Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Perlukah Istri Memiliki Penghasilan Sendiri

Banyak ibu rumah tangga yang bimbang, perlukah istri memiliki penghasilan sendiri. Saat ini kelihatannya masih banyak ibu rumah tangga yang murni menggantungkan nasib pada penghasilan suami. Ada yang memang penghasilan suaminya memang melimpah sehingga secara ekonomi mereka sudah mapan tanpa si istri ikut bekerja mencari nafkah. Ada pula yang dulunya hidupnya enak tapi akhir-akhir ini usaha suami mengalami kemunduran. Malangnya saat sang istri ingin kembali bekerja, baru terasa sulitnya mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang memandang sebelah mata mantan wanita karir yang telah menjadi ibu rumah tangga...

Pada artikel Dilema Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir, Anda dapat membaca bagaimana teman saya berjuang keras saat suaminya sakit lever yang cukup parah. Kemudian di kolom komentar Anda dapat membaca tanggapan dari teman saya. Dia menceritakan kalau dulu istrinya seorang marketing PMA di Jakarta. Setelah memiliki 2 anak si istri ingin kembali berkarir dan berusaha melamar kerja. Tapi ternyata interview mencari kerja berujung di kegagalan karena masalah anak. Perusahaan takut kalau wanita yang telah memiliki anak tidak fokus dalam bekerja. Perusahaan menolak dengan alasan Maaf..sementara ini kita lebih memilih orang yg masih single..dengan harapan orang tersebut lebih fokus..jadi Ibu sementara belum kami terima..

Problem ini sangat umum terjadi. Terus gimana dong nasib para istri yang ingin memiliki pekerjaan atau sekedar mendapat tambahan penghasilan? Apakah perlu para istri memiliki penghasilan sendiri? Mungkin ada yang berpikir suami saya sudah kaya, penghasilannya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga, terus buat apa lagi kita mencari tambahan penghasilan?

Beberapa tahun lalu, menjelang anak pertama saya masuk playgroup, secara ekonomi kondisi keluarga kami lumayan. Bukan termasuk mewah tapi penghasilan suami saya cukup untuk hidup bahkan setiap bulan bisa menabung. Sejak anak kedua lahir saya sudah memikirkan produk asuransi untuk seluruh anggota keluarga (suami, saya, dan 2 anak saya). Perusahaan tempat suami bekerja juga lumayan, menanggung asuransi kesehatan yang berlaku untuk anggota keluarga.

Saat itu kamu sedang mencicil mobil jazz, di tabungan ada uang sekitar 100 juta (sebenarnya kalau mau beli mobil secara kontan bisa, tapi dengan pertimbangan tertentu suami saya memilih mencicil selama 2 tahun). Uang mencicil mobil, uang tabungan, uang rekreasi, uang asuransi, kebutuhan sekolah, dsb semua sudah terprogram. Kayaknya semua sudah aman (save). Tanpa saya bekerja pun kondisi kelihatannya aman terkendali.

Kondisi tersebut mulai berubah sejak papa suami saya sakit. Sebagai anak tertua mamanya mengharapkan suami saya yang membiayai ongkos rumah sakit. Karena merasa berhutang budi pada papanya, suami saya tidak keberatan.

Beberapa hari kemudian papa suami saya sudah boleh pulang kembali ke rumah. Tapi beberapa waktu kemudian kembali dada Papa Mertua Saya sesak dan masuk ICU. Setelah beberapa hari boleh pulang kembali dan rawat jalan.

Saat rawat jalan papa mertua saya kembali diminta check darah dan laboratorium. Saat hasil check laboratoriumnya keluar, ada kabar yang kurang mengembirakan. Katanya kondisi darahnya enggak normal, pembuluh darah papa mertua saya rawan banget pecah, di tubuhnya ada banyak bulatan-bulatan biru. Dokter UGD rumah sakit itu memaksa papa mertua saya kembali di opname, katanya kalau pembuluh darah yang pecah itu di tangan sih enggak apa, tapi kalau yang pecah di otak, bisa meninggal saat itu juga.

Papa mertua saya menolak untuk kembali di opname. Secara fisik dia masih mampu berjalan dan beraktivitas, hanya mudah lelah, tapi enggak apa-apa katanya. Papa mertua memaksa pulang ke rumah dan oleh pihak rumah sakit dipaksa menandatangani surat perjanjian kalau rumah sakit tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa.

Sesampainya di rumah, seisi rumah heboh, mereka yang mendengarkan penjelasan dokter menjadi ketakutan. Saya dan suami yang tinggalnya agak jauh diminta datang untuk membantu membujuk papa mertua saya. Malam itu juga kami berangkat dan ramai-ramai membujuk Beliau agar mau masuk rumah sakit.

Mulanya dengan berbagai upaya papa mertua saya menolak. Dia bilang enggak-enggak kalau malam ini aku mati, sudah jangan kuatir. Tapi karena sudah terprovokasi oleh dokter di UGD semua orang ketakutan. Papa mertua minta waktu, jangan hari ini masuk rumah sakitnya, biar kuselesaikan dulu kerjaanku. Senin Beliau masih mau ke si A untuk menagih uang, masih ada kerjaan ini itu. Semua anaknya bilang sudah jangan pikirin kerjaan dulu, yang penting papa sembuh.

Akhirnya karena terus dipaksa papa mertua saya menyerah. Malam itu kami mengantar beliau ke rumah sakit dan meninggalkannya di sana. Keesokan harinya banyak yang menjenguk. Pada para penjenguk papa mertua saya bilang kalau beliau sebenarnya enggak sakit, saking dipaksa naka-anak, ya sudah daripada ribut terus jadi beliau nurut. Memang secara fisik saat awal masuk rumah sakit papa mertua saya kelihatan sehat, bisa beraktivitas seperti biasa, hanya memang di permukaan kulitnya ada bulatan-bulatan berwarna biru. Orang-orang menasehatkan ya sudah istirahat dulu saja, jangan pikirkan kerjaan.

Beberapa hari di rumah sakit, penyakit papa mertua saja masih belum jelas. Malah dokternya dioper-oper terus dari dokter jantung, paru, ginjal. Sampai gemes deh, ngapain orang ditahan terus di rumah sakit kalau enggak diobati. Papa mertua saya sudah protes minta pulang. Kami tanyakan ke suster, eh dibilangin kalau tadi dokter ahli darah sudah datang memeriksa dan anak-anaknya dimintai menemui dokter tersebut keesokan paginya.

Keesokan harinya pagi-pagi saya, suami dan adik suami standby dari pagi menunggu dokternya. Lama banget rasanya dia enggak datang-datang. Waktu kami sudah kesal menunggu, akhirnya dokter datang. Dengan meyakinkan dia menjelaskan kalau papa mertua saya menderita leukemia. Kami semua terkejut. Tapi dokter tersebut bilang kami enggak perlu kuatir, dia sudah melihat lewat mikroskop dan sudah tahu jenisnya. Itu jenis yang ringan, bisa disembuhkan, dia sudah punya obatnya, enggak ada efek samping. Tugas kami hanya membujuk papa agar mau diobati.

Kami bimbang, kami ingin minta second opinions dari dokter ahli darah lain yang sayangnya enggak praktek di rumah sakit tersebut. Tapi dokter bilang semakin cepat obat masuk semakin baik. Ya sudah pagi itu kami kembali membujuk papa mertua saya agar mau disuntik dan minum obat yang diberikan ke dokter tersebut (meskipun dalam hati ada keraguan...).

Malam harinya kami bertiga (saya, suami dan adik suami) tetap melaksanakan niat semula pergi ke dokter ahli darah yang terkenal. Dokter tersebut sangat baik, melayani konsultasi tapi enggak mau dibayar. Sayangnya beliau juga enggak bisa berbuat apa-apa, dari hasil lab pasien sudah dalam keadaan rawan untuk dipindahkan sedangkan dokter tersebut tidak menangani rumah sakit tempat papa mertua dirawat.

Kami sempat berunding memindahkan papa mertua ke rumah sakit lain dengan menggunakan ambulance jika kondisinya sudah membaik. Namun malangnya setelah dilakukan kemoterapi efeknya sungguh mengejutkan. Kondisi yang semula terlihat segar bugar, dalam hitungan hari dan jam berubah menjadi lemas tak berdaya. Beliau jadi enggak doyan makan, saat batuk keluar cairan berwarna hitam...

Pihak rumah sakit yang tahu kalau kami mau memindahkan pasien menjadi kurang simpatik. Di saat-saat kritis saat kami meminta agar pasien dipindah ke ICU enggak segera ditanggapi. Akhirnya setelah kami berkali-kali mendesak baru mereka bertindak. Hanya beberapa saat di ICU papa mertua saya meninggal dunia...Saat itu mana dokter yang bilang kalau dia tahu persis jenis leukemia papa mertua saya dan obat yang diberikannya enggak ada efek sampingnya? Mana tanggung jawab pihak rumah sakit? Bahkan biaya ICU yang hanya beberapa saat juga dikenakan biaya penuh...

Perasaan bersalah dan menyesal mendera kami. Seandainya kami enggak memaksa papa mertua saya masuk rumah sakit malam itu, seandainya saja obat kemoterapi enggak langsung dimasukkan, seribu seandainya juga enggak akan merubah keadaan....Kami hanya dapat berdoa meminta maaf, memohon ampun. Sungguh kami semua mengharapkan papa sembuh, Maafkan kami papa...

Malam itu suami saya membereskan biaya pengobatan rumah sakit, menelpon saudara, jasa peti mati, jasa penyimpanan jenasah, dsb. Tidak ada seorang pun yang menduga papa mertua saya meninggal hari itu. Mama mertua saya sampai enggak kuat dan pingsan berkali-kali.

Ternyata total biaya pengobatan rumah sakit, peti mati, jasa persemayaman jenasah, tanah kuburan, pemakaman,dsb sekitar 110 juta. Tabungan bertahun-tahun yang dulu terasa lumayan saat itu menjadi tak berarti...Mama mertua saya juga jadi kehilangan pegangan, tumpuan hidup.

Kalau Anda pernah membaca kisah hidup Tung Desem Waringin, Anda mungkin melihat cerita yang serupa tapi tak sama. Saat itu Tung Desem di puncak karir. Gajinya besar, tabungannya banyak. Tapi saat orang tuanya masuk rumah sakit di Singapore baru terasa kalau harta yang semula tampak melimpah menjadi tak berarti...

Dari cerita di atas kita dapat belajar:
1. Kadangkala saat kita sudah rajin menabung, melakukan berbagai proteksi kita merasa diri kita sudah aman. Tapi seringkali ada pengeluaran tak terduga yang jumlahnya besar dan tabungan kita yang semula terlihat banyak menjadi tak berarti.

2. Saat harta kita habis, selama sumber penghasilan masih ada sih harta masih bisa dicari dan dikumpulkan lagi. Tapi saat sumber nafkah keluarga tidak mampu membiayai lagi, entah karena sakit atau meninggal dunia, pada siapa kita harus bertumpu? Karena itu penting banget buat kaum wanita untuk belajar mandiri, mencari tambahan penghasilan. Idealnya sih yang bisa dikerjakan di sela-sela waktu luang, yang fleksibel, tidak terikat waktu kerja sehingga kebersamaan dengan keluarga tetap terjalin.

3. Dulu saat papa mertua saya masih ada, hidup mama mertua terjamin. Namun saat pencari nafkah dan penopang keluarga meninggal, hidupnya jauh berbeda. Kata orang lebih enak menerima uang dari suami daripada dari anak, lebih enak lagi kalau kita bisa mandiri mencari penghasilan sendiri.

Belajar dari cerita di atas dan cerita teman saya yang suaminya sakit lever sehingga tidak dapat bekerja tapi butuh biaya pengobatan yang besar, tidakkah Anda tergerak untuk mulai memikirkan sumber penghasilan lain? Setujukah Anda kalau istri juga perlu punya sumber penghasilan sendiri? Semoga cerita ini dapat menginspirasi Anda.



This post first appeared on Pengalaman Pribadi | Permasalahan Anak, please read the originial post: here

Share the post

Perlukah Istri Memiliki Penghasilan Sendiri

×

Subscribe to Pengalaman Pribadi | Permasalahan Anak

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×