Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Universitas Indonesia, Green Campus yang Belum Green dan Kampus Rakyat yang Belum Merakyat

Pembangunan  driving range atau area berlatih untuk pegolf pemula dan lapangan berkuda di wilayah kampus UI memang beberapa hari ini santer diberitakan. Pro dan kontra pun muncul seiring dengan pembangunan fasilitas “tidak wajar” ini yang terkesan mengorbankan area hijau hutan kampus UI. Pro dan kontra ini tidak hanya muncul dikalangan civitas academica UI namun juga muncul dari luar warga kampus bahkan hingga forum umum di salah satu website surat kabar elektronik taraf nasional. Salah satu pembaca mengatakan jika lapangan golf ini urgensinya tidak signifikan bila dibangun di area kampus, namun pembaca yang lain berujar bahwa sebagai kampus bertaraf internasional pembangunan fasilitas ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Pembangunan lapangan golf di wilayah kampus UI harus memenuhi nilai-nilai etik baik etik terhadap lingkungan maupun warga kampus.

Sejatinya pembangunan lapangan golf ini telah masuk dalam master plan Universitas Indonesia menuju Word Class University, seperti apa yang dijelaskan oleh Siene Indriani Kepala Kantor Komunikasi UI kepada salah satu media. Rencananya, pembangunan ini ditujukan guna menyambut tamu internasional yang akan bertanding pada olimpiade universitas tingkat Asia sebagai suatu upaya menunjukan sopan santun dalam memperlakukan tamu. Apabila dilihat lebih jauh, sebenarnya pembangunan lapangan golf ini mempunyai tujuan yang baik, namun waktu pembangunannya saat ini menjadi kurang tepat karena masih ada beberapa hal yang mestinya lebih diperhatian pihak kampus sebagai sebuah upaya mengindahkan etika kepada lingkungan hutan UI. Pembangunan lapangan golf memicu banyak kritik karena dilakukan ditengah banyaknya isu lingkungan yang sedang dihadapi pihak kampus, salah satunya adalah isu sampah yang mengotori danau kampus dan isu pembabatan hutan.

Semenjak kampus UI pindah ke kota Depok pada tahun 1987 menempati wilayah yang hijau dan rindang, bahkan dari tahun 1998 hingga tahun 2000 pihak  kampus UI mencangkan proyek menjadi sebuah Green Campus. Pihak kampus ingin menjadikan hutan kampus menjadi hutan kota Depok dengan melakukan pelestarian dan penanaman kembali. Namun beberapa tahun terakhir ini, pihak kampus seperti kehilangan semangat membangun sebuah Green Campus. Hal tersebut terlihat dengan banyaknya pembabatan area hutan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas mewah demi sebuah tampilan berkarakter kampus kelas dunia. Kabar teranyar adalah pembangunan lapangan golf di wilayah hutan UI sebagai upaya menuju Word Class University. Pembangunan ini seakan-seakan menjadi suatu proyek “mercusuar” yang hanya ingin menunjukan kemewahan kampus UI. Apalagi ada beberapa hak-hak yang belum dipenuhi kampus UI kepada lingkungan hutan UI. Pembangunan lapangan golf untuk saat ini bisa dikatakan sebagai tindakan yang kurang beretika karena dibangun diatas hutan UI serta belum terselesaikannya masalah sampah yang sudah lama dihadapi pihak kampus.

Dalam upaya menuju kampus internasional sebenarnya pihak kampus harus menyelesaikan masalah-masalah lingkungan terlebih dahulu daripada membangun sebuah fasilitas mewah. Pihak kampus seyogyanya lebih memperhatikan masalah sampah di danau UI yang telah lama dihadapi ketimbang membangun fasilitas yang kurang membumi ini. Pembangunan lapangan golf yang dilakukan diatas hutan UI yang hanya sebuah “pemberian” ini menjadi alasan lain dibalik banyaknya kritik atas proyek driving range. Upaya penanaman kembali juga belum terlihat diupayakan sebagai kompensasi dari banyaknya proyek pembangunan yang menggunakan area hutan UI. Padahal hal tersebut sangat penting untuk menyelamatkan nama Green Campus yang beberapa waktu lalu telah melekat pada Universitas Indonesia juga sebagai upaya beretiket baik terhadap lingkungan. Apabila masalah sampah ini telah terselesaikan dan adanya tindakan kompensasi penghijauan di wilayah kampus UI, boleh jadi pembangunan lapangan golf ini terlihat lebih patut untuk dilakukan dan dapat diterima oleh warga kampus.

Selain memenuhi nilai etik terhadap lingkungan, pembangunan ini juga harus memenuhi nilai etik terhadap warga kampus. Walaupun menurut Siene Indriani pada tahun 1997 proyek pembangunan ini telah mengantongi restu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, namun pada salah satu media elektronik memberitakan bahwa sebenarnya proyek ini tidak pernah disetujui dan bahkan tidak diketahui oleh Majelis Wali Amanah (MWA). Apabila hal ini benar adanya, maka sudah barang tentu pihak kampus telah menunjukan etiket yang buruk dan menunjukan etika yang tidak baik terhadap warga kampus. Kampus UI merupakan kewajiban dan hak seluruh warga kampus, mulai dari rektor hingga mahasiswa. Sehingga untuk menunjukan etika yang baik dan mengindahkan nilai saling menghormati hak dan kewajiban, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kampus UI harus dengan persetujuan seluruh warga kampus baik langsung maupun melalui perwakilan ( BEM, MWA, Iluni UI, dan lain-lain). Tidak terkecuali pembangunan lapangan golf dan berkuda ini.

Terlepas benar atau tidaknya berita tersebut, menurut pandangan orang awam memang pembangunan fasilitas di kampus UI sekarang ini lebih menonjolkan aspek kemewahan dan jauh dari cap kampus rakyat. Sebagai contoh kecil adalah kehadiran fasilitas-fasilitas pemanja seperti waralaba kopi bertaraf internsional yang telah menjadi sorotan pihak iluni. Banyaknya kecaman mengenai proyek pembangunan fasilitas mewah ini mungkin menimbulkan banyak reaksi. Sudah saatnya bangsa Indonesia belajar meninggalkan mental kere ujar salah satu pihak, namun sebenarnya bukan masalah mental kere atau tidak, tetapi mental membumi atau tidak. Paradigma mengenai kampus rakyat memang harus berubah, tidak lagi mengganggap tabu dengan fasilitas mewah dan melarang pembangunan fasilitas pemanja. Namun sekiranya masih ada hal yang lebih penting untuk dibangun saat sekarang ini daripada proyek-proyek infrastruktur baru yang mamakan banyak biaya dan kurang bermanfaat bagi kebanyakan warga kampus. Seperti contoh ketika pihak kampus lebih mengutamakan proyek pembangunan sarana olahraga yang mewah di sekitar Mang Engking padahal fasilitas olahraga di fakultas-fakultas masih kurang mendapat perhatian. Padahal olahraga golf telah melekat sebagai olahraga “kaum atas” yang tidak umum dimainkan oleh mahasiswa dan tidak semua warga kampus dapat menikmati fasilitas ini. Sikap lebih memperhatikan fasilitas-fasilitas yang bisa dinikmati banyak pihak (dalam hal ini warga kampus) merupakan salah satu contoh kecil dalam beretiket yang baik dalam berkehidupan di wilayah kampus.

Pembangunan lapangan golf ini sebetulnya bukan merupakan sesuatu hal yang salah. Namun pemilihan waktu yang tepat untuk membangun fasilitas ini perlu adanya tinjauan mengenai nilai-nilai yang ada di kampus terlebih dahulu. Dengan menjaga etika yang baik terhadap lingkungan maupun warga kampus, mengutamakan kepentingan orang banyak, dan selaras dengan cita-cita Green Campus, maka pembangunan lapangan golf ini mungkin akan lebih bisa diterima dan bermanfaat bagi seluruh civitas academica Universitas Indonesia.

 

Referensi :

http://edukasi.kompas.com/

http://mediaindonesia.com/

 


Filed under: opini Tagged: Green Campus, kampus rakyat, Kampus UI, UI, Universitas Indonesia


This post first appeared on Anak Banyumas, please read the originial post: here

Share the post

Universitas Indonesia, Green Campus yang Belum Green dan Kampus Rakyat yang Belum Merakyat

×

Subscribe to Anak Banyumas

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×