Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Adab Seorang Murid (2)

Kejujuran dalam mencintai seorang guru hendaknya tidak ada yang sanggup memalingkannya, bahkan tidak ada pedang dan segala yang menyakitkan sanggup mengusirnya. Ada diantara Orang yang mengaku dirinya jujur dalam mencintai guru dan saudara-saudaranya dalam tarekat, bahkan katanya tidak ada yang sanggup memalingkannya sekalipun mereka harus menjauhi dan tidak menyapanya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Berita ini akhirnya tersebar ke semua orang, baik di kalangan orang-orang awam maupun orang-orang tertentu. Suatu ketika ia berdiri dan melantunkan bait syair di depan kaum fakir (sufi).

Andaikan mereka menyiksaku setiap hari dan setiap malam
tanpa kesalahan apa pun tentu hal itu membuatku senang dan rela

Kemudian ada salah seorang dari para murid yang cerdik membantahnya dengan mengatakan, “Anda berbohong!” Akhirnya ia gundah dan pikirannya kacau lalu ia duduk. Apa yang ada dalam benaknya cukup kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah pembohong, lalu mereka berkata kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan sebagaimana yang anda katakan tadi, sementara pikiran anda telah kacau hanya karena omongan sebagian orang yang mengatakan anda adalah pembohong?! Apabila anda tidak sanggup memikul satu beban saja, lalu bagaimana anda akan sanggup memikul beban untuk selalu disiksa setiap hari dan setiap malam tanpa ada kesalahan apa pun yang anda lakukan sebelumnya?! Akhirnya orang yang sekadar mengaku jujur dalam cintanya ini beristigfar dan mengakui kebohongannya.

Maka benar-benar jujurlah —wahai saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda akan mendapatkan segala kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.

Dan diantara adab seorang murid, hendaknya tidak ikut masuk ke dalam perjanjian (sumpah) seorang guru (tarekat) sampai ia lebih dahulu bertobat Dari Segala Dosa, baik dosa secara lahir maupun batin. Misalnya menggunjing, minum-minuman keras, dengki, iri hati dan lain-lain. Ia juga harus bisa rela terhadap semua lawan yang berusaha merampas harga diri maupun harta. Sebab hadirat tarekat Galan menuju Allah) adalah hadirat Allah Azza Jalla. Maka barangsiapa tidak menyucikan diri dari segala dosa, baik lahir maupun batin, maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini. Ia ibarat orang yang mau menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau pakaiannya terdapat najis yang tidak bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh dari air sehingga tidak bisa disucikan dengan air, tentu saja shalatnya tidak sah. Demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi kotor dengan dosa, maka ia tetap batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali. Ia tidak akan sanggup mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju tarekat Ahlullah sekalipun hanya selangkah, terkecuali sebelumnya telah menyucikan diri dari segala dosa.

Poin ini rupanya banyak dilupakan oleh sebagian besar orang. Mereka tergesa-gesa mengambil sumpah (janji) sang murid, sementara pada diri sang murid masih banyak dosa, baik lahir maupun batin, terutama yang menyangkut hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun harga diri sehingga tidak akan ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan: “Tarekat (jalan) orang-orang yang menuju kepada Allah adalah ibarat mau masuk surga. Maka sebagaimana yang terdapat dalam Hadis sahih, tidak seorang pun dari calon penghuni surga diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya masih ada hak anak cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat Allah Azza wa Jalla.”

Kemudian definisi tobat adalah kembali dan apa saja yang secara hukum (syariat) itu tercela menuju kepada apa yang secara hukum itu terpuji. Sehingga masing-masing orang yang bertobat akan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Bisa jadi apa yang menurut seseorang hal itu terpuji, tapi justru orang lain malah menganggapnya tercela, lalu bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut orang pertama tersebut terpuji. Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang yang baik (al-abrar) adalah kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-mu qarrabin).”

Perlu anda ketahui, bahwa orang yang selalu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan syariat, makan hal-hal yang menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa bergelut dengan hal-hal yang diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan tarekat menuju Allah, ibarat jarak antara langit dengan bumi. Kemudian anda harus tahu, bahwa perilaku dari nafsu adalah selalu mengaku dengan pengakuan palsu. Barangkali ia mengaku benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi pengakuannya hanya kebohongan. Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan kesaksian seorang guru akan kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang diakuinya telah bertobat, sampai pada akhirnya ia mencapai pada tingkatan bertobat dari tindakan lengah dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun hanya sekejap mata. Kemudian dari tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengagungkan Allah SWT untuk selama-lamanya, yang tidak pernah berhenti sekejap pun untuk mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa yang kaum sufi katakan tentang tingkatan-tingkatan tobat.

Pada awalnya bertobat dari segala dosa besar, kemudian pada tingkatan bertobat dan dosa-dosa kecil, kemudian dan hal-hal yang tidak disenangi secara syariat, kemudian meninggalkan hal-hal yang apabila dilakukan akan melanggar keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi melihat kebaikan-kebaikannya, kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat dirinya termasuk kelompok kaum fakir sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang Mahatahu.

Dan diantara perilaku seorang murid, hendaknya selalu melakukan mujahadat (perjuangan spiritual) untuk memerangi nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan pernah kompromi dengan nafsunya. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadat maka Allah akan menghiasi batinnya dengan musyahadat (kesaksian diri kepada Tuhannya). Maka barangsiapa pada tahapan awal tidak melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya, maka ia tidak akan bisa mencium bau tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi ciri khas kaum sufi yang menempuh tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba tidak mau memberikan hak tarekat secara keseluruhan maka tarekat juga tidak akan memberinya sekalipun hanya sebagian.


Kalam Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani dimuat dalam Majalah Cahaya Sufi



This post first appeared on Musholla RAPI Online, please read the originial post: here

Share the post

Adab Seorang Murid (2)

×

Subscribe to Musholla Rapi Online

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×