Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Di Tanah Jawa Panting Berdenting

Ampar-ampar pisang

Pisang ku balum masak

Masak sabigi dihurung bari-bari

Sekelompok orang berjejer rapi dihadapan hadirin. Mereka adalah paduan suara dari suku Hakka Cina, tapi ketika bernyanyi bukannya lagu berbahasa Cina dilantunkan melainkan membawakan lagu Banjar Ampar-ampar pisang dengan penuh riang dan diiringi Musik organ tunggal. Sementara di sebelah kanan kelompok paduan suara itu duduk berjejer sebuah grup Musik Panting yang siap beraksi. Setelah paduan suara menyanyikan lagu Ampar-ampar pisang hingga selesai, langsung dilanjutkan musik tradisional grup musik panting yang juga membawakan lagu Ampar-ampar Pisang diiringi para penari latar.

Belum tuntas lagu dinyanyikan, paduan suara pun menyambung lagu itu diiringi musik panting dalam tempo lambat. Setelah selesai paduan suara bernyanyi, instrumen musik panting terus berlanjut dengan tempo lebih cepat tanpa iringan lagu. Begitu selesai musik panting, kembali paduan suara menyanyikan nang mana batis kutung dikitip bidawang.

Pagelaran itu adalah momen yang sulit terlupakan oleh Firliadi Noor Salim, salah seorang pemain musik panting grup Dendang Banua dari Kerukunan Mahasiswa Hulu Sungai Selatan di Yogyakarta. Waktu itu, 25 Mei 2009 mereka berkolaborasi dengan paduan suara suku Hakka untuk memeriahkan pembukan acara perkumpulan suku Hakka se Yogyakarta di gedung pertemuan Grand Pasifik.

Sebagai pemain musik panting, Salim panggilan sehari-hari Firliadi Noor Salim yang tengah menuntut ilmu di Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga, merasa sangat bangga karena grup musik mereka mendapat kehormatan dalam acara orang Cina Hakka. Grup musik panting Dendang Banua adalah satu-satunya grup musik tradisional yang didaulat untuk memeriahkan acara pembukaan pertemuan suku Hakka di Yogyakarta.

Penampilan Dendang Banua di acara pertemuan suku Hakka, menurut Wira salah seorang personel Dendang Banua, pada mulanya hanya sekedar coba-coba dari panitia pelaksana. Kebiasaan mereka mengundang salah satu grup musik tradisional untuk mengisi acara hiburan, tahun 2009 Dendang Banua mendapat giliran.

Rupanya penampilan grup musik panting Dendang Banua mendapat penilaian positif dari para undangan yang hadir, tepuk tangan membahana di dalam gedung Grand Pasifik Yogyakarta. Setelah tampil perdana secara mengesankan itu, mereka pun mendapat undangan kembali untuk mengisi acara pembukaan kejuaraan Nasional Wushu Yunior Taulo Open 2009 di GOR Universitas Negeri Yogyakarta. “Di sana kami kembali tampil dan berkolaborasi dengan penari Cina,” ujar Salim.

Mantan ketua KM HSS ini pun sangat berbangga hati, karena hadir Sultan Yogya dalam acara pembukaan kejurnas Wushu tersebut. Kebetulan ada kontingen Wushu dari Kalimantan Selatan, salah seorang panitia kontingen tersebut langsung menemui mereka setelah tampil dan menanyakan apakah Dendang Banua sebagai utusan DKD Kalsel sehingga tampil dalam acara pembukaan kejurnas Wushu. Mereka pun menjelaskan bahwa tampil sendiri karena undangan panitia.

Grup musik panting Dendang Banua yang beralamat di asrama mahasiswa Kabupaten HSS “Amuk Hantarukung” di jalan Mangga 3 Blok D No 37 RT. 2 RW. 8 Klebengan, Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, lahir bertepatan dengan hari jadi kabupaten HSS tanggal 2 Desember 2001. Pada waktu itu asrama mahasiswa HSS dan sekretariat Dendang Banua beralamat di Jalan Mawar dan masih berstatus kontrakan.

Cerita Salim yang juga mantan ketua asrama “Amuk Hantarukung” 2007 yang ditemu URBANA di Yogyakarta, Kamis (27/08) bahwa seniornya mendapat bantuan pemda HSS untuk mendirikan grup musik panting Dendang Banua. Sayangnya bantuan tersebut tidak mencukupi untuk membeli alat musik, sehingga untuk menutupi biaya mahasiswa mencari uang dengan cara mengamen dengan menggunakan alat musik biola di sekitar kampus UGM hingga akhirnya dapat menutupi kekurangan biaya.

Selain berhasil mendapatkan uang untuk mencukupi kekurangan biaya membeli peralatan, rupanya kemampuan mahasiswa memainkan biola juga digemari kelompok pengamen lain yang beroperasi di sekitar UGM sehingga banyak pengamen berminat belajar bermain biola.

Generasi pertama pemain Dendang Banua adalah Lupi Anderiani, Alfriend, Obeb, Riswan, Faturrahman, “Jeng” Sri, Riza, Anoy, Inai, Ilmi dan Alfi. Secara perlahan-lahan para pemain tidak lagi aktif di Dendang Banua karena telah menyelesaikan studi. Sepeninggal Lupi Anderiani, Dendang Banua kekurangan pemain biola. Kini personel Dendang Banua diisi oleh Firliadi Nur Salim, Indra Bandi, Atma Prawira dan Mus’ab yang memainkan alat musik panting. Memainkan alat musik kataprak oleh Abdurrahman al-Gunain, Aditya Aris Pratama, Muzaiyyin Mistar, Muhammad Arif. Adapun memegang alat musik Babun oleh Udin Khair dan gong oleh Hafiz. Vocal oleh Debby Miranti dan Hasani Memed.

Latihan rutin dilaksanakan setiap dua kali seminggu di asrama mahasiswa HSS, “Amuk Hantarukung” Yogyakarta pada hari Jumat dan Minggu. Pada saat latihan, mereka pernah ditonton oleh turis Rusia. Setelah menyaksikan tampilan musik panting Dendang Banua, turis Rusia yang semula tidak ingin pergi ke Kalimantan menjadi tertarik untuk melihat secara langsung kesenian di Kalimantan Selatan.

Dendang Banua yang dimanajeri oleh Amat Sufian setelah eksis beberapa tahun akhirnya mendapat bantuan dari pemprov Kalsel awal tahun 2009 untuk memperbaiki alat. Namun, bantuan tersebut masih belum mencukupi terutama untuk mengganti kostum pemain karena selama sembilan tahun eksis masih menggunakan pakaian yang sama. Padahal untuk saat ini menurut Atma Prawira mahasiswa Banjarbaru yang orang tuanya berasal dari Kandangan, Dendang Banua adalah satu-satu grup kesenian dari Kalimantan Selatan yang masih eksis di Yogyakarta bahkan se Jawa dan Bali.

Untuk lebih mempromosikan Dendang Banua, dibuka alamat di dunia maya yang berisi tentang dokumentasi kegiatan berupa gambar dan video di face book yang beralamat Grup Musik Panting “DENDANG BANUA” KM HSS Yogyakarta. Hingga saat ini Dendang Banua memiliki 1.780 penggemar di dunia maya.

***

Kota Yogyakarta selain dikenal dengan julukan kota Pelajar juga sebagai kota seni dan budaya yang memungkinkan segenap unsur kesenian tumbuh dan berkembang. Dendang Banua menjadi satu-satunya grup musik tradisional yang membawa nama Kalsel di Nusantara melalui kota Yogyakarta.

Selama tahun 2009, Dendang Banua sudah tampil selama beberapa kali, salah satunya dalam acara tahunan Gelar Apresiasi Seni Antar Etnis 2009, di halaman Monumen Serangan Umum Satu Maret pada 29 Juli 2009.

Selain tampil dalam acara yang bersifat nasional, Dendang Banua juga kerap diundang dalam acara mahasiswa daerah. Salim bercerita bahwa Dendang Banua pernah diundang bersama grup musik dari Aceh dalam acara peresmian asrama Todilaling, Sulawesi Barat tahun 2008. Ini menunjukkan musik daerah Kalimantan Selatan sebenarnya mendapat tempat di kalangan penggemar musik tradisional dari daerah lain.

Setiap tahun sejumlah agenda pertunjukkan musik tradisional sudah menunggu grup musik panting Dendang Banua. Misalnya di lokasi yang sering tampil yakni halaman monumen Serangan Umum Satu Maret, Dendang Banua sering diundang untuk mengisi acara ulang tahun kota Yogyakarta, Festival Kesenian Yogyakarta , Hari Sumpah Pemuda, Gelar Apresiasi Seni Antar Etnis. Di Jogja Expo Centre (JEC), Dendang Banua juga tampil untuk memeriahkan Yogya Fair dan Ramadhan Fair. Adapun acara bersifat kedaerahan biasanya setiap Syawal yakni Halal bi halal warga Banjar di Yogya.

Untuk agenda ke depan Dendang Banua bersiap-siap untuk memeriahkan empat acara, yakni: Ramadhan Fair, 2 September 2009 di JEC, kemudian tampil dalam pembukaan acara pertemuan Suku Hakka se-Indonesia pada bulan November di Yogyakarta. Adapun acara bersifat kedaerahan memeriahkan ulang tahun Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS) bulan November dan halal bi halal warga Kalsel di Yogyakarta, sekaligus peresmian renovasi asrama Lambung Mangkurat.

***

Setiap tampil di hadapan publik bagi Salim dan Wira serta teman-temannya yang lain, selalu tersimpan rasa bangga karena membawa nama daerah di kota Yogyakarta pusat kebudayaan Jawa. Apresiasi para penonton yang hadir dapat mereka rasakan dari applause penonton setelah tampil, apalagi disaksikan oleh para penonton dari berbagai daerah serta turis dari mancanegara.

Atas jerih payah penampilan mereka, pihak panitia yang mengundang memberikan imbalan yang beragam. Dari ratusan ribu dan kalau lagi mujur pernah mendapat bayaran hampir Rp 2 juta selama 15 menit pertunjukkan. “Tapi imbalan terima kasih haja gin, kami tarima haja,” terang Salim. Dalam acara tertentu, mereka pun lebih mementingkan tampil daripada memikirkan imbalan apalagi kalau nilai promosinya besar melalui event nasional.

Meskipun keberadaan Dendang Banua sebagai satu-satunya grup musik tradisional dari Kalimantan Selatan di Yogyakarta hingga se-Jawa Bali yang terus eksis dengan semangat para mahasiswa daerah untuk membawa nama baik Kalsel secara nasional dan internasional. Namun, para personel Dendang Banua mengakui khawatir akan kelangsungan grup ini di masa mendatang. Menurut Salim, mantan ketua Asrama “Amuk Hantarukung” yang berasal dari Sungai Paring, Kandangan, saat ini sulit melakukan regenerasi pemain musik terutama yang menguasai alat musik babun. Tidak ada peremajaan alat dan kostum karena itu mereka berharap kepedulian pemerintah daerah. Selain itu, tidak ada pembina musik panting sepeninggal senior mereka, Lupi. Sehingga para pemain belajar secara autodidak, praktis berdampak pada terbatasnya referensi penguasaan lagu-lagu daerah.

Bahkan lebih tragis jika hal-hal tersebut tidak dapat diatasi, maka beberapa tahun kemudian suara musik panting dari Kalimantan Selatan di tanah Jawa perlahan-lahan akan berhenti berdenting.



This post first appeared on "DENDANG BANUA" Panting Music Group, please read the originial post: here

Share the post

Di Tanah Jawa Panting Berdenting

×

Subscribe to "dendang Banua" Panting Music Group

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×