Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Paradigma populis politik santri dan modernisasi elit

Tags: islam santri dari
Modernisasi politik yang merupakan maestro kebijakan politik pemerintah Orde Baru, dianggap banyak ahli telah men-cairkan politik aliran. Namun, tanpa disadari, aliran budaya atau keagamaan masih menjadi akar segala persoalan di dalam dinamika politik nasional hingga saat ini. Karena itu, pembacaan tentang perpolitikan kaum Santri masih merupakan persoalan yang penting, terutama bagi pengembangan kebijakan dan strategi budaya politik santri dalam memenangkan tujuan-tujuan besar politik bagi kepentingan yang lebih universal dan kepentingan kemanusiaan dan bangsa yang lebih besar dan luas.
Hingga saat ini, penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 250 juta jiwa, dan hampir 90 % dari penduduk itu adalah peme-luk Islam.

Jumlah nominal pemeluk Islam itu mencapai sekitar 225 juta jiwa yang tinggal menetap di seluruh penjuru Tanah Air di pulau-pulau terpencil, tersebar dari ujung paling timur di Irian Jaya hingga wilayah paling barat di Aceh Nangro Darussalam. Tempat tinggal dengan pola hidup beragam itu memantul dalam keragaman keagamaan sebagai variabel pokok keragaman perilaku politik pemeluk Islam dalam pentas politik nasional.

Perilaku keagamaan seseorang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat tinggal dan pekerjaan, selain pendidikan. Fakta sosial ini sering dijadikan dasar para akademisi untuk membedakan pola perilaku keagamaan pemeluk Islam ke dalam dua kategori besar, yaitu: santri dan abangan (priayi, cermin dari cara hidup Jawa lebih mendekati abangan). Berdasar fakta sosial itu pula, kelompok santri dibedakan ke dalam dua ragam, yaitu: modernis dan tradisionalis.

Pola keagamaan ini menjelaskan perilaku sosial, ekonomi, dan politik kaum santri di sepanjang sejarah politik nasional. Ironinya, fakta ini sulit dipahami aktivis politik santri sehingga gagal mengembangkan strategi budaya bagi tujuan-tujuan politiknya.
Kaum abangan dan santri tradisionalis, pada umumnya, tinggal di kawasan pedesaan sebagai petani miskin atau di kawasan perkotaan sebagai buruh dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Mereka hidup di kawasan dekat kegiatan dunia pertanian, bantaran sungai, kawasan sekitar pasar, tempat keramaian di pusat kota, kawasan terminal angkutan umum atau di sekitar stasiun kereta api.
Pola perilaku keagamaan setiap kelompok pemeluk Islam ini berbeda-beda yang kemudian bisa dilihat dari pilihan politik sebagaimana bisa dibaca dari sejarah politik Indonesia.

Mayoritas pemeluk Islam Indonesia dapat dimasukkan ke dalam subkultur abangan, dan mayoritas santri bisa digolongkan ke dalam subkultur tradisionalis. Berdasarkan ketaatan pemeluk Islam itu terhadap berbagai aturan formal ibadah, populasi kaum santri; tradisionalis atau modernis, jumlahnya hanya sekitar 25 % dari sekitar 225 juta penduduk yang menyatakan memeluk Islam. Bagian terbesar dari pemeluk Islam yang meliputi 75 % itu tergolong ke dalam sub-kultur abangan yang terus menjadi pere-butan partai-partai politik yang ada di Tanah Air.

Kaum santri yang sekitar 56 juta jiwa di atas, sekitar 25 % tergolong anak-anak hingga remaja yang belum mempunyai hak memilih. Hal ini berarti pemilih santri tidak lebih dari sekitar 42 juta jiwa. Di antaranya tergabung ke dalam partai Islam yang terus memperjuangkan kepentingan Islam menurut versinya, namun selalu gagal memperoleh dukungan dari mayoritas pemilih, bahkan dari kaum santri sendiri. Hal ini bisa dibaca dari perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu pertama 1955 hingga pemilu 1999, dan di dalam sidang BPUPKI tahun 1945.

Masa depan perpolitikan kaum santri tersebut di atas akan dipengaruhi oleh perubahan pola perilaku politik dari mayoritas pemeluk Islam sebagai mayoritas pemilih. Selain itu, nasib perpolitikan kaum santri masih akan ditentukan oleh tema perjuangan politik dari partai-partai yang sebagian didirikan elite santri atau organisasi Islam yang mencerminkan kepentingan mayoritas pemilih itu sendiri. Idealitas politik Islam (baca; santri) pada akhirnya harus berhadapan dengan suatu hukum pragmatis demokrasi dimana suara dari mayoritas publik pemilih adalah sumber kebenaran dan kebaikan politik. Di sinilah perlunya aktivis politik santri memahami basis budaya kehidupan mayoritas pemeluk Islam yang disebut kaum abangan dan priayi, serta mayoritas santri tradisionalis yang cenderung sinkretik sebagai strategi budaya “koalisisi trans-religiusitas” dari perjuangan politik santri .

Strategi budaya perpolitikan santri tersebut di atas didasari suatu pemahaman tentang keberagamaan Islam sebagai realitas sosial-budaya. Status sosial-ekonomi dari mayoritas pemeluk Islam sebagai rakyat kebanyakan yang umumnya bekerja sebagai petani dan buruh kecil, merupakan dasar munculnya pola keagamaan yang disebut abangan. Pola keberagamaan populis merupakan ciri umum mayoritas pemeluk Islam yang sulit ditemukan referensinya di dalam doktrin formal ajaran Islam sebagaimana didakwahkan elite santri. Selama ini, praktik-praktik politik santri justru kurang atau tidak mengapresiasi keberagamaan populis sebagai akibat dijadikannya doktrin formal ajaran Islam sebagai referensi normatif dan tekstual.

Fakta-fakta sosial-politik tersebut di atas perlu dipahami secara jernih dengan sikap kritis dan terbuka. Dari sini elite santri tidak seharusnya melakukan dua kali atau beberapa kali kesalahan. Sayangnya, kenyataan sosial justru menunjukkan bagaimana elite santri sebagai pimpinan gerakan Islam selalu terperangkap dalam satu kesalahan secara berulang-ulang. Akibatnya, elite santri dalam posisi sebagai pimpinan partai atau organisasi Islam, selalu kesulitan memahami fakta mengapa di negeri yang penduduknya mayoritas memeluk Islam itu dukungan publik atas “perjuangan Islam” selalu rendah. Kesalahpahaman ini seringkali menimbulkan kegelisahan dan rasa terancam oleh konspirasi kekuatan “anti Islam” sebagai label yang biasanya dipakai untuk menunjuk kekuatan politik tanpa simbol Islam.

Kegelisahan dan rasa terancam dari elite santri di atas cenderung memuncak setiap kali penghitungan perolehan suara partai-partai di setiap penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin gerakan Islam dan elite santri cenderung menempatkan konspirasi kekuatan “anti Islam” sebagai penyebab utama kekalahan partai Islam. Selain itu, elite santri cenderung memandang rendahnya dukungan publik atas apa yang mereka sebut “perjuangan Islam” disebabkan kekurangtaatan pemeluk Islam terhadap ajaran Islam yang tersusun dalam ilmu syariah atau fikih.

Kaum elite santri begitu sulit memahami dan mengoreksi diri sendiri bahwa rendahnya partisipasi pemeluk Islam atas “perjuangan Islam” lebih disebabkan ia tidak disusun berdasar kepentingan publik, tapi berdasar apa yang dimengerti dan dianggap penting elite santri itu sendiri. Kepentingan publik umat yang awam dan biasa diberi label abangan, justru dipandang menyimpang dari ajaran Islam, atau bahkan bertentangan. Akibatnya, Islam kemudian menjadi sebuah agama elite dan “perjuangan Islam” hanya menyentuh kepentingan elite santri itu sendiri.

Kekalahan perjuangan politik santri lebih disebabkan peletakan komunitas santri sebagai bagian kecil komunitas umat sebagai basis kekuatan, hanya karena mereka memahami teks wahyu secara verbal tanpa kaitan konteks kehidupan umat sebagai mayoritas. Kemenangan perjuangan politik dalam alam demokrasi adalah bagaimana mengakomodasi kepentingan publik dimana kebenaran dan kebaikan tercermin dalam suara mayoritas.

Karena itu, pemahaman Islam sebagai aqidah wa al syariah atau din wa al daulah, perlu diletakkan dan dipahami dalam konsep baru mengenai aqidah, syariah dan daulah yang lebih berdimensi etik daripada hukum positif. Penting dibangun suatu basis etik gerakan Islam dan partai kaum santri dari dan di dalam kesadaran publik umat yang awam dan abangan yang secara syariah (fikih) sering ditempatkan sebagai pembuat dosa.

Dari massa awam rakyat kebanyakan di atas itulah sebenarnya gerakan dari risalah Muhammad Saw dahulu dimulai dan memperoleh dukungan luas di dalam tempo relatif singkat. Risalah kenabian Muhammad bukan dimulai dengan hukum fikih sebagaimana kontruksi ulama sekitar satu abad pasca wafat Nabi, tetapi dari akhlak (moral dan etika) sebagai basis dari tumbuhnya kesadaran iman. Banyak kisah-kisah menarik bagaimana kaum awam dan elite bangsawan Arab yang pada awalnya memusuhi gerakan Nabi, berubah menjadi pendukung setia melalui aksi-aksi etika profetik. Perubahan perilaku ini bukan oleh ancaman siksa neraka dan janji pahala surga (haram, makruh, atau wajib, sunnah dan halal), tetapi oleh bukti kebaikan sosial Nabi yang bisa dira-sakan manfaatnya oleh publik dan elite Arab.

Sejarah kenabian Muhammad Saw menunjukkan bagaimana risalah Islam itu didukung publik sebelum mengalami formalisasi ajaran Islam (risalah profetik) itu ke dalam hukum positif; fikih. Separuh dari masa kerisalahan Nabi merupakan aksi profetik kemanusiaan, baru sesudah itu (pasca hijrah di tahun kesepuluh masa kenabian) wahyu yang kemudian ditafsirkan ke dalam hukum syariah mulai turun sebagai dasar bagi pembentukan sistem sosial.

Pada masa profetik itulah risalah kenabian cepat memperoleh dukungan luas secara menakjubkan di tengah tirani budaya dan kekuasaan elite Arab Jahiliyah. Partisipasi masyarakat dalam Islam seperti berhenti sesudah agama itu kehilangan basis etika publik yang populis. Hal ini disebabkan daulah dipahami terlepas dari dinamika publik masyarakatnya. Selain itu disebabkan syariah diletakkan hanya sebagai formula sistematik ajaran Islam yang positifis dan kurang akomodatif atas pluralitas keberagamaan umat. Risalah Islam kemudian berbubah menjadi aturan fikih yang mengantur secara ketat cara bagaimana manusia mem-perhambakan diri pada Tuhan dan standarisasi hubungan sosial.

Sejak itu, sejarah Islam di seluruh belahan dunia ini adalah sejarah kekalahan, seperti hal itu terjadi di negeri seribu etnis Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Keku-asan Islam telah berubah dari posisinya sebagai pembebas penderitaan manusia, menjadi penindas umatnya sendiri hanya karena massa umat tidak mendukung sistem yang dikembangkan elitnya sendiri. Karena itu, penting mengkaji kembali apa sebenarnya misi suci dari sebuah perjuangan merebut suatu kekuasan politik. Perlu diajukan pertanyaan; “apakah penegakan Islam hanya bisa dimulai dari keberhasilan elite santri menguasai kekuasan politik suatu bangsa?”

Di dalam sejarah, kekuasan politik baru lahir di akhir kera-sulan Muhammad yang 23 tahun. Sayang, justru masa-masa terakhir inilah yang banyak dijadikan uswah khasanah elite penganutnya di kemudian hari. Banyak elite santri kurang bersedia memahami bahwa kekuasaan politik di dalam Islam diletakkan sebagai hasil atau konsekuensi sebuah konstruksi budaya di atas dasar landasan etik yang dikenal sebagai makarimal akhlak. Hukum positif syariah (fikih) baru bisa tegak dan berlaku secara gradual di tengah kesadaran etik umatnya yang kokoh dan luas. Moral etik adalah basis konstruksi budaya yang kritis dan hidup di dalam gerakan dinamis sebagai modal dasar perjuangan politik. Basis moral dan etik Islam bukan sistem hukum dan ritual, tetapi komitmen pembebasan manusia dari ketidakadilan dan segala macam penindasan budaya, ekonomi dan politik.

Kegagalan santri membangun kekuasaan politik atau merebut simpati publik akibat Islam dipahami hanya sebagai konstruksi formal hukum syariah positifis yang hanya penting bagi pelestarian hegemoni kelas elite atas massa umat yang tertindas secara teologis, teralienasi secara syariah. Formalisme ini menyebabkan politik Islam hanya bisa tegak di dalam masyarakat tradisional yang meletakkan elite sebagai patron. Namun, segera runtuh ketika masyarakat telah berubah menjadi semakin kritis dan bebas serta berpendidikan.

Akibat lain dari formalisme ialah ketidakpedulian elite santri pada penderitaan rakyat banyak dari kaum proletar yang miskin dan tertindas yang abai atas syariah sebagai akibat kemiskinan yang mereka derita. Hal ini menjadi penyebab mengapa kaum santri selalu mengha-dapi kekalahan ketika suara rakyat itu dihitung dan dihargai secara personal di dalam sistem demokrasi.

Kebenaran dan kebaikan dalam sistem demokrasi bukanlah rumusan kelas elite, apa pun kualitas kesalehan syariahnya, tapi kebenaran dan kebaikan versi “orang banyak” dalam arti yang sebenarnya dan statistik. Dalam hubungan itu, rekonstruksi sosial-politik kaum santri harus diubah dari rekayasa normatif-deduktif-teologis menjadi dinamika induktif dan sosiologis bertumpu pada kondisi sosial dan budaya umatnya sendiri. Karena itulah sepanjang gerakan kaum santri tetap bersifat hegemonik dan elitis, demokrasi akan menjadi arena kekalahan yang akan mereka derita.

Dari sini, politik santri ditegakan di atas basis etika kerakyatan yang abangan. Hal ini penting ketika komunitas pemeluk Islam hampir selalu mencerminkan kemiskinan, keterasingan dan keterpinggiran. Dari dalam situasi obyektif seperti itulah sejarah sering selalu berubah dan daripadanya kekuatan risalah para rasul diletakkan.
Persoalannya ialah apakah kaum santri bersedia dan berani mengubah paham syariah dan Islamnya melalui reformasi budaya dalam proses induktif dan karena itu menjadi beragam sesuai tantangan lokal tiap komunitas pemeluk Islam sendiri. Di sini, iman atau aqidah dipahami sebagai sikap kritis pada segala bentuk kemapanan yang sering disebut sebagai berhala-berhala. Di atas basis kekritrisan itu baru bisa ditegakan etika kerakyatan yang dinamis, lentur dan plural. Melalui tafsir itu pula, Al Quran bisa memenuhi fungsi universalnya dan risalah kenabian bisa berlaku di sepanjang sejarah umat manusia, bukan hanya berlaku dan penting bagi para sahabat dan ulama klasik, tapi juga bagi rakyat di zaman global ini.

Selanjutnya, format keyakinan kiamat sebagai kehancuran moral, politik dan ekonomi di masa depan perlu dikaji ulang. Kiamat adalah peristiwa revolusioner eksistensi duniawi di dalam keadaan apa pun yang semata-mata menjadi bukti dari kekuasaan Tuhan atas jalannya sejarah. Kiamat adalah konsep evaluasi kritis sejarah peradaban yang seharusnya dimengerti sebagai pemunculan kebaikan dan kesalehan di masa depan. Di zaman peradaban global, bisa berkembang kesalehan setara atau lebih baik dibanding kesalehan sahabat dan ulama klasik, hingga surga jannatun naim terbuka bagi siapa pun dan di zaman mana pun. Emansipasi teologis ini, akan menghadirkan kembali risalah aktual kenabian Muhammad Saw yang kritis kreatif, hidup dan menggembirakan sebagian besar masyarakat.

Masalahnya, apakah kaum santri memang hanya mau me-nang sendiri secara sepihak di bidang politik atau budaya. Hal ini penting untuk mengubah paradigma “perjuangan Islam” menjadi sebuah pencarian kemenangan bagi mayoritas rakyat. Kemenangan itu mungkin jika “perjuangan Islam” benar-benar berguna dan penting bagi mayoritas rakyat yang miskin dan abangan. Tanpa kesediaan elite santri mengubah paradigma gerakan dan perjuangan politiknya bagi kepentingan mayoritas umat yang awam dan abangan, kekalahan demi kekalahan masih akan diderita kaum santri aktivis politik di setiap pemilu.

Hal itu sama artinya dengan kegagalan elite santri di dalam mengemban dan memahami risalah suci Islam. Substansi moral dan etika (akhlak) kemanusiaan dari ajaran Islam gagal ditangkap, sehingga kewahyuan Islam dari Al Quran sulit dihadirkan kembali di tengah peradaban yang terus berubah dan berkembang. Pelurusan kembali atau kritik terhadap tradisi keberagamaan dan politik santri ini selalu penting sebagai bagian dari perjuangan Islam. Tujuannya ialah bagaimana menempatkan kembali Islam sebagai pencerah zaman dan bangsa yang tengah dilanda krisis berkepanjangan ini.

posted from Bloggeroid



This post first appeared on Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, please read the originial post: here

Share the post

Paradigma populis politik santri dan modernisasi elit

×

Subscribe to Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×