristiwa 65]

…latar………………
Pada karya saya saat ini, saya ingin sedikit bercerita tentang ketertarikan saya untuk menekuni sejarah kekerasan 1965 di Bali. Dalam posisi saya sebagai seniman, melalui bahasa rupa, saya membuat eksperimentasi-eksperimentasi tentang bagaimana sejarah disajikan dan dikunyah dari ruang publik yang visible, formal dan rasional sampai pada ruang intim yang tidak kasat mata, yang sulit dipahami dengan logika akal sehat.
Karena sejarah ’65 didapat dari bertanya dan mendengar melalui pengalaman orang, apa yang tergambarkan pada karya saya bisa dibilang sebagai sebuah bentuk ‘hipotesis’ - di dalamnya terdapat patahan-patahan untuk dapat diinterpretasi, untuk mempersilahkan pertanyaan-pertanyaan tersembunyi untuk keluar, dengan maksud membebaskan karya saya dengan tidak melakukan pemisahan antara mana yang nyata dan mana yang tidak; seperti dalam logika berpikir orang Bali ‘ana tan ana’: sebuah ambigu yang bisa digugat.
Ardana
2015

       




 
Hana Tan Hana: Beyond Truth/Ambiguous Ontology
The Balinese have their own unique philosophy of being. The philosophy is neatly summed up by a single line of hana tan hana, or liberally translated: [it] exists but also simultaneously does not exist. This Balinese ontology certainly does not make sense to Aristotelian ontology of non-contradiction where ‘it is impossible to hold the same thing to be and not to be at the same time’. But precisely in its illogic, or rather, ambiguity lies the beauty of this philosophy. Now, modifying Rumi, imagine there is a field beyond existence and non-existence, truth and false. Meet the Balinese there.
The Balinese utilize this philosophy as a frame of reference to understand concepts as abstract as gods and other immateriality of the transcendent. Similarly, Ardana seems to gesture toward the advancement of this philosophy in understanding 1965 tragedy. In the realm of subjectivity of the multitudes, the meaning of 1965 as a historical event depends on each singular subjectivity that interprets it. It is vivid and real to those older generation saturated by the propaganda of the New Order and especially is traumatizing to those living through it. On the contrary, it is perhaps only a mythical past to some millenials remotely concerned with their own national history. It ishana, exists, but it is also tan hana, doesn’t exist at the same time. That exact space of ambiguity lingering in the semantic field of individual interpretation is what Ardana attempts to sustain through his artworks.
Redbase Foundation
(Dewa Ngakan Made Ardana Exhibition 28 Mei 2016 - 28 Juni 2016)

    




*foto-foto karya lebih lengkap lagi sila simak di naskah-naskah di bawah ini
 
Siapa yang bisa membaca titik sebagai sesuatu di luar titik itu sendiri? Titik tanda baca yang menandai akhir suatu kalimat. Dan peran itu, setidaknya bagi masyarakat yang menggunakan huruf latin, diterima tanpa banyak diperdebatkan. Lantas apa gunanya barisan paragraf, atau sebuah esai, atau sebuah surat yang tersusun semata-mata dari titik?
Lalu mendekatlah, sampai jarak antara mata dan Hana Tan Hana tersisa beberapa jengkal saja. Titik itu rupanya bukan titik. Itu adalah kepala-kepala manusia. Wajah-wajah tak bernama, datar tak berekspresi. Banyak, tapi tak tahu siapa. Ia Hana Tan Hana, atau dalam bahasa Indonesia berarti ada tak ada.
Fase Baru Ngakan Made Ardana - Ananda Badudu
 
I Dewa Ngakan Made Ardana_Potrait of Me, Onda, and Brothers_200 x 300 cm,Oil on Canvas, 2016 (foto REDBASE)
 
Jika diperhatikan, ketidakberpihakan Made Ardana menghasilkan karya-karya dengan interpretasi terbuka. Dalam Potrait of Me, Onda, and Brothers, misalnya, seniman lulusan ISI Denpasar ini menggambarkan kelampauan lewat bahasa visual yang mengesankan kengerian sekaligus kemisteriusan. Lima sosok lelaki ditampilkan “tidak utuh” karena beberapa bagian tubuh, seperti juga objek lain dalam lukisan ini, terdistorsi oleh latar belakang lukisan.
 Memberi Arti Pada yang Berjarak - Rizaldy Yusuf
 
Salah satu karya  eksperimental dengan meniru pola koran lama dengan teks berupa catatan perupa tentang  kuburan massal di salah satu bagian pantai di Bali. Sedang Mendem Pedagingan adalah salah satu bentuk ritus yang biasanya dilakukan untuk tujuan Dharma. Karya ini sempat dipamerkan di Tonyraka dan tidak disertakan di Red Base Art Gallery. (foto oleh Made Ardana)
 
Redbase: Solo Exhibition DN Made Ardana Hana Tan Hana – koranopini.com
 
Seniman Bali Gelar Eksibisi Tunggal Terinspirasi Genosida 65 - detikHot
Ardana lebih jauh….
 
Bertamu ke Rumah Dewa Ardana (bag I): Merindukan Rumah, Merindukan Bali - Ananda Badudu
Bertamu ke Rumah Dewa Ardana (II): Inspirasi yang Muncul Lalu Pergi - Ananda Badudu
   

Simak 120 ‘entry’ tematik lainnya pada link berikut

Prakata dan Daftar Isi Genosida 1965-1966

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=0KSWx5-QgUc?version=3&rel=1&fs=1&autohide=2&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 





This post first appeared on Lentera Di Atas Bukit, please read the originial post: here

Share the post

HANA TAN HANA: Death and Life of the Unknown (DN Made Ardana ‘Membaca’ Sejarah Kekerasan/Genosida 1965-… Bali) [Genosida 65, Pembantaian Massal 65, Tragedi 65, Peristiwa 65]

×

Subscribe to Lentera Di Atas Bukit

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×