Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

profil simeulue

DI antara pulau-pulau di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kepulauan Simeulue mungkin jarang didengar orang. Selama ini orang lebih banyak mendengar Pulau Weh sebagai pulau yang cantik. Di sana juga terletak Kota Sabang yang cukup dikenal karena diabadikan dalam salah satu lagu nasional. Namun, mendengar nama Kepulauan Simeulue, orang tidak banyak tahu. Padahal, pulau yang bisa dicapai dengan menumpang kapal feri dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, atau pesawat berbadan kecil ini menyimpan kecantikan dan potensi yang tak kalah oleh wilayah lain.

SALAH satu potensi itu adalah kekayaan hutan yang mendominasi luas lahan darat Kepulauan Simeulue. Kabupaten ini memiliki 100.000 hektar lebih hutan atau 50 persen dari total luas wilayah. Potensi kayu hutan sangat menjanjikan. Terlebih dari luas hutan tersebut, mayoritas hutan produksi terbatas maupun tetap. Banyak peluang memanfaatkan hutan dan hasilnya asalkan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.

Sayangnya, pemanfaatan hutan di kepulauan yang bulan November 2002 mengalami gempa bumi cukup hebat itu, selama ini tidak memperhatikan aspek tersebut. Cara yang digunakan mengeksploitasi sumber daya alam khususnya hutan di Simeulue tidak ramah lingkungan. Misalnya, penebangan kayu ilegal dan perambahan hutan tak terkendali. Eksploitasi seperti ini menjadi salah satu penyebab bencana alam longsor, banjir, dan erosi.

Padahal, aktivitas penduduk dari pemanfaatan hutan dan hasilnya adalah penyumbang terbesar kedua kegiatan ekonomi Kepulauan Simeulue. Dengan kontribusi 21 persen pada produk domestik regional bruto (PDRB) tahun 2001, lapangan usaha kehutanan berada di bawah peternakan yang menyumbang 25 persen. Selain kayu bulat, hutan Simeulue juga menghasilkan beberapa jenis rotan, seperti manau, saga, dan lain-lain. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga tahun 2001 tercatat tujuh perusahaan dan satu koperasi.

Mungkin sedikit mengherankan di sebuah wilayah yang benar-benar dikelilingi lautan seperti Kepulauan Simeulue ini, perikanan bukan andalan utama ekonomi. Kontribusinya dalam kegiatan ekonomi tidak sampai tiga persen. Tenaga kerja yang menggeluti lapangan usaha ini pun sekitar 3.000 orang. Pada tahun 2001 produksi perikanan laut 339 ton dengan nilai produksi Rp 2,03 miliar. Selain produksi perikanan laut kecil, hasil budidaya perikanan darat seperti tambak dan kolam juga tidak dapat diharapkan. Dengan luas tambak 711 hektar dan kolam 494 hektar, produksi tahun 2001 masing-masing 13 dan 26 ton. Belum berkembangnya lapangan usaha yang sangat potensial di kepulauan ini disebabkan rendahnya teknologi kelautan yang dimiliki penduduk. Untuk melaut, nelayan Simeulue masih sangat bergantung pada musim. Perahu yang mereka miliki juga didominasi perahu tanpa motor ukuran sedang. Tidak mungkin menghasilkan tangkapan besar jika kendala ini masih dimiliki.

Simeulue justru sangat unggul dalam pengembangan peternakan. Lapangan usaha ini juga yang menjadi kontributor utama kegiatan ekonomi kabupaten yang memiliki 41 pulau kecil di sekeliling pulau utama Simeulue. Populasi hewan ternak terbanyak kerbau dan ayam buras. Ternak kerbau tahun 2001 populasinya 33.414 ekor, merupakan ternak yang paling banyak diperdagangkan ke luar daerah. Pada tahun yang sama, sekitar 1.500 ekor kerbau didistribusikan ke luar Simeulue. Meski demikian, mayoritas penduduk bergelut di lapangan usaha pertanian tanaman pangan. Hampir 62 persen dari total penduduk menggelutinya. Jenis tanaman pangan khas yang banyak dihasilkan adalah ubi kayu dan ubi jalar. Selain pertanian tanaman pangan, penduduk juga banyak yang terjun di perkebunan.

Bisa dikatakan, Kabupaten Kepulauan Simeulue sesungguhnya menyimpan potensi sumber daya alam yang cukup besar asalkan pengelolaannya ramah lingkungan. Kekayaan laut yang belum dimanfaatkan maksimal, hutan dan hasil-hasilnya, pertanian, perkebunan, serta peternakan. Namun, daerah ini membutuhkan banyak tangan-tangan ahli yang mampu mengoptimalkan kekayaan alam. Selain itu, posisi geografis kabupaten yang cukup jauh dari pusat pemerintahan provinsi maupun kabupaten dan kota lain di dalam maupun luar provinsi, cukup menyulitkan pengembangan ekonomi kabupaten kepulauan ini. Apalagi, wilayah ini juga belum mengembangkan agroindustri yang mampu mengolah kekayaan alam menjadi komoditas dengan nilai tambah. Komoditas pertanian, perikanan, hutan, perkebunan, dan peternakan dipasarkan dalam bentuk bahan baku non-olahan.

Oleh sebab itu, meski pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat setiap tahun dengan pencapaian di tahun 2001 sebesar 2,9 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi provinsi 1,5 persen, Simeulue tetap tercatat sebagai salah satu wilayah dengan jumlah penduduk miskin cukup banyak. Hingga pertengahan tahun 2003, penduduk miskin dan sangat miskin lebih dari 46.000 orang atau sekitar 71 persen dari jumlah penduduk. Ia juga memiliki pendapatan per kapita yang rendah dibanding rata-rata provinsi. Pada tahun 2001 sebesar Rp 2,3 juta, sementara pendapatan per kapita provinsi Rp 3,7 juta.

Untuk menjadikan kabupaten ini lebih menjanjikan dari sisi ekonomi, jalan utamanya adalah mengundang pemodal. Keterisolasian daerah selama ini menjadi kendala investor datang dan menanam uang mereka. Karena itu, upaya pemerintah membangun infrastruktur transportasi yang memadai mutlak diperlukan. Terlihat dalam realisasi APBD tahun 2001, 61 persen belanja pembangunan disalurkan untuk pembangunan transportasi. Selain itu, peningkatan mutu sumber daya manusia juga dibutuhkan untuk mampu mengelola kekayaan alam di kabupaten yang bentuknya bisa dikatakan sebagai Indonesia mini ini.

Negeri Aman di Samudera Hindia

DATANGLAH ke Simeulue. Di sana aman, tidak ada perang. Ibnu Aban GT Ulma, Wakil Bupati Simeulue, mengungkapkan hal itu bagai mempromosikan daerahnya, suatu petang pekan lalu.

Simeulue, pulau di Lautan Hindia itu sejak lama terjauh dari imbas konflik di daratan Aceh. Sejauh ini memang belum ada kabar yang menyebutkan adanya Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Simeulue, apalagi kontak senjata antara GAM dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di sana.

Kondisi Simeulue amat jauh berbeda dengan daratan Aceh. "Insya Allah, kita di Simeulue masih aman dari gangguan-gangguan keamanan," Kata Ibnu Aban.

Orang Simeulue mengetahui berbagai kejadian di daratan Aceh melalui pemberitaan media massa. Dan sebagai orang Aceh, masyarakat Simeulue, kata Ibnu Aban, juga berharap konflik Aceh cepat selesai.

Simeulue adalah kabupaten dengan luas 205.955 hektar, membentang pada posisi antara 4-4,3 derajat Lintang Utara, dan 96-97 derajat Bujur Timur. Panjang pulau ini sekitar 97,5 kilometer dengan lebar sekitar 15,8 kilometer. Jumlah penduduk, sekitar 63.000 jiwa.

"Umumnya warga kami petani," kata Ibnu Aban. Mereka adalah petani cengkeh dan kelapa, sebagian lainnya nelayan. Berada di Samudera Hindia dan terpisah sekitar 105 mil dari Meulaboh, ibu kota Kabupaten Aceh Barat, pulau ini pernah mencapai masa jaya saat membaiknya harga cengkeh tempo dulu.

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an, warga pulau itu mendapat rezeki yang lumayan dari cengkeh. Anak-anak Simeulue banyak bersekolah dengan "rahmat" dari cengkeh tersebut. "Kalau panen raya, bisa mencapai 5.000 ton," kata Ibnu Aban. Maka tak mengherankan banyak orang Simeulue yang kaya dan mampu mempekerjakan orang luar pulau itu untuk memetik cengkeh. Para pekerja itu datang dari daratan Aceh.

Tetapi, jayanya masa cengkeh itu kemudian sirna oleh anjloknya harga. Pohon cengkeh pun kemudian tak terurus lagi. Boleh dikatakan, tak ada tanaman cengkeh baru yang diusahakan petani, kecuali tanaman cengkeh lama. Bila dikalkulasi, sebenarnya dengan harga cengkeh Rp 5.000 per kg sekarang, petani merugi setelah membayar ongkos petik dan jemur. Karena itu, mereka lebih memilih menanam cokelat atau tanaman lain yang bisa membawa hasil lebih.

Data pemerintah setempat menunjukkan sedikitnya 18.414 hektar tanaman cengkeh produktif di sana tahun 1995. Namun, jumlah itu kini anjlok hingga 50 persen karena petani enggan merawat dan mengusahakan tanaman itu akibat anjloknya harga.

Di sana juga ada sekitar 6.000 hektar tanaman kelapa, 18.814 hektar areal sawah. Satu hal yang mengejutkan, populasi ternak kerbau di sana 45.000 ekor. Bandingkan dengan jumlah penduduk yang 66.306 jiwa.

Banyaknya jumlah ternak kerbau di sana karena didukung kondisi alam berawa dan hamparan tanah lumut yang luas. "Kalau dibilang setiap keluarga punya ternak kerbau, tidak juga. Buktinya saya tak punya kerbau...," kata Ibnu Aban sambil tertawa lepas.

Kerbau dari pulau itu banyak dijual dan diangkut lewat laut ke Sibolga yang menempuh perjalanan 18 jam. Kota yang dituju adalah Tapian Nauli. "Orang di sana sudah kenal betul dengan kerbau dari Simeulue," kata Ampuh Devayan, putra Simeulue di Banda Aceh.

Ciri kerbau dari Simeulue, meski agak kecil dibanding dengan rata-rata kerbau yang hidup di daratan Sumatera, memiliki rasa daging yang manis. Ini lantaran kerbau dari Simeulue umumnya dilepas di rawa-rawa serta areal persawahan sehingga hewan itu memilih makanan rumputan sendiri dari alam bebas. "Bagian belakangnya 'bahenol', banyak daging, dan harganya mahal," kata Ampuh.

Bukan hanya kerbau yang "menggoda" untuk dijadikan rupiah. Kata Ibnu Aban GT Ulma, pemerintah setempat juga mendata banyak potensi yang belum tergarap. Contohnya, potensi perikanan dengan lautan samudera sekeliling pulau yang luas terbentang.

Selama ini terkesan penggarapan potensi itu terabaikan. Bahkan ada sinyalemen banyaknya kapal-kapal ikan asing yang mencuri ikan di perairan sekitar pulau itu.

Bukan hanya perikanan laut, pulau itu juga menyimpan potensi pengembangan perikanan darat. Kawasan pesisir belum sepenuhnya dikembangkan. Ini berbeda dengan pesisir timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikelola rakyat untuk pengembangan perikanan, khususnya udang.

Selain itu, potensi hutan juga dimiliki pulau itu. Bukan dalam artian penebangan hutan, tetapi di hutan terdapat banyak potensi yang bisa diambil dan dikembangkan. Kata Ibnu Aban, potensi itu misalnya, rotan yang cukup banyak. "Pemanfaatannya tentu tak mengganggu hutan," kata dia.

Lalu di bidang lain, potensi pariwisata yang belum terkuak. Pulau Simeulue memiliki sejumlah obyek wisata untuk dikembangkan. Jasa transportasi laut dan udara sudah terbuka ke sana. Dari Meulaboh dan Labuha Haji, setiap minggu ada tiga kali feri yang berlayar ke Simeulue. Sementara itu, melalui udara tiap minggu ada dua-tiga kali penerbangan dari Banda Aceh ke sana.

Potensi lain juga cukup banyak. "Sebagai kabupaten yang masih muda, kita tetap terus mengupayakan berbagai pengembangan potensi itu," katanya.

Di sisi lain pulau ini, memiliki corak etnis tersendiri. Memang hampir tak ada fakta sejarah yang bisa menjelaskan, bagaimana di pulau tersebut telah terbentuk suku Simeulue, yang memiliki beberapa bahasa lokal.

Begitu juga profil umum warga Simeulue yang hingga sekarang cenderung bermata sipit, di antaranya berkulit kuning mirip orang Cina. Ini berbeda dengan tipe umum penduduk Aceh daratan.

"Contoh dekatnya Pak Ibnu Aban yang sekarang wakil bupati," kata seorang warga Simeulue di Banda Aceh.


This post first appeared on Simeulue, please read the originial post: here

Share the post

profil simeulue

×

Subscribe to Simeulue

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×