HUKUMPERDATA ISLAM TENTANG PERKAWINAN, KEWARISAN, DAN WAKAF
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam Hukum
Perdata Islam di Indonesia mengatur beberapa hal, diantara yaitu tentang
pernikahan, kewarisan dan wakaf. Hal-hal diatas di atur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata atau lebih dikenal dengan KUHP.
Related Articles
Adanya hukum yang
mengatur tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf dalam KUHP ialah untuk
mendapatkan hukum yang relevansi dengan kehidupan di indonesia. Karena tidak
bisa dipungkiri bahwa perkembangan kajian dalam fiqih (dalam hal ini yang
bersifat furu’ ) antara sebuah daerah
bisa saja berbeda dari daerah asalnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian, Rukun dan Syarat Perkawinan
2.
Pengertian, Subjek, dan Syarat Kewarisan
3.
Pengertian Pengaturan, dan Penyeleseaian
Persengketaan Wakaf di Indonesia
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian, Rukun, Syarat Perkawinan
1.
Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Secara Etimologi Pernikahan
bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata bahasa arab yaitu
Nikkah bahasa arab النكاح yang berarti
perjanjian perkawinan.
Sedangkan secara
terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’
yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk
bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk
bersenang-senang dengan seorang laki-laki.
Menurut Syara’, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan
keduanya bergaul sebagai suami isteri. Aqad
nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara
seorang wanita dengan seorang laki-laki.
Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl
nikah atau ziwaj yang keduaya memiliki arti yang sama.
2.
Pengertian Perkawinan Menurut KUHP
Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :
“Ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima
unsur di dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Ikatan lahir bathin.
b. Antara seorang pria dengan seorang
wanita.
c. Sebagai suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat
melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.
3.
Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat adalah sesuatu bila
ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum
tentunya juga harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu. Rukun nikah
merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.
Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan, artinya bila salah satu
dari rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan.Rukun
adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan
demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya
berupa ungkapan kata (shighat). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan
timbulnya sisa rukun yang
lain:
a. Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu
kedua belah pihak untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.
b. Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan
kerelaan/ kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.
c. Adanya Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria
dan wanita.
d. Adanya wali dari calon istri.
e. Adanya dua orang saksi.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam
sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu
berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang
yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan
bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16
tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa
perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
4.
Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat perkawinan adalah segala sesuatu yang pasti dan
harus ada ketika pernikahan berlangsung,tetapi tidak termasuk pada salah satu
bagian dari hakekat pernikahan.
Adapun
Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah sebagai berikut :
a. Syarat-syarat materiil.
1. Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :
a. Harus ada
persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.
b. Usia calon mempelai pria
sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai
wanita harus sudah berumur 16 tahun.
c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
2. Syarat
materiil secara khusus, yaitu :
a. Tidak melanggar larangan
perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan
pasal 10, yaitu larangan perkawinan
b.
Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.
b. Syarat-syarat Formil.
1. Pemberitahuan kehendak
akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.
2.
Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3.
Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
4.
Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
B. Pengertian, Subjek,
Syarat Hukum Waris
1.
Pengertian Waris
Waris mempunyai banyak pengertian yang
di ungkapkan olehh beberapa pakar, namun disini kami hanya mengungkapkan 2
pendapat yaitu :
a.
Menurut Wirjono Prodjodikoro
“Hukum waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pekbagai hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
dan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”
b. Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Pasal 171 huruf a Inpres Nomor 1 Tahun 1991
berbunyi: “Hukum warisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing”.
Unsur-unsur
yang terdapat dalam hukum waris :
1. Kaidah hukum
Hukum waris dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu hukum waris
tertulis dan hukum waris adat. Hukum waris tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi,
sedangkan hukum waris adat adalah hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam
masyarakat adat.
2. Pemindahan harta kekayaan pewaris
Pemindahan harta kekayaan mengandung makna bahwa harta yang
diperoleh pewaris selama hidupnya dibagikan dan diserahkan kepad ahli
waris yang berhak menerimanya.
3. Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan dari pewaris.
Di dalam hukum waris telah ditentukan bagian-bagian yang diterima ahli waris.
4. Bagian yang diterimanya
Masing-masing hukum waris berbeda bagian yang diterima ahli waris,
misalnya dalam hukum waris Islam yang diterima ahli waris berbada antara satu
dengan yang lain. Ahli waris laki-laki mendapat bagian yang sangat besar
dibandingkan dengan ahli waris wanita.
5. Hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga
Hubungan anatara ahli waris dengan pihak ketiga adalah hubungan
hukum yang timbul antara pewaris dengan pihak ketiga pada saat pewaris masih
hidup, ia mempunyai utang maupun piutang sehingga ahli warislah yang akan
mengurusnya.
2.
Subjek Hukum Waris
Subjek
hukum waris terdiri dari :
1. Pewaris
Ø
Meninggalkan harta
Ø
Diduga meninggal dengan
meninggalkan harta
2.
Ahli waris
Ø
Sudah lahir pada saat warisan
terbuka (pasal 836 KUH Perdata).
Terjadinya pewarisan harus memenuhi 3 unsur :
1. Pewaris adalah orang
meninggal dunia meningggalkan harta kepada orang lain.
2. Ahli waris adalah orang yang menggantikan
pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya maupun
untuk sebagian.
3. Harta warisan adalah segala harta kekayaan
dari orang yang meningggal
dunia.
3.
Syarat pewarisan
Syarat pewarisan terdiri dari :
1. Pewaris
meninggal dan meninggalkan harta.
2. Orang yang
menjadi ahli waris harus mempunyai hak atas harta warisan si pewaris.
Hak ini dapat timbul karena :
a. Antara pewaris
dan ahli waris harus ada hubungan darah baik sah atau luar nikah (untuk mewaris
berdasarkan undang-undang (pasal 832 KUH Perdata)).
b. Pemberian
melalui surat wasiat (pasal 874 KUH Perdata).
3. Orang yang
menjadi ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia (pasal
836 KUH Perdata). Dengan pengecualian apa yang tercantum dalam pasal 2 KUH
Perdata yang berbunyi :
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
diangggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinya.”
4. Orang yang menjadi
ahli waris, tidak termasuk orang yang dinyatakan tidak patut, tidak cakap atau
menolak warisan.
a. Orang yang
tidak patut untuk mewaris diatur dalam pasal 838 KUH Perdata.
b. Orang yang
tidak cakap untuk mewaris diatur dalam pasal 912 KUH Perdata.
c. Orang yang
menolak warisan diatur dalam pasal 1058 KUH Perdata.
C.
Pengertian, Pengaturan, dan Penyeleseaian
Persengketaan Wakaf di Indonesia
1.
Pengertian Wakaf
Menurut pengertian bahasa, perkataan ”
waqf” berasal dari kata arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang berarti
ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan, mengatakan,
mengabdi, memahami, mencegah, menahan ,dan tetap berdiri.[1]
Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ahli)lalu menjadiakan manfaatnya berlaku umum. Pengertian cara
pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa
imbalan.
Para pakar hukum islam berbeda
pendapat dalam memberi definisi wakaf secara hokum (istilah). Al minawi yang
bermahzab syafii mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang
dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan
keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain harta
maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Al
Kabisi yang bermahzab Hanafi mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda
dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin
dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf
itu menahan benda milik si wakif dan benda yang disedekahkannya adalah
manfaatnya saja. Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikana
manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan
kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan
apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.[2]
Dasar hukum pelaksanaan wakaf dalam Islam adalah ayat-ayat
Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Adapun yang dinyatakan menjadi dasar
hokum wakaf oleh para ulama, Alquran Surat Al Hajj ayat 77 dan surat al Imran
ayat 92.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.(Q.S.
Al-Haj:77)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
imam jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. sesunguhnya
Nabi SAW. Bersabda yang artinya:
“Apabila
seorang mati manusia, maka terputuslah atau terhenti pahala perbuatanya kecuali
tiga perkara:shadaqatul jariyah (wakaf),ilmu yang dimanfaatkan, baik dengan
cara mengajar maupun dengan karangan dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan
orang tuanya.”
2.
Pengaturan Wakaf di
Indonesia
Pengaturan wakaf sebelum kedatangan
kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber
dari kitab fiqh bermahzab Syafii. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
pengaturan wakaf telah dilaksanakan dengan mengeluarkan berbagai peraturan
tentang wakaf. Antara lain:
1.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen pertama tanggal 31 januari 1905 no. 435, sebagaiman termuat
dalam Bijblad 1905 nomor 6196 tentang toezicht
opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Bahwa mendirikan tanah wakaf harus mendapat izin bupati.
2.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 4 juni 1931 no.1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun
1931 tentang Toezicht van de regering op mohammendanshe bedehuizen
Vrijdagdiensten en Wakafs. Bahwa untuk mendirikan tanah wakaf harus mendapat
izin dari bupati untuk tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
3.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A termuat dalam Bijblad No.13390
tahun 1934, tentang Toezicht de regering op mohammedaansche bedehuizen
Vridagdiensten en wakafs. Bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada bupati untuk
dicatat dan dibebaskan dari pajak.
4.
Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen tanggal 27 mei 1935 no.1273/A termuat dalam bijblad No. 13480 tahun
1935 tentang Toezicht van de regering op mohammendanshe bedehuizen en Wakafs.bahwa
wakaf cukup diberitahukan.
5.
Setelah proklamasi kemerdekaan
RI , peraturan wakaf sebagiman disebut diatas masih tetap berlaku berdasarkan
bunyi pasal II aturan peralihan Undang-Undang dasar 1945. Sejak terbentuknya
kementrian agama pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf menjadi urusan
kementrian agama bagian D (ibadah sosial). Selanjutnya kementrian agama pada tanggal 8 oktober 1956
mengeluarkan surat edaran nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.
6.
Lahirnya Undang-Undang nomor 5
tahun 1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia.
Untuk memberi kejelasan hokum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari
undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peratutan Pemerintah nomor 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sejak berlakunya PP tersebut maka
semua peraturan perundang-undangan tentang perwkafan sebelumnya, sepanjang
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Setelah terbitnya PP nomor 28 Tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik, berturut-turut diterbitkan beberapa
peraturan tentang pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut,diantaranya:
Pertama,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang
pendaftaran tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Kedua, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang peraturan
pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Ketiga, Intruksi bersama antara Menteri
Agama Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 1978 tentang pelaksanaan PP no 28
tahun1977 tentang perwakafan tanah milik. Keempat,
Peraturan Direktorat Jenderal Bimas Islam Departemen Agama nomor
Kep/D/75/D1978 tentang formulir dan pedoman pelaksanaan peraturan tentang
perwakafan tanah milik. Kelima, Keputusan
Menteri Agama nomor 73 tahun 1978
tentang Pendelegasian wewenang kepada kepala kantor wilayah departemen
agama propinsi/setingkat diseluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kecamatan sebagai pejabat pembuat
akta ikrar wakaf. Keenam, Intruksi
Menteri Agama RI nomor 3 tahun 1979 tanggal 19 juni 1979 tentang petunjuk
pelaksanaan Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978. Ketujuh, Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji nomor D.Ii/5/07/1981
tanggal 17 februari 1981 kepada Gubernur KDH tk. I di seluruh Indonesia,
tentang pendaftaran perwakafan tanah milik dan permohonan keringanan atau
pembebasan dari semua pembebanan biaya pendaftaran.
Eksistensi perwakafan di Indonesia diperkuat
lagi dengan lahirnya UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selanjutnya
sebagai hokum materiil pemerintah telah mengeluarkan Kompilasi Hokum Islam.
Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 27 oktober 2004 Presiden Susilo
Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf, Lembaran Negara
RI tahun 2004 nomor 159.
3.
Penyelesaian Perselisihan Harta Wakaf
1. Penyelesaian perselisihan
Pasal 12 PP no 28 tahun 1977 jo. Pasal
49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989 menegaskan bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan
melalui pengadilan agama setempat yang mewilayahi benda wakaf tersebut. Pasal
17 peraturan menteri agama nomor 1 tahun 1978 pasal 17 menyatakan:
a. Pengadilan agama yang mewilayahi tanah
wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah
menurut syariat islam yang antara lain mengenai:
1. wakaf, wakif, nadzir,ikrar dan
saksi
2. bayyinah (alat bukti
administrasi tanah wakaf)
3. pengelolaan dan pemanfaatan
hasil wakaf.
b. Pengadilan agama dalam melaksanakan
ketentuan ayat (1) pasal ini berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara
pada peradilan agama.
Mengenai teknis dan tata cara
pengajuan gugatan ke pengadilan agama, dilakukan menurut ketentuan yang
berlaku. Kemudian pasal 229 kompilasi menegasan: hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan
sungguh-sumgguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan
rasa keadilan”.
2. Penyelesaian Sengketa dan
Pidana dalam Perwakafan
Bagaiman cara penyelesaian terhadap
sengketa wakaf? Dalam UU no 1 tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa
penyelesaian tentang sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa ini tidak berhasil,
sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,atau pengadilan.
Penyelesaian perselisihan yang
menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan kepada pengadilan
agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai dengan peraturan
perundang-undanagan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah masalah-masalah
lainnya yang secara nyata menyangkut hokum perdata,sedangkan yang terkait
dengan hokum pidana diselesaikan melalui hokum acara dalam pengadilan negeri.[11]
Selain masalah penyelesaian sengketa,
UU wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap penyimpangan benda wakaf
dan pengelolaannya sebagai berikut:
a. Bagi yang dengan sengaja
menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b. Bagi yang dengan sengaja
mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipidana penjara paling lama 4
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00(empat ratus juta
rupiah).
c. Bagi yang dengan sengaja
menggunakan atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[12]
Ketentuan pidana merupakan suatu
keharurusan dalam sebuah peraturan perundangan yang mengatur tentang suatu
persoalan di negeri kita. Dalam sebuah UU harus mencantumkan ketentuan khusus
mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan jaminan agar supaya peraturan
dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun, untuk memaksimalkan peran
Peradilan Agama nampaknya perlu difungsikan sebagai Peradilan Syariah bagi
setiap Warga Negara pemeluk agama Islam dalam kacamata hokum komprehensif.
Dalam kedudukannya diatas, Peradilan Agama harus diberdayakan sebagai payung
hokum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua kasus-kasus perdata dan pidana
yang berkaitan dengan hukum muamalat.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka
pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti dimana
penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1, Perkawinan adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Adapun mengenai
syarat-syarat dan rukun pernikahan telah disebutkan di atas.
Sedangkan Hukum warisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian
masing-masing”.
Unsur-unsur
yang terdapat dalam hukum waris :
1. Kaidah hukum
2. Pemindahan kekayaan
3. Ahli waris
4. Dan bagian yang diterima
Sedangkan wakaf adalah
sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ahli)lalu menjadiakan manfaatnya berlaku umum. Pengertian
cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
B.
Saran
Semoga dengan adanya pembahasan
makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber inspirasi bagi semua orang dan
semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa
yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalh ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar
kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Ali,Zaimudin.2006. Hukum
Perdata Islam Indonesia . Jakarta:Sinar Grafika.
Ø Asmawi,Mohammad.2004.Nikah dalam Perbincangan dan
Perbedaan.Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo.
Ø
Halim, Abdul,Hukum Perwakafan di Indonesia,Ciputat:
Ciputat Press,2005
Ø
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia,Jakarta: Kencana,2006
Ø
Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia,Jakarata; Raja
Grafindo Persada,2003
[1] Abdul Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana,2006), hlm.237
[2] Ibid.,hlm.238