Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat | Do'a Untuk Nabi

Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat | Do'a Untuk Nabi

“Aku melakukan qiyamul lail bersama Rasulullah pada suatu malam. Maka beliau berdiri membaca Surat Al-Baqarah. Beliau tidak melewati ayat tentang rahmat, kecuali beliau berhenti dan memohon dan tidak melewati ayat tentang adzab, kecuali berhenti dan meminta perlindungan.” (HR. Abu Dawud no. 739, An-Nasa’i no. 718 dan Ahmad no. 22855)

Sebagian Dari kita mungkin sering mendengar ucapan ‘alaihis salam dalam Shalat berjama’ah ketika Imam selesai membaca surat Al-A’la. Bahkan bisa jadi, kita adalah salah satu orang yang mengamalkan itu. Kita semua mengetahui, dalam perkara ibadah mahdhah (ritual) maka kita membutuhkan landasan atau dalil karena konsekuensi kita beribadah tanpa dalil adalah tertolak sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Maka urgensi mengetahui landasan setiap yang kita lakukan dalam ibadah terlebih lagi dalam shalat adalah wajib.

Apakah pengucapan ‘alaihis salam oleh makmum setelah ayat terakhir surat Al-A’la diperbolehkan? Perlu diketahui, bahwasanya bacaan yang seharusnya diucapkan bukanlah ‘alaihis salam, akan tetapi ‘alaihimas salam karena ini ditunjukan kepada dua Nabi yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Musa ‘alaihimas salam.

Ucapan ‘alaihimas salam merupakan sebuah do’a yang maknanya semoga keselamatan kepada keduanya. Karena ini merupakan sebuah do’a, maka yang menjadi bahan perbincangan adalah masalah bolehkan seseorang berdo’a dengan do’a yang tidak matsur? Jika boleh berarti maka hal ini (mengucapkan ‘alaihimas salam) tidak mengapa, akan tetapi jika hal ini dilarang maka pengucapan ‘alaihimas salam dapat membatalkan shalat.

Untuk lebih dalam mengenai pembahasan ini, maka kita simak sebuah riwayat shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahmahullah, dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِى الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِى لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبِأَبِى هُوَ وَأُمِّى مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِى وَلاَ ضَرَبَنِى وَلاَ شَتَمَنِى قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Ketika saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo’akannya dengan mengucapkan yarhamukallah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: “Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?” Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasulullah. Demi Allah, beliau tidak mencemberutkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1227)

Mengenai hal ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Telah lewat dalam pembahasan takbiratul ihram mengenai hukum berdo’a dengan selain bahasa Arab dan do’a yang dibolehkan di dalam shalat. Menurut madzhab Asy-Syafi’i, boleh berdo’a di dalam shalat dengan do’a yang dibolehkan dipanjatkan ketika di luar shalat, baik yang diminta untuk perkara agama maupun perkara dunia. Misal saja ada yang berdo’a, “Ya Allah berikanlah rezeki untukku dengan pekerjaan yang halal, dikaruniai anak dan rumah, juga anak perempuan yang baik.” Atau ada yang berdo’a, “Ya Allah selamatkanlah si fulan dari penjara.” Atau berdo’a, “Ya Allah binasakanlah si fulan.” Seperti itu menurut ulama Syafi’iyah tidaklah membatalkan shalat. Inilah yang jadi pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan Ishaq. Adapun ulama Syafi’iyah yang menyatakan bolehnya berdo’a dengan do’a yang tidak ma’tsur (yang dibuat sendiri) berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Adapun ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam memanjatkan do’a.” Dalam hadits lain disebutkan: “Perbanyaklah do’a (saat sujud).” Kedua hadits itu adalah hadits yang shahih. Perintah di situ dimaksudkan adalah do’a yang mutlak berarti mencakup segala macam do’a (termasuk pula untuk do’a yang tidak ma’tsur). Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa keadaan berdo’a dengan do’a yang beraneka ragam. Ini menunjukkan bahwa do’a yang tidak ma’tsur tidaklah masalah. Dalam hadits shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan di akhir tasyahud: “Lalu silakan ia pilih do’a mana saja yang ia suka dan ia mau.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan, “Kemudian ia berdo’a untuk dirinya yang ia inginkan.”  Adapun jawaban untuk hadits dari pihak yang tidak membolehkan do’a yang tidak ma’tsur dalam shalat, maka kita katakan bahwa do’a itu tidak termasuk percakapan manusia. Menjawab do’a orang yang bersin dan menjawab salam memang termasuk percakapan yang terlarang, itu termasuk perbincangan manusia. Namun kedua contoh tadi sekali lagi berbeda dengan do’a (yang dibahas). Wallahu a’lam.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 315)

Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat

Dalam penjelasan di atas, Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa berdo’a dengan do’a yang tidak matsur dalam shalat adalah diperbolehkan dengan syarat do’a itu bukan termasuk khitab atau percakapan antara manusia. Contohnya mengucapkan yarhamukallah atau menjawab salam.

Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini rahimahullah berkata: “Do’a yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah), maka tidak boleh do’a atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar-Rafi’i dari Imam Asy-Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar-Raudhah diringkas untuk yang kedua. Juga membaca do’a seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid 1 hal. 273)

Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini rahimahullah menjelaskan dalam fatwa beliau diatas bahwa, do’a yang tidak matsur tidak boleh dibaca jika dibuat dengan bahasa selain Arab atau bahasa Azam, jika tetap dibaca maka shalatnya menjadi batal. Itu artinya beliau berpendapat bahwa do’a yang tidak matsur itu diperbolehkan dengan syarat do’a tersebut berbahasa Arab.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Izin mengucapkan ‘Aamiin’ menunjukan dibolehkan orang yang melakukan shalat berdo’a pada shalatnya dengan do’a yang dikehendaki dan yang diinginkannya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, disamping itu banyak khabar dan atsar mengenai itu, karena makna Aamiin adalah “Buatlah bagiku apa aku minta kepada-Mu.” Karena itu, menunjukan boleh berdo’a dalam shalat.” (Al-Bayan fil Mazhab Syafi’i, Jilid 2, hal. 192)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga mengatakan: “Aku menyukai seseorang melakukan permohonan apabila ia membaca ayat rahmat dan minta perlindungan manusia darinya apabila membaca ayat azab, karena telah sampai kepada kami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya dalam shalatnya.” (Al-Hawi Al-Kabir, Jilid 2 hal. 457)

Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat

Dalam dua fatwa di atas, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa seseorang boleh berdo’a dengan do’a yang bebas dalam shalat baik itu do’a yang ma’tsur maupun tidak ma’tsur. Dan beliau pun menyukai seseorang yang berdo’a memohon rahmat Allah subhanahu wa ta’ala jika mendengar ayat rahmat dan berdo’a meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala jika mendengar ayat mengenai azab. Untuk hal ini Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdalil dengan hadits dari dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

قُمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَامَ فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلَّا وَقَفَ فَسَأَلَ وَلَا يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلَّا وَقَفَ فَتَعَوَّذَ

“Aku melakukan qiyamul lail bersama Rasulullah pada suatu malam. Maka beliau berdiri membaca Surat Al-Baqarah. Beliau tidak melewati ayat tentang rahmat, kecuali beliau berhenti dan memohon dan tidak melewati ayat tentang adzab, kecuali berhenti dan meminta perlindungan.” (HR. Abu Dawud no. 739, An-Nasa’i no. 718 dan Ahmad no. 22855)

Selain hadits-hadits yang disebutkan di atas, masih banyak hadits yang memperbolehkan seseorang untuk berdo’a dalam shalat, baik dengan do’a yang ma’tsur maupun tidak ma’tsur, diantaranya adalah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنْ الشَّاهِدِينَ وَمَنْ قَرَأَ لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَانْتَهَى إِلَى أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى فَلْيَقُلْ بَلَى وَمَنْ قَرَأَ وَالْمُرْسَلَاتِ فَبَلَغَ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ فَلْيَقُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ

“Barangsiapa yang membaca ‘wat tini waz zaitun’ sampai akhirnya, maka hendaklah berkata ‘balaa wa anaa ‘alaa dzalika minasy syaahidiin’ (Ya dan aku adalah sebagain dari orang-orang yang bersaksi terhadap hal itu). Barangsiapa yang membaca ‘laa uqsimu bi yaumil qiyamah’ sampai ‘alaisa dzalika biqaadirin ‘alaa an yuhyiyal mautaa’, hendaklah dia berkata ‘balaa’ (Ya). Barangsiapa yang membaca ‘wal mursalat’ sampai kepada ‘fabiayyi hadiitsin ba’dahu yu’minuuna’, maka hendaklah dia berkata ‘aamannaa billah’ (Kami beriman kepada Allah).” (HR. Abu Dawud no. 753, At-Tirmidzi no. 3270 dan Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman no. 2097)

Dari Ibnu Abbas ‘radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَرَأَ سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى .

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika membaca ‘sabbihisma rabbikal a’la’ maka beliau berkata ‘subhanaana rabbiyal a’la’ (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).” (HR. Abu Dawud no. 749, Ahmad no. 1962 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 12335)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ فَقَرَأَ عَلَيْهِمْ سُورَةَ الرَّحْمَنِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَسَكَتُوا فَقَالَ لَقَدْ قَرَأْتُهَا عَلَى الْجِنِّ لَيْلَةَ الْجِنِّ فَكَانُوا أَحْسَنَ مَرْدُودًا مِنْكُمْ كُنْتُ كُلَّمَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِهِ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ قَالُوا لَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju para sahabatnya. Dia membaca di hadapan mereka surat Ar-Rahman dari awal sampai akhir. Mereka diam. Dia berkata, “Aku telah membacanya di hadapan para jin. Mereka itu lebih baik jawabannya dari pada kalian. Setiap aku membaca firman Allah ‘fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan’, mereka berkata ‘laa bisyaiin min ni’amika rabbanaa nukadzibu falakal hamdu’ (Tidak satu pun nikmat-Mu, Wahai Tuhan kami yang kami dustakan. Segala puji adalah milik-Mu).” (HR. At-Tirmidzi no. 3213)

Tarjih
Berdasarkan penjelasan para ulama dengan berbagai landasan dalil-dalil yang shahih, maka pengucapan ‘alaihimas salam oleh makmum ketika imam membaca surat Al-A’la adalah diperbolehkan, karena ucapan ‘alaihimas salam termasuk do’a atau dzikir. Sedangkan do’a dan dzikir dalam shalat adalah diperbolehkan baik do’a dan dzikir itu ma’tsur maupun tidak ma’tsur dengan syarat do’a atau dzikir tersebut adalah bahasa Arab dan bukan khitab atau berupa percakapan dengan makhluk seperti ucapan yarhamukallah, barakallah atau menjawab salam (‘alaikas salam). Namun perlu ditekankan pula bahwa mengucapkan do’a dan dzikir ini janganlah di jahr (keras)kan sehingga dapat mengganggu orang lain, cukup di sirr (pelan)kan dan hanya kita yang mendengar, dan selain itu juga agar menghindari fitnah karena beberapa saudara kita masih menganggap membaca hal-hal seperti ini membatalkan shalat karena menurut mereka tidak ada dalil yang melandasi hal ini, padahal seandainya saudara-saudara kita ini mau saja membuka kitab para ulama pasti mereka akan lebih legowo serta lapang dada serta lebih faham mengenai kebolehan hal ini. Wallahu a’lam. Alhamdulillah. Allahumma shalli ‘alaa nabiyyina Muhammad. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


Lihat Juga :
Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat
5 Macam Aurat Perempuan Menurut 4 Madzhab
Apa Status Anak Dari Hasil Nikah Mut’ah.?
Apa Hukum Cadar Dalam Islam Menurut Pendapat 4 Madzhab.?
Kenapa Kita Mendo'akan Rasulullah S.A.W.? (Shalawat)
Islam Indonesia dan Peradaban Islam di Dunia
Pentingnya Menuntut Ilmu Dari Ulama yang Bersanad
Hukum Bertabarruk di Tempat yang Pernah Disinggahi Orang Shaleh
Tata Cara Bersedekap Dalam Shalat
Jangan Merasa Paling NU
Pendapat Yang Benar Imam As-Syafi'i Tentang TASAWUF
Apa Hukum Khusyu' Dalam Shalat.?
Pemahaman Keliru Tentang Salaf


This post first appeared on Apa Status Anak Dari Hasil Nikah Mut’ah.?, please read the originial post: here

Share the post

Mengucapkan 'Alaihissalam Saat Shalat | Do'a Untuk Nabi

×

Subscribe to Apa Status Anak Dari Hasil Nikah Mut’ah.?

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×