Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

MENCAIRNYA “PERANG DINGIN” MEGA-SBY

Benih-benih konflik Mega-SBY bermula pada tahun 2003, saat itu muncul isu SBY yang menjabat sebagai Menko Polkam akan maju sebagai capres. Kubu Mega mencium aroma  manuver politik SBY semakin jelas.

Sentimen politik kedua tokoh ini makin memburuk hingga SBY menduduki tahta kepresidenan hingga dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Mereka jarang bertemu. Bahkan, undangan dalam Upacara Peringatan Hut RI di Istana Merdeka jarang dihadiri Mega. Ada sebuah pemeo ‘lebih mudah mengecat awan ketimbang mempersatukan SBY-Mega’. Di parlemen, Selama Rezim Sby berkuasa, PDIP pun memosisikan diri sebagai partai oposisi.

Momentum untuk mengakhiri “perang dingin” Mega-SBY sebenarnya bisa saja dilakukan setelah Pilpres 2009 ketikaTaufiq Kiemas, suami Mega, didukung SBY menduduki kursi Ketua MPR..Taufiq Kiemas kerap membawa putrinya, Puan Maharani, menemui SBY di Istana Negara. Bahkan,Taufiq Kiemas tak segan beberapa kali bilang Partai Demokrat dan PDIP bisa berkoalisi di Pilpres 2014.

Namun, agaknya suasana politik yang “cair” semacam itu tak serta-merta menggoyahkan Mega. Beberapa kali tetap tak menghadiri peringatan HUT RI di Istana Negara. Mega kerap memilih menggelar upacara di DPP PDIP di Lenteng Agung atau di Kebagusan, Jakarta Selatan. Di sejumlah acara kenegaraaan Mega juga tak hadir, meski Mega sempat hadir saat SBY mengajaknya makan malam bersama Presiden AS Barack Obama yang sedang berkunjung ke Indonesia.

Setelah Taufiq Kiemas tiada, hubungan Mega-SBY jarang terdengar gaungnya. Sampai kemudian secara mengagetkan SBY berbicara melalui Youtube pada akhir April dan awal Mei 2014 bahwa dirinya ingin menjalin komunikasi dengan Megawati. Namun, pernyataan ini tak direspons oleh Mega. Sejumlah elite PDIP juga terkesan dingin menanggapi hal ini.

Ketika kekuasaan rezim SBY berakhir tahun 2014, kemudian Joko Widodo (Jokowi) menguasai istana, hubungan Mega-SBY tak lagi menarik diperbincangkan publik. Isu-isu politik lebih banyak terfokus pada memburuknya hubungan Jokowi-Prabowo Subijanto pasca-Pilpres 2014. Hubungan mereka sedikit mencair setelah Jokowi dengan rendah hati sowan ke Prabowo melalui siasat “Berkuda Bersama”.

Membaiknya hubungan pribadi Jokowi-Prabowo tidak serta-merta diikuti oleh para elite politik yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP). Koalisi yang dibangun oleh Partai Gerindra dan PKS ini membuktikan dirinya sebagai “kaukus politik permanen” yang berupaya untuk menegasikan rezim Jokowi.

Pada sisi yang lain, naluri politik Jokowi yang tidak biasa berkonflik berupaya fokus kerja, kerja, dan kerja untuk mewujudkan Program Nawacita-nya. Dengan menggunakan kearifan Ajisaka “huruf Jawa yen dipangku mati” (huruf Jawa kalau dipangku meninggal”), Jokowi lebih suka menyelesaikan konflik dengan cara merangkul dan memeluk “lawan” politiknya.

Prabowo berhasil diredakan tensi politiknya lewat siasat “Berkuda Bersama”. SBY dirangkul dengan siasat “minum teh di beranda istana”.

Siasat politik Jokowi yang tidak biasa berkonflik ini rupanya juga dipakai untuk merukunkan Mega-SBY melalui foto bersama dalam rangkaian upacara peringatan HUT ke-72 RI di Istana Merdeka. Memang hanya sekadar berfoto, tetapi setidaknya bisa “menjinakkan” Mega yang “keras kepala” yang tidak pernah mau hadir di Istana Merdeka selama rezim SBY berkuasa.

Akankah siasat “Foto Bersama” dalam momen HUT ke-72 RI di Istana Merdeka itu benar-benar akan mengakhiri “perang dingin” dua mantan presiden dan “politisi bangsawan” itu? Kita simak dan kita nikmati saja sambil ngopi. ***



This post first appeared on Catatan Sawali Tuhusetya, please read the originial post: here

Share the post

MENCAIRNYA “PERANG DINGIN” MEGA-SBY

×

Subscribe to Catatan Sawali Tuhusetya

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×