Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Seniman Melayu Riau - Tenas Effendi

Foto Tenas Effendi. Editor :  Rikko al-kadri. Source : www.beritasatu.com
Kunjungi situs : Template Presentasi Skripsi Powerpoint
TENAS EFFENDI adalah pemenang anugerah Sagang 1997 kategori " Budayawan terbaik ". Anugerah Sagang sendiri adalah sebuah penghargaan/award dunia Melayu yang diberikan kepada sosok atau tokoh yang berdedikasi terhadap kehidupan berkesenian, karya yang dinilai unggul, berkualitas, dan monumental, serta pemikiran yang mampu menggerakkan dinamika budaya Melayu dalam ranah tertentu.

Tengku Nasyaruddin Effendy atau lebih dikenal dengan nama Tenas Effendy lahir di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan, Riau, 9 November 1936 – meninggal di Pekanbaru, Riau, 28 Februari 2015 pada umur 78 tahun.

Tenas pernah mengecap pendidikan di Sekolah Agama Hasyimiah 6 tahun, (tamat 1950), Sekolah Rakyat 6 tahun di Pelalawan (1950), Sekolah Guru B3 di Bengkalis (1953), dan Sekolah Guru A3 di Padang (1957), lalu meneruskan pendidikan secara otodidak.

Sekretaris Lembaga Adat Riau di Pekanbaru ini, mengarang berbagai buku tentang masalah kebudayaan Melayu Riau. Angggota Komite Penelitian clan Pengembangan Dewan Kesenian Riau (DKR) periode pertama.

Beliau adalah seorang budayawan dan sastrawan dari Riau. Sebagai seorang sastrawan, Effendy telah membuat 400-500 makalah, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, yang berhubungan dengan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, sampai Madagaskar. Effendy sangat menjunjung tinggi dan amat peduli dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu.

Tenas Effendi telah menerbitkan 112 buku dengan topik budaya Melayu. Bukunya, ”Bujang Tan Domang”, berupa penelitian sastra lisan orang Petalangan, banyak dikupas mahasiswa, sastrawan, budayawan, peneliti di dalam dan luar negeri.

Karya-karya sastra yang dihasilkan antara lain: Lancang Kuning (naskah sandiwara I), Laksamana Hang Tuah (naskah sandiwara), novel clan novelet berlatarkan sejarah setempat seperti Banjir Darah di Mampusun, Datuk Pawang Perkasa, Laksemana Mengat seri Rama, Kubu Terakhir. Karya-karya lainnya: Ungkapan Trodisionol Melayu (1989) clan Bujang Tan Domang (1997), Drama Lancang Kuning.

Tenas juga dikenal sebagai tetua masyarakat di Riau yang tunjuk ajarnya selalu di harapkan oleh orang-orang muda di Pekanbaru clan beberapa daerah. Tokoh satu ini juga dikenal gigih memperjuangkan hak suku petalangan,yang selalu dikebiri oleh perusahaan-perusahaan besar di Riau. Saat ini beliau bermastautin di Pekanbaru clan sering mengisi ceramah-ceramah kebudayaan di berbagai tempat, baik dalam maupun luar negeri.

Tenas layaknya pembawa pesan bagi peradaban yang mengembara melintasi ruang dan waktu dalam belantara kata-kata. Ia seperti tukang cerita yang berfungsi sosial sebagai penyampai sekaligus penjaga kelestarian kebudayaan dan masyarakatnya dalam budaya tulis.

Sepintas, Tenas seperti sosok pendiam. Tetapi, ketika berbicara tentang Melayu, petatah-petitih, pantun, syair yang bernilai tinggi langsung meluncur deras dari mulutnya. Menurut ”Bapak Budaya Melayu” ini, era reformasi justru membuat budaya Melayu mundur. Salah satu penyebabnya istilah ”putra daerah” yang dikumandangkan politisi lokal.

Istilah itu melenceng jauh dari ajaran Melayu yang menjunjung tinggi profesionalisme ketimbang figur tak bermutu. Sampai era 1990-an, di Riau nyaris tak ada gejolak antarpuak. Melayu tak membedakan pendatang dan anak asli. Paguyuban di Riau saat itu dapat dihitung dengan jari, semisal Paguyuban Masyarakat Sumatera Utara atau Ikatan Keluarga Minang Riau.

Tenas sendiri aktif berorganisasi, antara lain sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (2000-2005), Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan (2000-kini), Pembina Lembaga Adat Petalangan (1982–kini), dan Penasihat Paguyuban Masyarakat Riau (2001-kini).

Istilah putra daerah memorakporandakan Melayu. Masyarakat pendatang, mereka yang sudah ratusan tahun bermukim, beranak pinak di Riau, tak lagi dipandang bagian dari Melayu. Maka, muncul paguyuban-paguyuban kecil. Setidaknya ada 33 paguyuban suku di Riau.

Kelompok yang dulu merasa Melayu tak lagi merasa punya ikatan. Hilang kebersamaan bersama munculnya paguyuban suku kecil-kecil. Orang Jawa, Batak, Sunda, Bugis, China merasa sebagai pendatang, tak lagi merasa bertanggung jawab atas perkembangan Melayu.

Padahal falsafah Melayu mengatakan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana air disauk di situ ranting dipatah. Artinya, di mana pun dia berada, harus menjunjung tinggi adat istiadat setempat dan di mana dia berusaha di tanah itu pula dia ikut membangun,” tuturnya.

Berdasarkan sejarah, setelah perang saudara, pusat Kerajaan Siak pindah ke Pekanbaru. Sultan Alamuddin Shah, Raja Siak, mengawinkan anaknya dengan bangsawan Arab. Tahun 1723-1724 Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah mengangkat bangsawan Bugis menjadi Dipertuan Muda di Riau.

Pada saat penahbisan itu, ada ikatan sumpah Melayu dan Bugis menyatu ibarat mata hitam dan putih.
Ketika Melaka diserang Portugis tahun 1916, Adipati Demak membantu Sultan Siak dengan membawa pasukan dari Jawa. Ketika Sultan Mahmud Shah dipukul mundur Portugis, armada Jawa tertinggal di Semenanjung Malaysia.

Masyarakat Riau begitu majemuk, melahirkan kebudayaan majemuk. Melayu menjadi budaya terbuka, mengadopsi budaya luar dengan falsafah ”diayak dan ditapis” (yang kasar dibuang yang halus diambil).

Dari akulturasi budaya itu menghasilkan falsafah Melayu yang mengajarkan hidup serumah beramah tamah, hidup sedusun tuntun-menuntun, hidup sekampung tolong-menolong, hidup sebangsa bertimbang rasa, hidup senegeri beri memberi,” ungkapnya.

Dulu, adat Melayu dipengaruhi oleh paham lama. Setelah masuknya Islam, budaya Melayu dikembangkan hingga muncul falsafah Melayu, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Falsafah itu dikenal di Indonesia, Malaysia, sampai Madagaskar.

Nilai-nilai Melayu makin berkembang secara universal, seperti persamaan derajat, kegotongroyongan, keadilan, kebersamaan, tenggang rasa, dan etos kerja. Nilai-nilai yang masih relevan dalam kehidupan modern.

Tenas percaya nilai-nilai universal tunjuk ajar Melayu relevan sepanjang masa. Lihat saja untaian ungkapan, syair, dan pantun Melayu tentang sifat mandiri dan percaya diri: Apa tanda orang yang bijak, di kaki sendiri ianya tegak. Apa tanda Melayu bertuah, pantang baginya menyerah kalah. Apa tanda Melayu terpandang, tegaknya tidak menyusahkan orang.

Tentang kepemimpinan: Adat hidup dalam keluarga, yang dituakan sama dibela, adat hidup berkaum bangsa, kepada pemimpin bertenggang rasa, sakit dan senang sama dirasa, silang selisih sama diperiksa, adat hidup bermasyarakat, kepada pemimpin hormat dan taat.

Buku-buku Tenas menjadi rujukan nilai-nilai Melayu, diterbitkan sebagai bahan ajaran di beberapa sekolah di Riau. Namun beberapa tahun belakangan sebelum kepergiannya menuju sang khalik, dia lebih sering berada di Malaysia. Orang menduga, dia kecewa di negeri sendiri.

Bukan karena saya kecewa. Malaysia memberi ruang lebih luas buat berkiprah. Banyak buku saya yang terbit di Riau, penyebarannya terbatas. Di Malaysia, banyak pula buku saya terbit dan disebarluaskan di seluruh negeri. Malaysia punya interaksi lebih luas dengan berbagai negeri Melayu di dunia, sementara di Riau terbatas,” ujarnya.

Selain mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, Tenas kerap bepergian ke seluruh wilayah Malaysia untuk seminar, diskusi, atau kegiatan lain terkait Melayu. Universitas Kebangsaan Malaysia memberi dia gelar doktor (HC). Tutur bahasa yang lembut dan teratur membuat Tenas mudah berteman.

Ayah saya menekankan, modal hidup ini ada dua, pertama nilai agama dan kedua perbanyak sahabat. Insya Allah dengan banyak sahabat, saya tak pernah kesulitan,” katanya.

Pemahamannya tentang keragaman dan asal-usul penduduk Malaysia membuat dia tak terusik dengan berita Malaysia mematenkan wayang, reog, atau rendang. Menurut Tenas, setidaknya ada 40 persen warga Indonesia dari berbagai suku yang beratus tahun tinggal di sana. Meski menjadi Melayu, adat istiadat nenek moyang tak dilupakan.

Mereka memberi penghormatan kepada budaya nenek moyangnya, mengapa kita harus marah?” katanya.

Tenas berharap Pemerintah Provinsi Riau mau mengembangkan muatan lokal Melayu untuk diajarkan di sekolah. Tenaga, ilmu, dan pikirannya siap disumbangkan. ”Hanya dengan pendidikan, budaya Melayu akan mendapat tempat,” tandasnya.

Budaya Melayu tak akan berkembang hanya dengan kegiatan seremonial, festival, atau kewajiban berbaju Melayu. Nenek moyang Melayu telah bersabda: Tuah sakti hamba negeri. Esa hilang dua terbilang. Patah tumbuh hilang berganti… Takkan Melayu hilang di bumi.

Biografi.

Beliau menghabiskan masa kecilnya dengan mengikuti ayahnya berladang padi disawah. Sehingga sejak kecil beliau sangat paham bagaimana cara kegiatan berladang yang dilakukan oleh ayahnya dan masyarakat desanya sehari-hari.

Selain itu beliau juga sering menyaksikan langsung beragam peristiwa dan aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya, seperti : upacara penabalan Sultan Said Harun, upacara menuba ikan yaitu sebuah ritual yang juga sarat dengan adat, upacara mengambil madu yang sarat dengan magis dan kental dengan ritual kebudayaan asli, dan berbagai aktivitas budaya lainnya.

Kebiasaan dalam mendengar, melihat dan mengamati berbagai macam budaya ini secara berangsur-angsur membuat beliau mampu menyerap berbagai unsur budaya tersebut dengan sangat mendalam bagi kehidupannya.

Walaupun belum terlalu memahami, namun kebiasaan masyarakat dengan beragam aktivitas kebudayaannya itu telah membentuk pandangan beliau mengenai kebudayaan Melayu yang Islami.

Ayahnya adalah seorang sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, yaitu Sultan Pelalawan ke-8 pada waktu itu. Ayahnya juga seorang penulis, yang selalu menulis mengenai semua silsilah Kerajaan Pelalawan.

Tulisannya berisi tentang adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya pada silsilah Kerajaan Pelalawan yang ditulis dalam buku yang berjudul Buku Gajah. Setelah Sultan Said Hasyim mangkat atau pensiun dari jabatannya sebagai sultan pada tahun 1930, Tengku Said Umar Muhammad dan keluarga pindah dari Pelalawan ke Kuala Panduk dan menjalani aktivitas seperti masyarakat lainnya.

Di Kuala Panduk Tengku Said Umar Muhammad diangkat sebagai Penghulu sekaligus sebagai guru agama yang pertama dan guru sekolah desa. Setelah berumur 6 tahun, Tenas mulai masuk Sekolah Agama dan Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya.

Pada Tahun 1950, beliau menamatkan sekolah di Sekolah Rakyat di Pelalawan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru B (SG B) di Bengkalis. Tidak banyak kegiatan yang dilakukannya selama menuntut ilmu di Bengkalis.

Hanya sekali-sekali Tenas mencoba menulis kemudian dikirim ke berbagai akbar yang ada di Medan. Setelah 3 tahun menempuh pendidikan di Bengkalis, Tenas melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru A di Padang.

Selama mengikuti pendidikan di Padang, banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh Tenas. Dasar menulis yang diperolehnya selama pendidikan di Bengkalis diteruskannya selama di Padang dan beliau menyelesaikan pendidikannya selama 3 tahun, yaitu tepat pada tahun 1957.

Pada tahun 1958 Tenas pindah ke Riau (Pekanbaru), aktivitas menulisnya terus dilakukan, begitu juga kegiatan berkesenian. Bersama Muslim Saleh, Tenas mengadakan pameran lukisan di Rumbai tahun 1959. Ini merupakan kegiatan pameran pertama yang dilaksanakan di Riau waktu itu.

Tahun 1960 Tenas sempat mengajar di salah satu sekolah di Siak, namun panggilan dan jiwa seni mengantarkannya kembali ke Pekanbaru untuk terus melakukan berbagai aktivitas berkesenian dan terus aktif menulis karya-karya sastra. Selain aktivitas seni, penerbitan buku-buku tentang kebudayaan Riau juga mulai dilakukan antara tahun 1968-1970.

Tenas sendiri menulis buku “Lancang Kuning, Kubu Terakhir” (novel). Sedangkan Umar Ahmad Tambusai menulis “Tuanku Tambusai, Pancang Jermal”, juga Wan Saleh Tamin menulis buku “Lintasan Sejarah Rokan”.

Pada tahun 1968, Tenas memulai aktivitas penelitiannya dengan berbagai macam objek penelitian. Objek pertama yang diteliti adalah masyarakat suku asli (Petalangan). Selain itu, Tenas juga mulai melakukan berbagai kajian tentang beragam kebudayaan lain.

Ia menghabiskan waktunya dalam melakukan kajian di hampir seluruh pelosok Riau dan Kepulauan Riau, masuk kampung yang satu ke kampung yang lain. Bertemu dengan banyak masyarakat asli dan tempat-tempat bersejarah yang sudah punah.

Tenas menghimpun pantun, ungkapan, peribahasa, perumpamaan, gurindam, bidal, ibarat, nyayian panjang sampai kepada seni bina arsitektur bangunan-bangunan tradisional. Dari perjalanan panjangnya berkecimpung dengan kajian kebudayaan dan aktivitasnya dalam menulis, Tenas berhasil mengumpulkan lebih kurang 20.000 ungkapan, 10.000 pantun dan tulisan-tulisan lain mengenai kebudayaan Melayu.

Kepiawaiannya dalam menulis dan pengetahuannya yang mendalam tentang kebudayaan menarik minat banyak institusi untuk berbagi pemikiran dalam berbagai seminar, simposium, dan lokakarya, mulai dari Malaysia, Singapura, Brunei sampai ke Belanda.

Pada tanggal 7 Februari 1970, Tenas menikah dengan Tengku Zahara binti Tengku Long Mahmud. Dari perkawinannya tersebut telah dikarunia 3 orang putra dan 4 orang putri yang diberi nama Tengku Hidayati Effiza, Tengku Fitra Effendy, Tengku Ekarina, Tengku Nuraini, Tengku Taufik Effendy, Tengku Ahmad Ilham, dan Tengku Indra Effendy.

Istri dan keluarganya selalu memberi dukungan dan semangat. Kepada anak-anaknya Tenas selalu mengatakan jika suatu saat ajal menjemputnya, maka bukan harta yang ditinggalkannya tetapi kekayaan berupa buku-buku dan bahan-bahan tentang adat istiadat dan kebudayaan Melayu Riau.

Ia berharap mereka dapat membaca, memahami, melihat dan menyimak berbagai khasanah kebudayan Melayu itu dan mengamalkannya dalam kehidupannya.

Organisasi

Tenas sendiri aktif berorganisasi, antara lain:
1. Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (2000–2005),
2. Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan (2000–2015),
3. Pembina Lembaga Adat Petalangan (1982–2015),
4. Penasihat Paguyuban Masyarakat Riau (2001–2015).

Karya

• Upacara Tepung Tawar (1968),
• Lancang Kuning dalam Mitos Melayu Riau (1970),
• Seni Ukir Daerah Riau (1970),
• Tenunan Siak (1971),
• Kesenian Riau (1971),
• Hulubalang Canang (1972)
• Raja Indra Pahlawan (1972),
• Datuk Pawang Perkasa (1973),
• Tak Melayu Hilang di Bumi, (1980),
• Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, (1981),
• Hang Nadim, (1982),
• Upacara Mandi Air Jejak Tanah Petalangan, (1984),
• Ragam Pantun Melayu, (1985),
• Nyanyian Budak dalam Kehidupan Orang Melayu, (1986),
• Cerita-cerita Rakyat Daerah Riau, (1987),
• Bujang Si Undang, (1988),
• Persebatian Melayu, (1989),
• Kelakar Dalam Pantun Melayu, (1990)

Penghargaan

• Juara 1 Mengarang Puisi Pada Pekan Festival Karya Budaya Dana Irian Jaya, (1962),
• Juara 1 Pementasan Drama Klasik Pada Pementasan Drama Klasik Festival Dana Irian Jaya, (1962),
• Budayawan Pilihan Sagang (1997),
• Tokoh Masyarakat Terbaik Riau 2002 versi Tabloid Intermezo Award (2002),
• Penghargaan Madya Badan Narkotika Nasional, Jakarta (2003),
• Anugerah Seniman dan Budayawan Riau Pilihan Lisendra Dua Terbilang (LDT)-UIR (2004),
• Anugerah Gelar Sri Budaya Junjungan Negeri, Bengkalis, (2004),
• Tokoh Budayawan Riau Terfavorit (2005),
• Anugerah Budaya; Walikota Pekanbaru, (2005),
• Tokoh Pemimpin Adat Melayu Serumpun, (2005),
• Doktor Persuratan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, (2005),
• Penghargaan dari Persatuan Mahasiswa Riau Malaysia, (2005),
• Anugerah Akademi Jakarta (2006)
• Anugerah Sagang untuk kategori Budayawan Terbaik Sagang (1977)

Kunjungi situs : Template Presentasi Skripsi Powerpoint


This post first appeared on Riau Berbagi, please read the originial post: here

Share the post

Seniman Melayu Riau - Tenas Effendi

×

Subscribe to Riau Berbagi

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×