Secara etimologi artinya berdiam
diri, menetap dan menjalani secara kontinyu atas satu perbuatan baik.
Allah berfirman :“suatu kaum yang tetap menyembah berhala” (QS. 7:138).
Allah berfirman :“suatu kaum yang tetap menyembah berhala” (QS. 7:138).
"Patung-patung apakah ini yang
kamu tekun beribadah kepadanya? “(QS.21:52)“
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. 2:187)
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. 2:187)
Related Articles
Sedang pengertian I’tikaf secara
terminologi adalah sebagai berikut :
Hanafiyyah :
ialah berdiam diri di dalam masjid yang
dipakai untuk shalat berjamaah dengan disertaipuasa dan niat, maka berdiam diri
adalah rukun didalam i’tikaf, tidak ada i’tikaf kecuali tanpanya dan puasa
dalam i’tikaf yang dinadzari dan niat adalah syarat-syaratnya i’tikaf.I’tikaf
bagi pria adanya dimasjid jamaah yakni masjid yang terdapati imam dan
muadzdzinnya baik dipakai untuk shalat lima waktu atau tidak sedang bagi wanita
dalam masjid yang terdapat dirumahnya yakni tempat yang telah ia tentukan
dipakai shalat sehari-hari dan tidak sah diselain tempat shalat dalam rumahnya.
Malikiyyah :
Ialah menetapinya seorang muslim
yang telah tamyiz untuk menjalani ibadah dalam masjid yang diperkenankan untuk
setiap orang dengan disertai puasa, mencegah diri dari senggama dan foreplaynya
dimasa sehari semalam dan masa lebih banyak, dengan disertai niat.Maka i’tikaf
tidak sah dari orang non muslim, belum tamyiz, dalam masjid rumah yang bersifat
pribadi, tanpa puasa baik puasa fardhu atau sunah, puasa ramadhan atau lainnya,
dan batal akibat senggama serta foreplaynya. Dan paling minimal waktunya sehari
semalam tiada batasan untuk masa paling banyaknya, dengan tujuan beribadah
dengan niat karena i’tikaf adalah ibadah dan setiap ibadah butuh terhadap niat.
Syafi’iyyah :
Ialah berdiam diri dalam masjid yang
dilakukan oleh seseorang dengan dibarengi niat.
Hanabilah :
Ialah menetapi masjid untuk taat
pada Allah dengan bentuk yang tertentu, dilakukan seorang muslim yang berakal
meski ia tamyiz, suci dari hal yang mewajibkan mandi dan Paling sedikit masanya
adalah sesaat.
Maka tidak sah dilakukan oleh orang
non muslim meski orang murtad, orang gila, belum tamyiz, karena tidak adanya
niat dari mereka, tidak sah juga dilakukan oleh orang yang sedang junub
meskipun ia berwudhu, tidak cukup hanya dengan melewati masjid dan masa paling
pendeknya sekejap mata.
I’tikaf boleh dikerjakan disetiap
waktu baik dibulan ramadhan atau lainnya, sedang masa paling pendeknya adalah :
Hanafiyyah : Bila i’tikaf sunah maka
masa paling pendeknya adalah masa yang amat sedikit yang tiada dapat dibatasi.
Malikiyyah : Sehari semalam dan yang
lebih baik tidak kurang dari 10 hari dengan disertai puasa ramadhan atau
lainnya maka tidak sah dilakukan oleh orang yang tidak berpuasa meskipun karena
udzur “Orang yang tidak kuat berpuasa tiada i’tikaf baginya”
Syafi’iyyah : Menurut pendapat yang
paling shahih dikalangan syafi’i disyaratkan dalam i’tikaf dalam waktu yang
disebut berdiam diri, dalam arti masanya melebihi kadar masa thuma’ninah
seseorang dikala menjalani ruku’ dan selainnya maka tidak cukup hanya dalam
waktu sekedar thuma’ninah, tidak harus diam boleh dengan mondar-mandir.
Hanabilah : Sesaat artinya waktu
yang bila dikerjakan maka disebut berdiam diri meskipun sekejap mata.
Dengan demikian mayoritas ulama
menyatakan cukupnya i’tikaf dalam masa sesaat sedangkan kalangan malikiyyah
mensyaratkan minimalnya sehari semalam (Al-Fiqh al-Islaam III/123-124).
Lantas bolehkah i’tikaf di selain
masjid?
قال المصنف رحمه الله * { ولا يصح
الاعتكاف من الرجل الا في المسجد لقوله تعالي (ولا تباشروهن وانتم عاكفون في
المساجد) فدل علي انه لا يجوز الا في المسجد ولا يصح من المرأة الا في المسجد لان
من صح اعتكافه في
المسجد لم يصح اعتكافه في غيره كالرجل
والافضل ان يعتكف في المسجد الجامع لان رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتكف في
المسجد الجامع ولان الجماعة في صلواته اكثر ولانه يخرج من الخلاف فان الزهري قال
لا يجوز في غيره
Dalam al-majmuu' syarh muhadzdzab
diterangkan boleh dan sah i'tikaf di Masjid yang tak digunakan sholat Jum'at,
walaupun yang lebih afdhol i'tikaf di Masjid Jaami (yang digunakan jumatan).
Lalu, bolehkah I'tikaf di Musholla?
Musholla dalam pengertian Masyarakat
Indonesia itu dua pengertian:
1. Ruangan khusus dalam suatu
bangunan yang digunakan untuk sholat. Statusnya tidak tetap, bisa dipindah-pindah.
Sekarang jadi Musholla, nanti bisa diubah jadi kelas, atau dapur atau lainnya.
Karena statusnya tidak tetap dan bukan wakaf, maka untuk musholla macam ini,
i'tikaf di dalamnya tidak sah
2. Tempat khusus yang diwakafkan
untuk sholat lima waktu selain Jum'at. Ada Imamnya, dan juga ada muadzinnya.
Menurut saya, macam yang kedua ini sah untuk i'tikaf di dalamnya. Dan
penamaannya sebagai musholla tak merubahnya, dari statusnya sebagai Masjid yang
bukan Jaami' (Musholla di sini adalah masjid yang bukan jami'). Sebab orang Indonesia, menyebut Masjid selalu untuk yang di jum'ati. Macam yang kedua ini (yang tidak dipakai jumatan), masyarakat
Kami di Banjar menyebutnya sebagai Langgar.
Waallaahu A'lamu Bis showaab.
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/382417571781057/
oleh Ust. Masaji Antoro dan Didin Banjarmasin