Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Nyangahatn

"Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata"

Nyangahatn.


Yohanes Supriyadi

Pagi-pagi sekali, saya sudah berangkat dari rumah di kota pontianak. Dengan sepeda motor merk Yamaha VegaR, saya menerobos kabut asap yang dingin melaju dijalanan kota yang masih sangat sepi. Hari itu, sabtu akhir pekan, saya dijadwalkan untuk “pulang kampung”. Kami di Pontianak, bersama anak-anak asal pedalaman sejak tahun 1999, mendeklarasikan program jelajah budaya yang bernama “Gerakan Pulang Kampung” atau disingkat GPK. Kali ini, secara khusus saya bertujuan untuk menelusuri religi orang Dayak Kanayatn di Kampung Rees, Desa Rees Kecamatan Menjalin Kabupaten Landak. Kurang lebih 3 jam kemudian, saya sudah sampai di ibukota kecamatan, Menjalin. Menuju kecamatan ini, tidka sulit. Bila anda sudah sampai di kota Anjungan, anda harus lurus kiri, sebab lurus kanan anda akan sampai di Entikong, tapal batas negara. Jalannya pun masih sempit, mungkin hanya 3 meter dari 4 meter yang direncanakan Dinas Pekerjaan Umum, maklum saja kontraktor kadang-kadang bermain diarea ukur ini.
Dari Kota Menjalin, untuk menuju kampung Rees, didepan SMP Don Bosco, anda belok kiri. Sekitar 11 kampung dilewati untuk sampai dikampung ini. Dari simpang “Raba” Menjalin, 18 Km jaraknya dari kampung Rees. Jalannya pun baru terbuka, akhir tahun 2007 lalu. Jalan sudah aspal, namun masih bolong-bolong (lubang), karena banyaknya truk yang masuk tidak sesuai dengan kualitas aspal.
Hari masih boleh dikatakan padi, pukul 10.00 WIB saya sudah sampai dikampung ini. Singgah sebentar di warung Pak Eko, seorang guru SD Negeri yang bertugas di Sanggau Kapuas, 230 Km dari kampung. Warung ini dikelola oleh istrinya. Sambil minum kopi “cap layang”, yang terkenal itu, saya ditawari untuk melihat prosesi adat Nyangahatn oleh Itus, seorang warga kampung. “jeh dirik nele’ urakng nyangahatn karumah Nek Tucang” ajak Itus. Itus memang sudah 2 minggu lalu saya beritahu ikhwal kedatangan saya. Menurut info awalnya dari bapak 1 anak ini, Nyangahatn hanya dilaksanakan bilamana ada acara tertentu dikampung. “Kebetulan hari itu, kampung Rees sedang menyelenggarakan Adat Matahatn” ujarnya seraya menambahkan bahwa adat ini adalah pesta tahun baru padi setelah panen padi ladang. Biasanya diselenggarakan bulan Januari-Februari setiap tahunnya.
Hanya sekitar 20 meter dari rumah Pak Eko, tampak seorang lelaki tua sedang nyangahatn. Ikat kepala dari slayer (sal) pramuka melilit dikepalanya yang nyaris putih. Didepannya “terhidang”, beragam sesajian yang termuat dalam sebuah pahar (nekara) dari tembaga. Tampak sang tuan rumah mengelilinginya. Semua hening karena sang panyagahatn sedang memulai ritualnya.
Dengan perlahan, saya dan Itus mendekat. Saya berkesempatan ambil foto. Tidak lama, kopi panas terhidang. Juga ada tumpi’, poe’ yang tersedia dalam 2 buah piring kaleng. “silahkan diminum kopinya. Ada juga tumpi’, poe’ silahkan dimakan pak” sapa We’ Uli, tuan rumah memecah keheningan siang itu. Saya mengangguk, kebetulan perut sedang lapar. Sambil melahap tumpi’ yang berwarna putih dan terasa enak karena hanya pakai garam sedikit, Itus bercerita bahwa nyangahatn sangat penting dalam kehidupan keseharian mereka. Semua kegiatan adat dimulai dengan ritual ini. Dikampung Rees, dari 230 jiwa penduduk ini, ada 5 orang panyangahatn, yang siap dipanggil bilamana diperlukan warga. Mereka pekerja sosial, hanya boleh terima suba’ (paha ayam sebelah) dan mata pangkaras (berupa uang Rp.1000 atau sesuai kemampuan yang memanggil).
15 menit nyangahatn, Nek Tucang, sang panyagahatn duduk disamping saya. We’ Uli menyodorkan segelas air putih dan segelas kopi panas. Sambil nyandar, Nek Tucang memulai cerita. Menurutnya, Nyangahatn merupakan salah satu bentuk budaya asli warga kampung mereka yang bernilai religius dan sakral. “Budaya ini dilaksanakan pada seluruh moment-moment penting, baik dalam lingkaran siklus kehidupan: meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian, juga dalam kegiatan mata pencaharian utama, yakni berladang, serta dalam pengobatan tradisional” ujar kakek dari 5 orang cucu ini. Nek Tucang, telah mampu nyangahatn sejak berusia 30 tahun, yakni sejak ia diangkat warga menjadi Tuha Tahutn, pejabat kampung yang khusus menangani adat istiadat perladangan. Menurut anak dari Singa Binua ini, nyangahatn hanya boleh dilaksanakan oleh orang khusus yang disebut Panyangahatn. Tidak sembarang orang boleh nyangahatn. “saya tidka mau nyangahatn bila tidak lengkap perangkat yang diperlukan” sambungnya. Menurut salah seorang tokoh warga ini, pelaksanaan Nyangahatn memerlukan berbagai perangkat/perlengkapan adat yang telah ditetapkan berdasarkan warisan leluhur. “kalau yang bapak lihat tadi, saya sedang melantunkan mantra/doa-doa yang disebut Sangahatn.” lanjutnya seraya menyatakan bahwa nyangahathn merupakan salah satu bentuk sastra lisan non cerita selain Renyah, dan Mura’athn. Sedangkan sastra lisan yang tergolong cerita antara lain: Singara, Gesah, Osolathn, Batimang, Sungkalathn, dan Salong.
Kopi baru setengah gelas saya minum, namun 3 orang warga lainnya sudah duduk bersila disamping saya. Tampaknya kedatangan saya sudah “tercium” warga. Aura gembira, simpati muncul dimuka mereka. Pak Ika, yang duduk disebelah kiri saya menuturkan bahwa nyangahathn dalam lingkungan kultur masyarakat kampung ini tercermin oleh kenyataan bahwa seluruh upacara dalam lingkaran kehidupan masyarakat dilengkapi dengan Nyangahathn, termasuk seluruh upacara dalam siklus perladangan. “Hal ini artinya Nyangahathn merupakan aktivitas yang tak terpisahkan dari perilaku religius (aktivitas bernuansa kepercayaan asli) masyarakat” ujar mantan Kadus Rees ini sambil mempersilahkan saya untuk mencicipi tumpi’ (kue cucur) yang terhidang. Sekali lagi saya mengangguk. Warga disini sangat ramah, batin saya. Pak Ika melanjutkan bahwa peran Nyangahatn bagi masyarakat juga tergambar dari struktur tradisional masyarakat, yang menempatkan Panyangahathn sebagai salah satu perangkat sosial, yang bertugas memperlancar kegiatan sosial disamping perangkat lainnya, yaitu Pamalak (tukang Sunat) dan Pangarabathn (bidan). Struktur sosial Masyarakat Dayak Kanayatn meliputi tiga fungsi, yaitu pelaksana Hukum Adat yaitu: Timanggong, Pasirah dan Pangaraga. Pelaksana Adat Pertanian yaitu: Tuha Tahuthn, Bide Binua, Panyanakng Kalangkakng dan Tuha Ale’athn, dan pelaksana Kerja Sosial atau kemasyarakatan sebagaimana telah disebut di atas, yakni Panyangahatn, Pamalak, dan Pangarabanan. Dengan demikian aktivitas Nyangahathn memang telah mengakar dalam kebudayaan masyarakat Dayak Kanayatn. Bagi Nek Gila, nyangahathn selain melantunkan mantra kepada Jubata, juga merupakan bagian dari rangkaian kegiatan religius. “Dalam bentuk yang paling sederhana ungkapan religius ini dinamakan babamang yaitu ungkapan permohonan dalam pernyataan pendek tanpa atau dengan kurban sederhana, yaitu nasi’ dua’ gare’ (nasi dan garam, atau sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau dan rokok daun nipah)” ujarnya. Saya tercenung, pulpen saya tidak mampu digerakkan rasanya. Luar biasa, pikir saya. Nyangahatn telah melembaga sedemikian rupa dalam kehidupan mereka. Saya tidak lama dirumah We’ Uli. Beberapa warga juga mulai kembali kerumah masing-masing. Saya bergegas menuju rumah Itus, untuk mandi. Airnya dari bukit Oha’, dialirkan dengan menggunakan bambu. Sleuruh warga, mandi dirumah masing-masing. Tidak ada sungai dikampung ini, beberapa ada sungai kecil, yakni Sungai Rees, namun airnya sudah dangkal dan tidak bisa digunakan untuk mandi, cuci, dll. Beberapa bagian sungai juga sudah terputus. Itus menyesalkan dirinya sendiri, belum mampu berbuat untuk merevitalisasi sungai ini. “Padahal dari nama sungai inilah, nama kampung ini “sahutnya lirih. Ya, pikir saya. Saya juga merasakan hal yang sama dengan Itus, tapi apa boleh buat. Mungkin kesempatan lain saya coba mengorganisir warga, pikir saya. Kampung Rees dihuni oleh 231 jiwa penduduk, yang semuanya orang Dayak. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Oha’, karena wilayah adat mereka bernama Binua Oha’. Kampung ini berada dilembah sebuah bukit yang bernama Oha’. Dari sanalah nenek moyang mereka dulunya hidup dan kemudian dalam perkembangan waktu, mereka turun bukit dan membentuk perkampungan dibawah. Agama mereka umumnya Katolik Roma, sungguhpun demikian, adat dan tradisi masih mereka pertahankan.
Dalam siklus perladangan misalnya, mereka masih menerapkan adat dan tradisi warisan nenek moyang.
Malam baru hampir. Pukul 18.00 WIB. Seorang kakek tua menghampiri saya. “ahe kabarnyu cu’, dah lama atakng ?” tanyanya sambil memegang tanganku. Tangan yang dingin, dan terasa kekar. Tanda pemiliknya mantan pekerja keras. “dah lama uga’ nek, alapm tadi” sahut saya dalam bahasa Kanayatn. Nek Bagigit, 89 tahun, adalah Singa Binua Oha’, (Kepala Binua Oha’. Binua adalah pemerintahan adat, yang di Kalbar diganti dengan pemerintahan Desa.). Itus, tuan rumah mempersilahkan sang Kakek duduk dan menyantap tumpi’.
+++++++

Secara umum Nyangahathn terdiri dari serangkaian kegiatan, yaikni: (1) Matik, (2) Ngalantekathn, (3) Mibis, dan (4) Ngadap Buis. Menurut jenis sajiannya, keempat tahap di atas dibagi menjadi dua namun tetap merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaannya, yakni: (1) Nyangahathn Manta’ dan (2) Nyangahathn Masak. Nyangahathn manta’ ialah yang dilakukan tanpa hewan kurban atau dengan hewan kurban tetapi belum disembelih (masih hidup). Yang termasuk dalam Nyangahathn Manta’ ini adalah Matik, Ngalantekathn , dan Mibis. Sedangkan Ngadap Buis termasuk ke dalam Nyangahathn masak, karena sebab kurban yang dipersembahkan sudah masak.

Matik.
Matik adalah doa yang bertujuan menginformasikan kepada Sang Pencipta dan Awa Pama (roh leluhur) tentang hajat keluarga. Matik dilaksanakan malam hari sebelum hari labuh, atau sebelum berlangsungnya kegiatan. Perlengkapan atau sajiannya berupa: Tumpi’ Sunguh (cucur yang terbuat dari tepung beras yang diaduk dengan garam tanpa warna, dan tanpa ketan), Poe’ Sepiring (ketan masak sepiring), Ai’ Pasasahathn (air pencucian dalam cawan), Pelita (lampu), Kobet (Tiga buah, berisi sobekkan tumpi’ Sunguh, poe’, dilengkapi sirih masak)

Ngalantekatn.
Ngalantekatn adalah doa yang bertujuan memohon agar keluarga dan semua yang terlibat dalam pekerjaan memasak selamat. Sesajen atau sajian yang digunakan adalah Bantahan (sepiring beras sunguh/biasa dan sepiring beras ketan) sebutir telur masak, ai’ panyasahanth (air pencucian) dan pelita, penekng unyit mata baras (beras kuning/gonye) beras sasah (beras yang dicuci) dan langir/minyak. Tujuannya, mohon keselamatan. Beras kuning berfungsi sebagai peluntur, pelarut segenap hal yang kurang berkenan, dan berperan sebagai tudung, dinding penyekat dan benteng dari segala gangguan. Sedang beras sasah atau beras yang ducuci , berfungsi mencuci atau menghilangkan segala sesuatu atau kekotoran yang melekat pada manusia. Langir terbuat daru kulit buah langir disampur minyak kelapa. Melambangkan pelartu, penawar peluntur segala yang tidak baik dalam kehidupan.

Mibis.
Mibis adalah doa kelanjutan dari tahap Ngalantekathn, yang bertujuan agar segala sesuatu yang telah dilunturkan, dilarutkan supaya diterbangkan jauh dari keluarga dan lingkungan dan dikuburkan sebagai matahari yang terbenam ke arah barat. Kegiatan Mibis ini disebut babibis. Dalam tahap babisis semua yang persembahkan pada tahapan Ngalantekathn, dipesembahkan kembali. Setelah doa babibis selesai disampaikan, ayam disembelih dan diambil darahnya untuk melengkapi kurban ngadap Buis. Ayam dibersihkan dengan hanya membuang usus. Ayam kurban yang selanjutnya dipanggang atau direbus dengan bentuk dada terbelah, disebut Rangkakng manok.

Ngadap Buis
Ngadap Buis adalah tatacara berdoa yang terdiri dari beberapa kegiatan, yang meliputi:
1.Ngalatekathn bujakng Pabaras. Isinya adalah pengutusan Bujakng Pabaras kepada Jubata. Bujakng Pabaras dapat pula diartikan sebagai tanda pertobatan keluarga sehingga layak berdoalog dengan jubata dan awa pama.
2. Ngaranto.Pada tahap ini Panyangahathn mengajak setta mengundang Jubata Ne’ Patampa’, Ne’ Pajaji Ne’ Pangingu dan Awa Pama.
3. Nyasah paha
Pencucian kaki Jubata dan Awa Pama yang turut serta dalam undangan.
4. Tampukng Tawar
Permohonan agar Jubata menawarkan semua hal yang tidak berkenan. Permohonan ini disimbolkan dengan perilaku mengoleskan tepung tawar di kening atau telapak tangan keluarga pelaksana.
5. Nyorokng Kobet
Penyampaian kurban sesuai jumlahnya
6. Basasah basingkomor
Pelayanan kepada Jubata dan undangan lainnya untuk mencuci tangan dan
berkumur . Ditandai oleh pencurahan air oleh Panyangahathn.
7. Pengudusan
Pengudusan terghadap berbagai hal yang kurang berkenan selama kegiatan berlangsung, dengan menggunakan lambang bujakng Pabaras.
8. Basaru’ Sumangat
Pemanggilan semua jwa yang berkaitan dengan kehidupan agar kembali dengan
tenang dan tenteram.
9. Muat Buis. (Bahari dkk., 1996:157)
Bagian penutup ini memohon ijin untuk mengambil kembali semua persembahan.

Dalam Nyangahatn Ngadap Buis, terdapat sejumlah Jubata/tokoh Illahi yang menjadi tujuan arah persembahan. Semua kobet diberikan kepada Jubata menurut ujut-ujut kekuasan-Nya, yakni:
1. Mata’ ari, Bulatn, Bintakng
2. Palasar Palaya’ (lingkungan hutan rimba)
3. Tingkakok Burukng Matan, Bungkikik Burukng Jawa (Burung Penimang padi agar bersih dan lebat)
4. Pangalu’, Pangamakng (Roh leluhur yang dapat menganggu, yang mungkin ikut hadir dalam pesta)
5. Laok Bisa (hewan berbisa)
6. Awa Pama Karamigi (arwah leluhur penjaga rumah tangga)
7. Bakahatn Jarami (lahan bekas ladang)
8. Pangarabantatn, Pamalak, Picara (Bidan, Tukang sunat, dan utusan acara meminang/ perkawinan)
9. Pajaji, Patampa’, Pangira (Pencipta awal mula dan di masa datang)
10. Pagalar, Pajanang, Ka’ Bide Binuo (para pemimpin di lingkup Binuo)
11. Ka’ Kampokng Ka Tumpuk (di wilayah kampung halaman)
12. Ka’ Ai’ Ka’ Tanah (di air dan tanah) Bahari dkk., 1996:154)

Buis tidak hanya berupa ayam, tetapi dapat berupa babi yang beratnya minimal 40 kg. Terutama Nyangahatn dalam Pesta-pesta yang tergolong besar, seperti: perkawinan, Baroah Ngalapasan Tahutn (akhir pemeliharaan arwah tahun ketiga kematian), dan Sunat. Secara keseluruhan, bahan Buis atau persembahan yang merupakan irisan-irisan daging babi disebut Galumakng. Daging babi yang dijadikan Galumakng antara lain:
1. Kulit/lamak buis (kulit/lemak punggung kanan, selebar 4 jari)
2. Apo (lemak bagian perut)
3. Angkakng (rusuk)
4. Pengekng (tulang pinggul)
5. Amali’ (kulit ketiak kiri)
6. Padar (rusuk, hati, dan kura)
7. Limunsur (otot punggung kanan)
8. bamabm(lemak dalam daging rongga perut)
9. Sigah 4 tatak (bahan perut yang dimasak dalam buluh sebanyak 4 potong)
10. Galompa’ (kulit berlemak 4 bungkus)
11. Lonekng kokot keba’ (lengan kiri utuh, dari pangkal sampai kuku)

Suba’ atau Karama
Setelah Nyangahatn selesai disiapkan paket untuk Panyangahatn, yang disebut Suba’ atau Karama. Bahan Suba’ tersebut antara lain: tungkat/poe’ ruas (ketan dimasak dalam bambu), sabalah talo, ati, babakng (sebelah telur, hati dan empedal), bantatn (beras biasa dan ketan masing-masing sepiring) dan salonekng manok (satu paha ayam, jika buisnya hany seekor, atau sebelah ayam tanpa kepala jika buisnya lebih dari seekor). Jika buisnya menggunakan babi, maka selain bahan-bahan di atas, Suba’nya adalah: satu padar, satatak sigah (sekerat bambu berisi bahan-bahan dalam/perut babi yang telah dimasak, Sebungkus galompa’, Satu barakng.

Saya baru bisa pulang jam 21.00, ketika sleuruh prosesi Nyangahatn selesai. Beberapa warga mendekat dan menyatakan permohonannya, agar saya meliput lagi kalau ada ritual dikampungnya.
“repo kami kade’ kita’ mao nulis adat-adat ka kampokng kami”
“makasih pak uda’. Bataki’ maan’ kade’ ada acara agik boh”
Saya melambaikan tangan, melaju dijalan raya yang baru beraspal Desember 2007 lalu.
Selesai

SUMBER : 
http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/03/nyangahatn.html

"Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata"


This post first appeared on VivieckBlogDotBlogcepotDotCom, please read the originial post: here

Share the post

Nyangahatn

×

Subscribe to Vivieckblogdotblogcepotdotcom

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×